
Aldi Fajar
3 weeks ago
Dalam samudra perenungan spiritual, manusia kerap dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang hakikat dirinya dan tujuannya di alam semesta. Tradisi tasawuf, sebagai dimensi esoteris Islam, menawarkan peta jalan menuju pengenalan diri (ma’rifat an-nafs) yang berujung pada pengenalan Tuhan (ma’rifatullah). Sebuah video singkat di platform YouTube yang menyajikan sebuah analogi yang kuat dan menggelitik: fitrah manusia sebagai titik nol kilometer per jam, sementara ruang dan waktu adalah kendaraan yang melesat dengan kecepatan tak terhingga, membawa kita di dalamnya. Bagaimana kita, yang terperangkap dalam laju ini, dapat kembali ke titik hening primordial? Esai ini akan menjelajahi analogi tersebut, memperkayanya dengan khazanah Sufistik, dan mengilustrasikannya secara matematis konseptual untuk memahami dinamika perjalanan kembali menuju kesejatian.
Fitrah: Titik Nol Absolut Ketenangan (VFitrah = 0 km/jam)
Konsep fitrah adalah batu penjuru dalam pemahaman Islam tentang manusia. Ia adalah kondisi primordial, cetak biru ilahi di mana setiap jiwa diciptakan: suci, murni, dan dengan potensi inheren untuk mengakui Sang Pencipta (QS. Ar-Rum: 30). Para sufi melihat fitrah sebagai “titik nol” spiritual – sebuah keadaan keseimbangan sempurna, ketenangan absolut (sakinah), dan kepasrahan murni (taslim) kepada Kehendak Ilahi. Dalam analogi kecepatan kita, fitrah adalah VFitrah = 0 km/jam
. Ini bukan berarti ketiadaan gerak yang pasif dan mati, melainkan sebuah kediaman dinamis dalam kesadaran akan Sumber segala gerak, sebuah “diam” yang sarat dengan potensi tak terbatas, serupa titik pusat roda yang tetap tenang meski roda berputar kencang. Ia adalah cermin jernih yang belum ternoda oleh debu-debu duniawi, yang mampu memantulkan Cahaya Ilahi tanpa distorsi.
Ruang dan Waktu: Kendaraan Supercepat Menuju Entah (VRuangWaktu → ∞ km/jam)
Manusia lahir ke dalam dunia yang dibingkai oleh ruang (makan) dan waktu (zaman). Keduanya, dalam perspektif metafisik, adalah ciptaan, bukan atribut Ilahi. Allah Maha Suci dari batasan ruang dan waktu. Namun, bagi manusia, ruang dan waktu adalah panggung eksistensinya, sekaligus bisa menjadi belenggu yang menyeretnya. Diskursus Pencerah menganalogikan ruang dan waktu sebagai sebuah “kendaraan” yang bergerak dengan kecepatan tak terhingga (VRuangWaktu → ∞ km/jam
).
Analogi ini sangat mengena. Betapa derasnya arus kehidupan duniawi! Perubahan, gejolak, kesibukan, aneka godaan dan distraksi silih berganti menghampiri, seolah menarik kesadaran kita menjauh dari pusat ketenangan fitrah. Kecepatan “tak terhingga” ini melambangkan daya tarik yang luar biasa kuat dari ilusi dunia material (dunya), hawa nafsu (nafs al-ammarah), dan keterikatan pada selain Allah. Semakin kita terhanyut dalam pusaran ini tanpa kesadaran, semakin “cepat” dan semakin “jauh” kita terbawa dari titik nol primordial kita. Manusia, sebagai penumpang di dalam “kendaraan ruang-waktu” ini, secara otomatis akan ikut bergerak dengan kecepatan tersebut jika ia tidak melakukan upaya sadar untuk melawannya.
Ilustrasi Matematis Konseptual Perjalanan Manusia
Mari kita coba formalisasikan analogi ini secara matematis sederhana untuk memperjelas dinamikanya. Perlu ditekankan bahwa ini adalah ilustrasi konseptual, bukan penerapan hukum fisika secara harfiah, karena “kecepatan tak terhingga” dalam konteks spiritual lebih bersifat kualitatif (intensitas) daripada kuantitatif murni.
- Kecepatan Fitrah (VF):
VF = 0 km/jam
Ini adalah titik acuan absolut kita, keadaan yang dituju.
- Kecepatan Kendaraan Ruang-Waktu (VRW) relatif terhadap Fitrah:
VRW → ∞ km/jam
(atau setidaknya, sebuah kecepatan yang sangat besar dan konstan menjauh dari VF). - Kecepatan Awal Manusia (VM/F, awal) relatif terhadap Fitrah:
Jika manusia (M) hanya pasif di dalam kendaraan Ruang-Waktu (RW), maka kecepatannya relatif terhadap Fitrah (F) akan sama dengan kecepatan kendaraan itu sendiri:
VM/F, awal = VRW
Sehingga,
VM/F, awal → ∞ km/jam
. Manusia secara alami bergerak menjauh dari fitrahnya. - Tujuan: Kembali ke Kecepatan Fitrah (VM/F, akhir = 0 km/jam):
Tujuan perjalanan spiritual adalah agar kecepatan manusia relatif terhadap fitrah menjadi nol.
VM/F, akhir = 0 km/jam
- Aksi yang Diperlukan: “Melompat” dari Kendaraan Ruang-Waktu:
Untuk mencapai
VM/F, akhir = 0
, manusia harus menghasilkan sebuah “kecepatan” relatif terhadap kendaraan Ruang-Waktu (VM/RW
) yang berlawanan arah dan sama besarnya dengan kecepatan kendaraan Ruang-Waktu tersebut.
Menggunakan prinsip penjumlahan kecepatan sederhana (sebagai analogi):VM/F, akhir = VRW + VM/RW
Kita ingin
VM/F, akhir = 0
, maka:0 = VRW + VM/RW
Sehingga, kecepatan yang harus dihasilkan manusia relatif terhadap kendaraan Ruang-Waktu adalah:
VM/RW = -VRW
Karena
VRW → ∞ km/jam
, makaVM/RW → -∞ km/jam
.
Tanda negatif menunjukkan arah yang berlawanan. Artinya, untuk “mendarat” kembali pada titik nol fitrah, manusia harus “melemparkan dirinya” dari belenggu ruang-waktu dengan “upaya spiritual” yang intensitasnya setara dengan daya tarik ruang-waktu itu sendiri, namun menuju arah yang berlawanan – menuju ke dalam diri, menuju Sang Sumber.
Makna Sufistik dari “Lompatan dengan Kecepatan Tak Terhingga”
“Melemparkan diri dengan kecepatan tak terhingga” bukanlah tindakan fisik, melainkan sebuah metafora yang kaya akan makna Sufistik:
- Mujahadah an-Nafs (Perjuangan Melawan Hawa Nafsu): Ini adalah perjuangan spiritual yang total dan tanpa kompromi. “Kecepatan tak terhingga” menggambarkan kesungguhan (sidq), kegigihan (istiqamah), dan intensitas upaya untuk membersihkan jiwa dari segala penyakit hati dan keterikatan duniawi. Ini bukan sekadar perubahan perilaku kosmetik, melainkan transformasi batin yang radikal.
- Fana’ (Peluruhan Diri): Ini adalah konsep sentral dalam tasawuf, yang berarti peluruhan atau “kematian” ego (diri rendah) dan kesadaran akan eksistensi diri yang terpisah dari Tuhan. “Kecepatan tak terhingga” menyiratkan sebuah peluruhan yang total, di mana tidak ada lagi sisa-sisa keakuan. Ini adalah sebuah “lompatan kuantum” dalam kesadaran, bukan evolusi gradual semata. Seperti yang dikatakan para sufi, “Mutu qabla an tamutu” (Matilah sebelum engkau mati).
- Zuhud (Pengabaian Dunia) dan Tawakkul (Kepasrahan Total): Untuk “melompat” dari kendaraan ruang-waktu, seseorang harus melepaskan genggamannya pada dunia dan segala isinya, tidak hanya secara fisik tetapi terutama secara mental dan spiritual. Ini adalah zuhud sejati. Kemudian, ia memasrahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah (tawakkul), percaya bahwa hanya dengan pertolongan-Nya lompatan ini bisa berhasil.
- Jadzbah (Tarikan Ilahi): Meskipun upaya manusia (mujahadah) itu penting, para sufi juga menekankan peran jadzbah, atau tarikan Ilahi. “Kecepatan tak terhingga” yang dibutuhkan manusia juga bisa diartikan bahwa pada titik tertentu, upaya manusia mencapai batasnya, dan rahmat serta tarikan Ilahi-lah yang “mengangkat” atau “menarik” hamba melampaui belenggu ruang-waktu. Lompatan ini pada akhirnya adalah anugerah.
Allah: Sang Maha Suci dari Ruang dan Waktu
Puncak dari perenungan ini, sebagaimana disinggung dalam Diskursus Pencerah, adalah kesadaran bahwa hanya Allah SWT yang Maha Suci (Al-Quddus) dari segala batasan ruang dan waktu. Dia adalah Al-Awwal (Yang Awal, sebelum ada waktu) dan Al-Akhir (Yang Akhir, setelah waktu berakhir), Az-Zahir (Yang Nyata, melingkupi segala ruang) dan Al-Batin (Yang Tersembunyi, melampaui segala persepsi ruang).
“Mendarat” pada titik nol fitrah sejatinya adalah mendarat dalam kesadaran akan Allah sebagai satu-satunya Realitas Absolut (Al-Haqq). Fitrah yang telah kembali jernih adalah cermin yang memantulkan Kehadiran-Nya. Upaya “melompat” dari ruang-waktu adalah upaya untuk menembus hijab-hijab ciptaan menuju Sang Pencipta. Ini bukan berarti penyatuan fisik (ittihad) atau penjelmaan (hulul) yang keliru, melainkan pencapaian ma’rifah (pengenalan mendalam), musyahadah (penyaksian spiritual), dan qurb (kedekatan) dengan Allah sejauh yang dimungkinkan bagi seorang hamba.
Inspirasi dari Diskursus Kontemporer dan Batasan Analogi
Diskursus Pencerah dalam video singkat tersebut, meskipun sederhana, berhasil memantik sebuah perenungan yang dalam dengan analogi kecepatan ini. Ia menunjukkan bagaimana kearifan kuno dapat disajikan dalam bahasa yang relevan dengan pemahaman kontemporer, menggunakan metafora yang diambil dari pengalaman sehari-hari (seperti kendaraan dan kecepatan) untuk menjelaskan konsep-konsep metafisik yang abstrak.
Tentu saja, setiap analogi memiliki batasannya. Penggunaan istilah “kecepatan tak terhingga” dan penjumlahan kecepatan sederhana adalah penyederhanaan. Dalam fisika modern, kecepatan cahaya adalah batas, dan penjumlahan kecepatan mengikuti rumus relativistik yang lebih kompleks. Namun, tujuan di sini bukanlah akurasi fisika, melainkan daya evokatif metafora untuk menyampaikan intensitas dan radikalitas transformasi spiritual yang diperlukan. “Tak terhingga” di sini lebih kepada kualitas totalitas dan transendensi daripada kuantitas matematis yang harfiah.

Aldi Fajar
3 weeks ago
Abstrak
Laporan ini mengkaji konsep fitrah manusia sebagai titik asali yang stabil, dianalogikan dengan “0 km/jam,” serta ruang-waktu sebagai dimensi transendensi yang diibaratkan “kendaraan berkecepatan tak terhingga.” Melalui lensa Sufisme, Tasawuf, dan Metafisika Eksakta, penelitian ini menganalisis bagaimana esensi manusia yang murni berinteraksi dengan realitas absolut melampaui batasan fisik dan temporal. Konsep-konsep sentral seperti fana dan baqa, serta tahapan zikir, dijelaskan sebagai mekanisme perjalanan spiritual yang memungkinkan transendensi. Pendekatan metafisika eksakta, yang menekankan ketelitian dan kepastian layaknya matematika, diterapkan untuk memberikan kerangka yang rigor. Lebih lanjut, ilustrasi matematis seperti nol, tak terhingga, derivatif, integral, dan fraktal digunakan untuk memvisualisasikan dinamika spiritual, menunjukkan bahwa perjalanan ini bersifat iteratif dan transformatif. Laporan ini menyatukan pemahaman filosofis dan spiritual dengan analogi ilmiah, memberikan kontribusi terhadap dialog interdisipliner antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas dalam memahami hakikat eksistensi manusia.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang: Pentingnya Pencarian Makna Eksistensi Manusia dan Realitas
Manusia, sebagai entitas yang dianugerahi akal dan hati, secara intrinsik termotivasi untuk mencari makna di balik keberadaannya dan realitas alam semesta. Pencarian ini seringkali melampaui batas-batas fisik dan empiris, memasuki wilayah spiritual dan metafisik yang lebih dalam. Dalam tradisi Islam, khususnya Sufisme dan Tasawuf, perjalanan spiritual ini menjadi inti dari upaya memahami Realitas Absolut, yang dikenal sebagai Allah SWT, dan posisi fundamental manusia di dalamnya. Metafisika, sebagai cabang filsafat yang membahas hakikat di balik realitas yang tampak, menyediakan kerangka konseptual yang esensial untuk eksplorasi ini. Integrasi pemikiran Sufi yang berorientasi pada pengalaman langsung dengan pendekatan metafisika eksakta, yang menekankan ketelitian dan kepastian layaknya disiplin matematika, memungkinkan pengembangan pemahaman yang lebih mendalam dan terstruktur mengenai hubungan antara manusia dan Yang Ilahi.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep fitrah manusia dapat dianalogikan sebagai “titik 0 km/jam” yang stabil dan ruang-waktu sebagai “kendaraan berkecepatan tak terhingga” dalam kerangka Sufi dan Metafisika Eksakta, serta bagaimana ilustrasi matematis dapat memperjelas analogi ini dalam konteks perjalanan spiritual menuju Realitas Absolut?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
- Menganalisis dan menjelaskan konsep fitrah manusia sebagai fondasi keberadaan dan titik asali (0 km/jam).
- Mengkaji konsep ruang-waktu dalam filsafat Islam dan tasawuf sebagai dimensi transendensi (kendaraan berkecepatan tak terhingga).
- Menjelaskan prinsip-prinsip Sufisme dan Tasawuf sebagai perjalanan spiritual menuju Realitas Absolut.
- Mendefinisikan dan menerapkan Metafisika Eksakta sebagai pendekatan rigor dalam memahami hakikat realitas.
- Mengembangkan dan menyajikan ilustrasi matematis untuk memvisualisasikan dan memperjelas konsep-konsep spiritual dan metafisik yang kompleks.
- Melakukan sintesis antara analogi fitrah-ruang waktu dalam kerangka Sufi-Metafisika, menyoroti implikasi teologis dan filosofisnya.
2. Fitrah Manusia sebagai Titik Nol (0 km/jam): Fondasi Keberadaan
2.1. Definisi dan Makna Fitrah dalam Islam
Kata “Fitrah” secara etimologi mengandung arti kejadian atau penciptaan. Dalam Al-Qur’an, makna fitrah secara umum dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori: sebagai proses penciptaan langit dan bumi, proses penciptaan manusia, pengaturan alam semesta dan isinya secara serasi dan seimbang, serta sebagai acuan dasar dan pedoman bagi agama Allah. Dalam pandangan teologi Islam, fitrah didefinisikan sebagai potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian, siap menerima rangsangan atau pengaruh dari luar untuk mencapai kesempurnaan dan kebenaran. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yang suci, sebuah kondisi bawaan yang belum terkontaminasi oleh pengaruh eksternal. Hamka, dalam tafsirnya, mendefinisikan fitrah sebagai “rasa asli murni dalam jiwa manusia yang belum kemasukan pengaruh yang lain, kecuali mengakui adanya kekuasaan tertinggi yang menguasai alam ini (Allah)”. Ini menunjukkan kecenderungan bawaan manusia pada tauhid, yaitu meng-Esakan Allah.
Manusia diciptakan dengan komponen fitrah yang meliputi jasad, akal, dan jiwa. Fitrah akal memberikan daya untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk, sementara hati dan pancaindra turut mendukung potensi ini. Selain itu, terdapat pula fitrah sosial, yaitu kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok dan berinteraksi dalam masyarakat. Tujuan utama penciptaan manusia, menurut pandangan Islam, adalah untuk beribadah serta menyembah Allah semata. Fitrah manusia pada dasarnya adalah suka beribadah kepada Allah dan secara intrinsik “disetting” untuk siap melaksanakannya.
2.2. Fitrah sebagai Asal Kejadian dan Potensi Ilahiah
Manusia diciptakan dari segumpal darah dan memiliki potensi positif yang mendalam untuk tumbuh serta berkembang, baik secara fisik maupun mental spiritual. Ruh manusia, yang menjadi esensi kehidupannya, berasal dari Allah SWT. Sejak asal kejadiannya, fitrah manusia membawa potensi beragama yang lurus, sebuah kecenderungan yang melekat pada diri manusia selamanya, meskipun terkadang tidak diakui atau diabaikan. Potensi ini merupakan pengakuan fundamental terhadap adanya kekuasaan tertinggi yang menguasai alam semesta.
Pengembangan fitrah manusia dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan belajar dan pendidikan. Dalam perspektif pendidikan Islam, pengembangan fitrah diarahkan pada penguatan tauhid untuk memperkokoh hubungan manusia dengan Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa fitrah bukan sekadar kondisi statis, melainkan sebuah potensi dinamis yang dapat diaktualisasikan.
2.3. Analogi “Titik Nol”: Keadaan Asali, Pusat Diri, dan Ketenangan Absolut
Analogi “0 km/jam” merepresentasikan keadaan asali fitrah manusia: kondisi suci, murni, dan belum terpengaruh oleh distorsi duniawi. Ini adalah titik stabilitas, potensi murni, dan ketenangan absolut sebelum “perjalanan” kehidupan dimulai. Titik nol ini adalah pusat esensi manusia, tempat di mana hubungan intrinsik dengan Al-Haq (Tuhan) berakar. Ini adalah kondisi di mana manusia “belum bergerak” dari esensi tauhid-nya. Fitrah bersifat potensial, artinya dapat berkembang atau stagnan, dipengaruhi oleh lingkungan, terutama asuhan orang tua. Titik nol ini adalah potensi untuk kebaikan dan kebenaran, yang perlu diaktualisasikan melalui perjalanan hidup.
Kondisi fitrah yang digambarkan sebagai “titik 0 km/jam” berfungsi sebagai titik referensi absolut dalam dinamika eksistensi manusia. Fitrah adalah kemurnian bawaan, kecenderungan pada tauhid, dan potensi fundamental yang menjadi garis panduan bagi jiwa. Meskipun manusia lahir dalam keadaan suci, ia dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sebagaimana disebutkan dalam hadis tentang orang tua yang menjadikan anak Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Oleh karena itu, fitrah tidak hanya statis pada saat kelahiran, tetapi juga merupakan sumbu konstan di mana perkembangan manusia, termasuk potensi penyimpangan, terjadi. Ini adalah “arah sejati” bagi jiwa manusia. Dengan demikian, perjalanan spiritual dalam Sufisme tidak bertujuan untuk memperoleh fitrah, melainkan untuk kembali atau menyelaraskan kembali diri dengan keadaan murni yang inheren ini, atau menghilangkan “kecepatan” (gangguan, keterikatan duniawi) yang telah menjauhkan diri dari ketenangan esensial ini. “0 km/jam” bukanlah tujuan akhir, melainkan asal yang harus senantiasa dijaga atau dikembalikan.
Kecenderungan bawaan fitrah merupakan prasyarat bagi setiap perkembangan spiritual. Fitrah digambarkan sebagai “potensi dasar” dan “kecenderungan bawaan terhadap kebaikan dan kebenaran”. Kemampuan untuk membedakan baik dan buruk serta mengakui kekuatan tertinggi juga terkait dengan fitrah. Potensi inheren ini adalah penyebab atau prasyarat bagi setiap perkembangan spiritual atau pengejaran ma’rifah (mengenal Allah). Tanpa kecenderungan bawaan ini, perjalanan spiritual akan kehilangan dorongan fundamentalnya. Oleh karena itu, fitrah (kemurnian/potensi bawaan) memungkinkan perkembangan spiritual, pendidikan, dan pengejaran tauhid, yang pada gilirannya mengarah pada aktualisasi tujuan manusia (ibadah, menjadi al-Insan al-Kamil). “0 km/jam” ini adalah energi laten, potensi, yang memungkinkan perjalanan “kecepatan tak terhingga” terjadi.
3. Ruang-Waktu sebagai Kendaraan Berkecepatan Tak Terhingga: Dimensi Transendensi
3.1. Konsep Ruang dan Waktu dalam Filsafat Islam Klasik
Filsafat Islam klasik memiliki perdebatan mendalam mengenai sifat ruang dan waktu. Metafisika khusus, khususnya kosmologi, membahas persoalan ruang dan waktu, perubahan, kemungkinan, dan keabadian.
Al-Kindi, seorang filsuf Arab pertama, berpendapat bahwa ruang dan waktu adalah terbatas (finite) dan diciptakan (created). Ia “membuktikan” pernyataannya dengan paradoks infinitas. Baginya, tubuh, waktu, dan gerak adalah konsekuensi yang ada secara simultan; jika tubuh alam semesta terbatas, maka waktu dan gerak juga terbatas dan diciptakan. Al-Kindi juga menegaskan bahwa Tuhan mendahului ciptaan-Nya baik dalam waktu maupun dalam sifat.
Ibn Sina mengaitkan waktu secara erat dengan gerak dan ruang. Ia berpendapat bahwa waktu tidak ada tanpa gerak, menyatakan, “Ketika kita tidak merasakan gerak, kita tidak merasakan waktu”. Menurutnya, waktu adalah kuantitas gerak, dan gerak serta perubahan terjadi dalam waktu. Meskipun demikian, Ibn Sina juga berpendapat bahwa waktu adalah kategori objektif, material, kekal, dan tak terbatas (eternal and infinite). Mengenai ruang, ia tidak menganggapnya sebagai kekosongan abstrak, melainkan sebagai batas tubuh yang melingkupi.
Al-Farabi, dalam kerangka metafisikanya, mengembangkan teori emanasi yang menggambarkan asal-usul alam semesta material. Ia menjelaskan bahwa sepuluh akal atau kecerdasan berasal secara berurutan dari Yang Pertama, dan dari setiap akal tersebut, sebuah bola alam semesta dihasilkan. Alam semesta dibagi menjadi alam gaib (yang tak terlihat oleh manusia) dan alam tampak. Meskipun Al-Farabi tidak secara eksplisit membahas ruang-waktu secara rinci, konsep emanasi ini menyiratkan tahapan penciptaan dan manifestasi yang melampaui pemahaman linear ruang-waktu material.
Dari perspektif Ilahi, Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta waktu dan eksis di luar dimensi waktu. Persepsi Allah terhadap waktu sangat berbeda dari manusia; satu hari bagi Allah bisa setara seribu atau lima puluh ribu tahun manusia, sebagaimana disebutkan dalam QS. As-Sajdah 32:5 dan QS. Al-Ma’arij 70:4. Ini menunjukkan relativitas waktu dari perspektif ilahi yang melampaui batasan waktu fisik.
3.2. Transendensi Ruang-Waktu dalam Tasawuf
Konsep transendensi dalam tasawuf merujuk pada melampaui batas-batas pengalaman atau realitas fisik, berada di luar jangkauan pemahaman manusia, bersifat spiritual atau metafisik, tidak terbatas oleh ruang dan waktu, serta universal dan abadi. Perjalanan spiritual dalam tasawuf, yang dikenal sebagai sairul suluk, adalah perjalanan manusia yang semula berasal dari Al-Haq (Tuhan) lalu melakukan pengembaraan ke alam makhluk (tanazul) dan berusaha kembali ke Al-Haq (taraqqi). Ini adalah proses pendakian (mi’raj) menuju puncak “kesatuan paripurna” dengan Yang Maha Esa.
Dua konsep sentral dalam tasawuf untuk mencapai transendensi adalah fana dan baqa:
- Fana: Adalah hilangnya kesadaran diri dari segala makhluk dan hanya tertuju kepada Allah. Ini berarti lenyapnya sifat manusiawi yang terbelenggu nafsu, diganti dengan ingatan hati yang tenggelam dalam kesempurnaan Allah. Fana adalah penghancuran diri (fana’ al-nafs), hilangnya kesadaran akan tubuh jasmaniah. Ini juga dimaknai sebagai sirnanya sifat-sifat tercela dan diganti dengan sifat-sifat terpuji.
- Baqa: Adalah kekalnya sifat-sifat terpuji setelah mengalami fana. Ini menandai munculnya sifat-sifat positif dalam diri sufi, di mana setiap tindakan diatur dan diawasi oleh Allah. Setelah sadar dari pengalaman fana, tahap kesadaran sufi tidak lagi sama seperti sebelumnya, karena sifat-sifat kebiasaan manusia biasa telah sirna dari hati sanubarinya.
Zikir berfungsi sebagai kendaraan spiritual yang esensial dalam perjalanan ini. Zikir membawa perjalanan insan meninggalkan alam Nasut (dunia fisik) menuju alam Lahut (Ilahi), mencapai asalnya. Tingkatan zikir, terutama Zikir Ma’al Ghaibah, adalah puncak di mana eksistensi diri fana dari segala sesuatu selain Allah, dan kekal bersama Allah (baqa). Tingkatan ini membuka Nur Kasyf (cahaya penyingkapan gaib).
Emha Ainun Nadjib memandang ruang dan waktu dalam konteks manifestasi Tuhan bukan secara harfiah, melainkan sebagai waktu filosofis atau imajinatif, yang merupakan tahapan dalam proses emanasi dan remanasi yang bersifat neo-Platonis. Ia menyatakan bahwa Tuhan “bermain” dengan ruang dan waktu di tangan-Nya, dari aspek metafisik hingga empiris. Baginya, tauhid adalah menggerakkan diri, menggabung ke Allah yang Esa, menjadi tauhid dalam segala iklim ruang dan waktu.
3.3. Analogi “Kecepatan Tak Terhingga”: Melampaui Batasan Fisik dan Temporal
“Kecepatan tak terhingga” dalam konteks ini bukanlah kecepatan fisik, melainkan metafora untuk melampaui batasan ruang dan waktu material. Ini adalah kemampuan jiwa untuk mengakses realitas yang tidak terikat dimensi fisik. Pengalaman fana dan baqa adalah pengalaman mistik yang dicapai sufi untuk mencapai hubungan dekat dengan Allah. Dalam keadaan ini, kesadaran ingatan hanya tertumpu pada Allah, dan ingatan terhadap hal lain menjadi tumpul seolah lenyap. Ini adalah “percepatan” kesadaran menuju titik singularitas Ilahi. Islam sangat menghargai waktu, namun waktu itu netral dan manusia yang menentukan untung-ruginya. Transendensi berarti tidak lagi terikat oleh “gerusan zaman” atau persepsi waktu linear, melainkan melihatnya dari perspektif Ilahi yang melampaui.
Perdebatan filosofis tentang waktu, seperti pandangan Al-Kindi yang menganggap waktu terbatas dan diciptakan berlawanan dengan Ibn Sina yang memandangnya objektif, material, kekal, dan tak terbatas , menciptakan sebuah paradoks. Terlepas dari apakah waktu itu terbatas atau tak terbatas dalam kerangka filosofis, tujuan Sufi adalah untuk melampaui batasan waktu konvensional. “Kecepatan tak terhingga” dari perjalanan spiritual bukan sekadar bergerak sangat cepat, melainkan bergerak melampaui kerangka waktu dan ruang konvensional yang dipahami oleh para filsuf klasik. Hal ini menunjukkan pergeseran kualitatif dalam persepsi, menyelaraskan kesadaran manusia dengan perspektif Ilahi yang abadi. Paradoks ini menyoroti bahwa kerangka intelektual manusia, seperti yang dikembangkan oleh Al-Kindi dan Ibn Sina, memiliki keterbatasan dalam memahami realitas Ilahi, yang mana Sufisme bertujuan untuk mengalaminya secara langsung.
Analogi ruang-waktu sebagai “kendaraan” menyiratkan bahwa ia adalah medium sekaligus penghalang. Filsafat Islam klasik, melalui pemikir seperti Al-Kindi dan Ibn Sina, memandang ruang dan waktu sebagai aspek fundamental dari penciptaan dan gerak. Mereka adalah medium di mana eksistensi terhampar. Namun, Sufisme berupaya untuk melampaui dimensi-dimensi ini. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ruang-waktu adalah medium bagi keberadaan duniawi, ia juga berfungsi sebagai penghalang bagi pengalaman langsung Realitas Absolut. “Kecepatan tak terhingga” diperlukan karena ruang-waktu, meskipun menjadi kendaraan bagi eksistensi fisik, merupakan batasan bagi realisasi spiritual. Perjalanan Sufi menggunakan medium kehidupan (dalam ruang-waktu) untuk mengatasi keterbatasan ruang-waktu, mengubah “kendaraan” dari sebuah batasan menjadi sarana pembebasan. “Kecepatan” ini adalah intensitas upaya spiritual (zikir, fana) yang memungkinkan individu untuk memahami dan merasakan melampaui batas-batas konvensional.
4. Sufisme dan Tasawuf: Perjalanan Menuju Realitas Absolut
4.1. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf (Fana, Baqa, Hudhur, Ghaibah)
Tasawuf adalah ilmu tentang mensucikan jiwa, menjernihkan akhlak, agar tercapai kebahagiaan abadi dan pendekatan (taqrub) kepada Allah. Dalam disiplin ilmu tasawuf, konsep fana dan baqa selalu terhubung. Fana adalah hilangnya kesadaran diri dari segala makhluk dan hanya tertuju kepada Allah. Ini adalah lenyapnya sifat manusiawi yang terbelenggu nafsu, diganti dengan ingatan hati yang tenggelam dalam kesempurnaan Allah. Fana merupakan maqam (tingkatan) terakhir yang dilalui oleh sufi dalam perjalanan mencapai ma’rifah Allah SWT (mengenal Allah SWT). Baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji setelah fana. Ini menandai munculnya sifat-sifat positif dalam diri seorang sufi, di mana setiap tindakan diatur dan diawasi oleh Allah.
Zikir adalah metode utama dalam sairul suluk dan memiliki tingkatan yang mencerminkan progres spiritual:
- Zikir Ma’al Ghaflah: Mulut berzikir, tetapi hati, akal, dan perasaannya tidak ingat kepada siapa ia berzikir (Allah).
- Zikir Ma’al Yaqzhah: Zikir terjaga, di mana akalnya telah ingat kepada Yang Maha Esa, namun cahaya zikirnya belum sampai ke dalam hati.
- Zikir Ma’al Hudhur: Hati dan jiwanya telah hadir bersama Allah ketika berzikir. Nur Waridat (cahaya petunjuk) telah masuk ke dalam hatinya, membersihkan dan mensucikannya dari penyakit nafsu.
- Zikir Ma’al Ghaibah: Ini adalah puncak zikir bagi golongan Al-Arifin (gnostik), di mana eksistensi diri telah fana atau hancur dari segala sesuatu selain Allah ketika berzikir, dan ia menjadi baqa (kekal) bersama Allah. Nur Kasyf (cahaya penyingkapan gaib) telah terbuka, sehingga Allah bertajalli terhadap dirinya, memungkinkannya menyaksikan dan memahami perkara-perkara gaib.
4.2. Perjalanan Spiritual (Sairul Suluk) dan Zikir sebagai Kendaraan
Sairul suluk adalah proses pendakian dari makhluk menuju Al-Haq. Proses ini melibatkan penyempurnaan empat pilar utama: Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat. Jika Syariat tidak baik atau belum sempurna, proses Tarekat akan terhambat. Zikir berfungsi sebagai kendaraan spiritual yang membawa perjalanan insan meninggalkan alam Nasut (dunia fisik/syahadah/khalqiyah) menuju alam Lahut (Ilahi/Uluhiyah) dan kembali ke asalnya. Zikir “La ilaha illa Allah” melibatkan nafi (meniadakan anaiyyah wahmiyyah atau diri ilusi) dan itsbat (menetapkan Realitas Allah di hati).
4.3. Hubungan antara Fitrah dan Pencapaian Maqam Sufi
Fitrah, dengan kesucian dan potensi tauhid yang melekat padanya, merupakan fondasi dan titik awal yang esensial bagi perjalanan spiritual. Tanpa fitrah yang murni sebagai landasan, perjalanan menuju Al-Haq akan menghadapi hambatan mendasar. Pendidikan Islam secara khusus diarahkan pada penguatan tauhid untuk memperkuat hubungan manusia dengan Allah , yang merupakan prasyarat vital bagi sairul suluk.
Proses fana dapat dipahami sebagai pemurnian kembali fitrah dari pengaruh negatif duniawi (mazmumah) dan pengembalian kepada esensi tauhid yang murni (mahmudah). Ini adalah penghapusan “kecepatan” yang salah, yaitu keterikatan pada ego dan dunia, agar jiwa dapat bergerak dengan “kecepatan tak terhingga” yang benar menuju Tuhan.
Konsep sairul suluk yang melibatkan “tingkat demi tingkatan” atau “taraf-taraf yang berbeda” dalam pendakian menuju Al-Haq menunjukkan sifat perjalanan spiritual yang iteratif. Emha Ainun Nadjib menggambarkan manifestasi Tuhan dan remanasi manusia dalam “enam hari” yang bukan waktu literal, melainkan “waktu filosofis” atau “tahapan dalam proses emanasi”. Model Spiritual Theory of Everything (STOEM) juga menggambarkan realitas sebagai “sistem iteratif, diatur oleh transformasi diskrit” dan menggantikan “gagasan waktu tradisional dengan iterasi diskrit”. Hal ini menunjukkan bahwa perjalanan spiritual (sairul suluk) bukanlah progresi linear yang berkelanjutan dalam waktu konvensional, melainkan serangkaian transformasi diskrit atau iterasi yang memungkinkan sufi melampaui waktu linear. Setiap maqam (tingkatan) atau hal (keadaan) dapat dipandang sebagai “lompatan kuantum” atau “iterasi diskrit” dalam kesadaran, di mana persepsi waktu itu sendiri berubah. “Kecepatan tak terhingga” dicapai bukan dengan mempercepat dalam waktu, melainkan dengan bergerak antar keadaan kesadaran diskrit ini, secara efektif melewati aliran waktu duniawi yang berkelanjutan.
Fana didefinisikan sebagai hilangnya kesadaran diri, hilangnya kesadaran akan makhluk, dan fokus semata-mata pada Allah. Ini juga berarti “sirnanya sifat-sifat tercela”. Baqa, yang mengikuti fana, adalah kekalnya sifat-sifat terpuji. Fana bertindak sebagai proses de-identifikasi, melepaskan “kecepatan” yang terkumpul (gangguan, ego, keterikatan duniawi) yang telah menarik individu menjauh dari “0 km/jam” fitrah. De-identifikasi ini merupakan prasyarat bagi baqa, yang merupakan re-identifikasi dengan Yang Ilahi. Keadaan baqa, yang dicirikan oleh sifat-sifat terpuji dan kesadaran konstan akan Tuhan, pada dasarnya adalah keadaan fitrah yang teraktualisasi, di mana potensi bawaan sepenuhnya terwujud. Dengan demikian, perjalanan spiritual adalah proses dinamis melepaskan diri yang tidak otentik (fana) untuk mengungkapkan diri yang otentik dan selaras dengan fitrah (baqa).
5. Metafisika Eksakta: Pendekatan Rigor dalam Memahami Realitas
5.1. Definisi Metafisika Eksakta: Ilmu tentang Realitas Absolut yang Ketat dan Eksak
Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas hakikat yang ada di balik realita, tentang hakikat yang ada yang bersifat transenden, di luar atau di atas kemampuan manusia. Seyyed Hossein Nasr mendefinisikannya sebagai “ilmu tentang Realitas, tentang asal dan tujuan segala sesuatu, tentang Yang Absolut dan dalam cahayanya, yang relatif”. Dalam pandangan tradisional, metafisika adalah ilmu yang ketat dan eksak seperti matematika, dengan tingkat kejelasan dan kepastian yang sama. Tujuannya bukan untuk membuktikan suatu proposisi, melainkan untuk membuat doktrin dapat dipahami dan menunjukkan konsistensinya. Berbeda dari filsafat modern yang seringkali bersifat rasionalistik semata, metafisika eksakta adalah theoria realitas yang realisasinya berarti kesucian dan kesempurnaan spiritual.
5.2. Peran Intuisi Intelektual dalam Metafisika
Pengetahuan metafisika tidak hanya dicapai melalui penalaran rasional (ratiocination), melainkan secara fundamental melalui intuisi intelektual. Istilah “Intellect” dalam konteks tradisionalis tidak merujuk pada kekuatan mental modern, melainkan fakultas yang memahami transenden, menerima intuisi, dan memahami realitas tatanan superfenomenal. Ia bersifat reseptif, bukan produktif; ia menerima dan mentransmisikan pengetahuan. Konsep ma’rifah (pengenalan langsung terhadap Allah) menurut Al-Ghazali dicapai melalui qalbu (hati) sebagai cermin percikan ruhaniah ketuhanan, dan didapat melalui ilham (inspirasi) bukan melalui pelajaran atau penalaran. Hal ini selaras dengan konsep intuisi intelektual.
5.3. Monisme Sufi dan Wahdah al-Wujud dalam Konteks Metafisika
Metafisika membahas pertanyaan fundamental mengenai sifat realitas: apakah ia tunggal atau jamak. Dalam konteks Islam, perdebatan ini muncul di kalangan sufi dan fuqaha. Beberapa sufi berpendapat bahwa yang ada pada hakikatnya adalah satu, yaitu Tuhan, yang terwujud dalam konsep “manunggaling kawula gusti”. Mereka meyakini bahwa Realitas sejati hanya satu (Tuhan), dan segala sesuatu yang lain adalah pseudo-realitas atau emanasi yang tidak memiliki realitas sejati.
Konsep Wahdah al-Wujud (Kesatuan Wujud) secara mendalam diartikulasikan oleh pemikir seperti Emha Ainun Nadjib. Ia memahami Wahdah al-Wujud sebagai Tuhan yang “membelah diri” atau “memecah diri” untuk memanifestasikan manusia dan alam semesta, menunjukkan kesatuan esensial antara Tuhan dan manusia. Seluruh tahapan manifestasi ini dipandang sebagai mata rantai pancaran cahaya, membentuk kesatuan wujud dan ontologi. Meskipun Tuhan bersifat transenden dan melampaui formulasi, manifestasi-Nya di alam semesta mengartikulasikan imanen-Nya, menjadikan alam semesta sebagai wajah-Nya, sehingga ke mana pun seseorang berpaling, hanya wajah Tuhan yang terlihat.
Terdapat konvergensi yang mendalam antara intuisi intelektual dalam metafisika dan pengalaman spiritual dalam Sufisme. Metafisika eksakta dicapai melalui “intuisi intelektual” dan digambarkan sebagai “ilmu tentang Realitas”. Sementara itu, Sufisme bertujuan untuk mencapai ma’rifah (mengenal Allah) melalui praktik spiritual seperti zikir dan pengalaman seperti fana dan baqa, yang mengarah pada terbukanya Nur Kasyf (penyingkapan gaib). Al-Ghazali juga menghubungkan ma’rifah dengan ilham (inspirasi). Kedua jalur ini berusaha untuk memahami Realitas Absolut melampaui deduksi rasional semata. Hal ini menunjukkan bahwa metafisika menyediakan kerangka konseptual dan pemahaman intelektual yang ketat tentang Yang Absolut, sementara Sufisme menyediakan jalur pengalaman untuk merealisasikan pemahaman tersebut. “Ketetatan” metafisika bukan hanya koherensi logis, melainkan presisi ontologis yang hanya dapat sepenuhnya “diketahui” melalui pengalaman spiritual yang langsung dan intuitif. “Kecepatan tak terhingga” dari perjalanan spiritual adalah sarana untuk mengaktualisasikan kebenaran “eksak” dari metafisika.
Doktrin metafisika Wahdah al-Wujud memberikan tujuan dan rasionalisasi utama bagi perjalanan spiritual “kecepatan tak terhingga.” Jika semua eksistensi pada dasarnya satu dengan Tuhan , maka perjalanan Sufi yang bertujuan untuk kembali kepada Al-Haq memiliki dasar yang kuat. Analogi “kecepatan tak terhingga” menyiratkan perjalanan menuju kesatuan atau singularitas tertinggi. Doktrin Wahdah al-Wujud memberikan tujuan akhir dan alasan bagi perjalanan spiritual “kecepatan tak terhingga.” Jika semua keberadaan pada dasarnya satu dengan Tuhan, maka “kecepatan” perjalanan adalah intensitas dalam melarutkan ilusi pemisahan, yang mengarah pada realisasi kesatuan yang inheren ini. Fitrah “0 km/jam” adalah benih kesatuan ini, dan perjalanan “kecepatan tak terhingga” adalah perwujudan penuhnya menuju realisasi Wahdah al-Wujud. Doktrin ini mengubah perjalanan dari sekadar pencarian menjadi proses penyingkapan realitas yang sudah ada, meskipun tersembunyi.
6. Ilustrasi Matematis: Memvisualisasikan Konsep Spiritual
6.1. Analogi Matematika untuk Konsep Spiritual (0, 1, Tak Terhingga)
Hubungan antara matematika dan agama telah terjalin lama dan rumit, di mana matematika digunakan untuk memahami kosmos dan Yang Ilahi. Matematika berpotensi memberikan pengetahuan sempurna tentang objek transendental.
- 0 (Nol): Merepresentasikan fitrah manusia sebagai keadaan asali, kemurnian, dan potensi murni. Dalam matematika, 0 adalah titik asal, identitas aditif, atau ketiadaan yang memiliki potensi untuk menjadi sesuatu. Analogi fitrah sebagai 0 adalah kondisi “belum bergerak,” belum terpengaruh, titik keseimbangan awal. Ini bukan “tidak ada,” melainkan “semua potensi yang belum teraktualisasi.”
- ∞ (Tak Terhingga): Merepresentasikan transendensi ruang-waktu sebagai “kecepatan tak terhingga,” yaitu kemampuan melampaui batasan fisik dan temporal menuju Realitas Absolut yang tak terbatas. Dalam konteks spiritual, kecepatan tak terhingga berarti bergerak melampaui konsep linearitas dan batasan, menuju Realitas Absolut yang tak terbatas. Dalam matematika, tak terhingga seringkali terkait dengan limit, sesuatu yang tidak dapat dicapai secara fisik tetapi dapat didekati atau dipahami secara konseptual.
- 1 (Satu): Merepresentasikan konsep keesaan Tuhan (Tauhid) dan kesatuan wujud (Wahdah al-Wujud). Angka 1 melambangkan keesaan Allah, titik konvergensi dari segala multiplisitas. Dalam “Spiritual Math,” 1 + 1 = 2 dapat berarti menjadi lebih dengan yang lain, sementara 1 * 1 = 1 dapat berarti jika seseorang terlalu penuh dengan dirinya sendiri, tidak ada ruang untuk yang lain. Namun, dalam konteks Wahdah al-Wujud, segala sesuatu pada akhirnya kembali kepada Yang Satu.
6.2. Konsep Derivatif dan Integral dalam Perjalanan Spiritual
- Derivatif (Turunan): Dalam matematika, derivatif mengukur laju perubahan suatu fungsi pada titik tertentu. Dalam analogi spiritual, “derivatif merepresentasikan spirit”. Ini dapat dianalogikan dengan gerak atau dinamika perjalanan spiritual (sairul suluk). Spirit adalah kekuatan pendorong, arah, dan intensitas perubahan dalam diri sufi. Perubahan dari satu maqam ke maqam lain adalah “laju perubahan” spiritual.
- Integral: Dalam matematika, integral adalah kebalikan dari derivatif, digunakan untuk menemukan akumulasi atau total nilai suatu fungsi. Dalam analogi spiritual, “integral menjumlahkan perjalanan spiritual Anda ke dalam jiwa”. Ini merepresentasikan akumulasi pengalaman spiritual, pengetahuan (ma’rifah), dan transformasi diri sepanjang perjalanan. Integral spiritual adalah “totalitas” dari pencapaian dan pemahaman yang membentuk jiwa sufi, mengarah pada baqa.
6.3. Fraktal dan Multiplisitas dalam Kesatuan
- Fraktal: Struktur geometris yang menunjukkan pola berulang pada skala yang berbeda, seringkali menunjukkan “kesamaan diri” (self-similarity). Dalam analogi spiritual, “fraktal merepresentasikan pola kehidupan”. Dalam konteks Wahdah al-Wujud, fraktal dapat memvisualisasikan bagaimana Realitas Absolut (Yang Satu) memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk (multiplisitas) di alam semesta, namun tetap mempertahankan pola atau esensi yang sama pada setiap tingkat manifestasi. Setiap bagian mencerminkan keseluruhan, seperti dalam konsep “Menyaksikan yang banyak pada yang satu dan Menyaksikan yang satu pada yang banyak”. Model STOEM 3.0 juga menggunakan “ruang fraktal” untuk menggambarkan alam semesta yang berevolusi.
- Unity and Multiplicity: Metafisika membahas bagaimana kesatuan dan multiplisitas berinteraksi. Aristoteles membahas bagaimana “satu” adalah sifat tertentu, dan setiap angka adalah angka dari beberapa hal. Dalam Islam, Allah adalah Al-Ahad (Yang Maha Esa) namun juga Al-Jamal (Yang Maha Indah) dan Al-Katsir (Yang Maha Banyak dalam manifestasi). Fraktal menunjukkan bagaimana dari satu “aturan” atau “esensi” dasar, dapat muncul kerumitan dan keindahan yang tak terbatas, namun tetap dalam kesatuan. Ini menggambarkan bagaimana fitrah yang satu dan murni dapat bermanifestasi dalam berbagai individu dan pengalaman, namun tetap terhubung pada asal yang sama.
Operasi matematis sederhana, seperti penjumlahan, pengurangan, dan perkalian, dapat menjadi model untuk transformasi spiritual. Sebagai contoh, “0 + 0 = 0” dapat diartikan sebagai “Anda tidak mendapatkan sesuatu dari ketiadaan,” “1 – 1 = 0” berarti “Anda tidak memiliki apa-apa jika Anda merugikan diri sendiri,” dan “1 + 1 = 2” dapat berarti “Anda menjadi lebih dengan yang lain” (meskipun juga berisiko kehilangan diri sendiri). Jika satu pihak tidak hadir dalam hubungan, hasilnya adalah “1 * 0 = 0”. Analogi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan spiritual tidak hanya bersifat aditif, tetapi juga bisa transformatif (melalui pelepasan ego), subtraktif (menghilangkan hambatan), atau bahkan multiplikatif (sinergi dalam hubungan dengan Tuhan atau sesama). Fitrah “0 km/jam” dapat dipandang sebagai “elemen identitas” dalam aljabar spiritual ini, sebuah keadaan keseimbangan sempurna di mana penambahan atau pengurangan ego menyebabkan penyimpangan, dan perkalian dengan kehadiran ilahi mengarah pada transendensi. Hal ini mengindikasikan bahwa kemajuan spiritual tidak hanya tentang apa yang dilakukan, tetapi juga tentang sifat matematis dari transformasi itu sendiri.
Model STOEM 3.0 menggambarkan realitas sebagai “sistem iteratif, diatur oleh transformasi diskrit” dan menggantikan “gagasan waktu tradisional dengan iterasi diskrit,” bahkan menyebutkan konstanta Planck yang mengkuantisasi interaksi ilahi. Konsep Sufi tentang maqamat adalah “tingkatan” atau “stasiun” yang berbeda , dan zikir berkembang melalui empat tingkatan diskrit. Hal ini menunjukkan bahwa perjalanan “kecepatan tak terhingga” bukanlah akselerasi yang mulus dan berkelanjutan, melainkan serangkaian “lompatan kuantum” atau “langkah diskrit” antar keadaan spiritual. “Kecepatan” di sini bukan kecepatan kontinu, melainkan transisi instan dari satu keadaan ke keadaan lain, melewati “ruang” waktu konvensional. Ini memberikan analogi matematis untuk sifat transformatif fana dan baqa, di mana satu keadaan (kesadaran diri) “dimusnahkan” dan keadaan baru (kesadaran Tuhan) “bertahan” secara diskrit dan non-linear. Fitrah “0 km/jam” adalah keadaan dasar, dan “kecepatan tak terhingga” adalah energi yang dibutuhkan untuk lompatan kuantum menuju keadaan spiritual yang lebih tinggi.
Tabel 1: Analogi Matematis Konsep Spiritual
Konsep Matematis | Analogi Spiritual/Metafisika | Penjelasan Konseptual | Sumber |
0 (Nol) | Fitrah Manusia (Titik Asali) | Keadaan asali yang suci, murni, belum terpengaruh, dan penuh potensi. Titik keberangkatan yang stabil dan fundamental, tanpa “kecepatan” ego duniawi. | |
∞ (Tak Terhingga) | Transendensi Ruang-Waktu (Kecepatan Tak Terhingga) | Kemampuan melampaui batasan fisik dan temporal menuju Realitas Absolut yang tak terbatas. Merepresentasikan pengalaman fana dan baqa yang melampaui persepsi linear. | |
1 (Satu) | Tauhid / Wahdah al-Wujud | Keesaan Tuhan (Allah SWT) sebagai sumber tunggal segala eksistensi. Titik konvergensi tertinggi dari segala multiplisitas. | |
Derivatif | Spirit / Dinamika Perjalanan Spiritual (Sairul Suluk) | Mengukur laju perubahan atau arah dalam perjalanan spiritual. Merepresentasikan kekuatan pendorong dan intensitas gerak jiwa menuju Realitas Absolut. | |
Integral | Akumulasi Pengalaman Spiritual / Ma’rifah | Menjumlahkan atau mengintegrasikan seluruh pengalaman dan pembelajaran sepanjang perjalanan spiritual, membentuk totalitas pemahaman dan transformasi jiwa. | |
Fraktal | Multiplisitas dalam Kesatuan (Wahdah al-Wujud) | Pola berulang dari Realitas Ilahi yang termanifestasi dalam berbagai skala alam semesta. Menunjukkan bagaimana yang banyak berasal dari Yang Satu, dan setiap bagian mencerminkan keseluruhan. | |
Iterasi Diskrit | Maqamat / Tahapan Spiritual | Perjalanan spiritual sebagai serangkaian lompatan atau transformasi “kuantum” antar tingkatan kesadaran, bukan progresi linear kontinu. |
7. Sintesis: Integrasi Analogi Fitrah-Ruang Waktu dalam Kerangka Sufi-Metafisika
7.1. Menyatukan “Titik Nol” dan “Kecepatan Tak Terhingga” dalam Pengalaman Spiritual
Analogi fitrah sebagai “titik 0 km/jam” dan ruang-waktu sebagai “kendaraan berkecepatan tak terhingga” menawarkan kerangka yang kuat untuk memahami dinamika spiritual. Fitrah adalah titik asali yang murni dan berpotensi tauhid, mewakili fondasi statis, esensi yang belum terdistorsi oleh “gerak” duniawi. Di sisi lain, ruang-waktu, meskipun menjadi medium eksistensi, juga merupakan dimensi yang harus dilampaui dan sekaligus medium perjalanan spiritual. “Kecepatan tak terhingga” ini bukan kecepatan fisik, melainkan transendensi kualitatif, sebuah pergeseran dalam kesadaran.
Perjalanan spiritual dalam tasawuf (sairul suluk) adalah upaya untuk “menggerakkan” diri dari kondisi terdistorsi oleh dunia kembali ke “titik nol” fitrah yang murni. Namun, gerakan ini dilakukan dengan kesadaran yang diperkaya oleh pengalaman transenden. Ini adalah gerakan “melampaui” ruang-waktu untuk menyadari bahwa fitrah itu sendiri adalah cerminan dari Realitas Absolut yang melampaui ruang-waktu. Konvergensi antara “titik nol” (fitrah) dan “kecepatan tak terhingga” (transendensi ruang-waktu) paling jelas terlihat dalam pengalaman fana dan baqa. Fana adalah “penghentian” total dari gerak ego duniawi, seolah mencapai 0 km/jam dari perspektif ego yang terpisah. Sementara itu, baqa adalah “kecepatan tak terhingga” dalam kesadaran Ilahi, di mana batasan ruang-waktu menjadi tidak relevan dan kesadaran menyatu dengan Realitas Absolut.
7.2. Implikasi Teologis dan Filosofis dari Analogi
Analogi ini memiliki implikasi teologis dan filosofis yang signifikan. Pertama, ia menegaskan teleologi eksistensi manusia, bahwa tujuan keberadaan adalah kembali kepada asal (fitrah) dan Realitas Absolut (Allah), melampaui ilusi duniawi. Fitrah berfungsi sebagai “cetak biru” ilahi dalam diri manusia yang secara inheren memanggilnya kembali kepada Sang Pencipta. Kedua, analogi ini menjelaskan bahwa spiritualitas bukanlah keadaan pasif, melainkan proses yang sangat dinamis, membutuhkan “gerak” dan “kecepatan” dalam bentuk zikir, mujahadah, dan riyadhah untuk mencapai transendensi.
Ketiga, analogi ini memperkuat konsep Wahdah al-Wujud, di mana perjalanan dari multiplisitas kembali ke kesatuan adalah realisasi hakikat bahwa segala sesuatu berasal dari dan kembali kepada Yang Satu. “Titik nol” fitrah adalah manifestasi mikro dari “kecepatan tak terhingga” Realitas Absolut. Terakhir, relevansi metafisika eksakta menjadi jelas, menunjukkan bagaimana pendekatan yang ketat dan eksak dapat memberikan kerangka untuk memahami pengalaman spiritual yang sering dianggap subjektif. Matematika, dalam konteks ini, menjadi bahasa universal untuk menggambarkan hubungan antara yang terbatas dan tak terbatas, yang diam dan yang bergerak, memberikan presisi pada konsep-konsep yang abstrak.

Aldi Fajar
1 month ago
Kisah ini ditulis oleh Nizami Ganjavi (nama pena) karena berasal dari daerah Gans, Azerbaijan, nama aslinya adalah Jamaluddin Ilyas bin Yusuf bin Zakky. Ia merupakan ahli hikmah (Hakim Nizami), sejak kecil yatim dan dibesarkan pamannya dan disekolahkan, sangat pintar, menguasai banyak ilmu agama.
Hal yang menarik dari hidupnya, Nizami yaitu merupakan seorang sastrawan dan banyak menulis kisah cinta, salah satunya Laila & Majnun. Dalam kesempatan kali ini merupakan cerita rakyat/lisan, orang Arab sebelumnya sudah masyhur mengenal kisah Laila & Majnun. Namun ada beberapa yang kontroversial, bahwa ada yang menganggap cerita ini ini nyata apa cuma rekaan.
Dalam riwayat, Majnun bernama asli Qais begitu dikenal begitu tampan, pintar, dan terpandang di sukunya, sedangkan Laila bernama asli Ibnu ‘Aamir yang begitu cantik berasal dari suku sebelah. Dalam kisahnya karena dalam lingkup satu sekolah yang sama, ketika Majnun pertama kali melihat paras Laila yang cantik rupawan, seketika ia jatuh cinta. Pemuda-pemudi nusantara kerap menyebutnya “Jatuh cinta pada pandangan pertama.”
Seketika Majnun kehilangan kesadaran karena tumbuh benih-benih cinta yang tak ia sangka. Begitu pun Layla ketika untuk pertama kalinya menatap wajah Qays, langsung terpikat. Dua orang anak muda itu sama-sama jatuh cinta. Bahkan keduanya digambarkan sedang “Mabuk” (Cinta).
…….., “Wahai Laila, Cinta telah membuatku lemah tak berdaya // Seperti anak hilang, jauh dari keluarga dan tidak memiliki apa-apa //
Mereka mengatakan aku telah tersesat // Wahai, mana mungkin cinta menyesatkan // Jiwa mereka sebenarnya kering, laksana dedaunan // Diterpa panas mentari siang //
Bagiku cinta adalah keindahan // yang membuat mata tak bisa terpejam // Pemuda mana yang bisa selamat dari api cinta? //”
Majnun ketika gila sering dikerumuni orang karena ia kerap kali menggubah syair, begitu ditunggu-tunggu karena keindahannya. Setelah beberapa lama, ia seperti orang tidak terawat tidak pakai baju dan rambutnya gondrong. Begitu pun Laila yang dalam beberapa bagian ceritanya, kerap kali mengeluarkan puisi. Dan pada akhirnya puisi-puisi Laila dikirim melalui surat untuk Majnun.
Dalam waktu yang tidak begitu lama, tersebarlah gosip tentang kedua anak muda yang tengah dimabuk cinta tersebut. Dari berita itu, ayah Layla merasa hal itu merupakan pencemaran nama baik yang dianggap meruntuhkan kehormatan suku. Maka supaya tidak menjadi bahan omongan terus menerus, kemudian Laila tidak lagi diperbolehkan sekolah kembali. (Dua anak muda yang sedang mabuk-mabuknya sekarang dipisah). Kemudian dimulailah babak pertama kegilaan Qais.
Majnun berusaha dengan berbagai cara untuk bertemu Laila, akan tetapi tidak bisa. Lalu mulailah muncul syair-syair, tangisan-tangisan rindu Majnun. Kemana-mana hanya menyebut nama Laila…Laila…Laila..dan Laila. Bahkan ia rela menyamar sebagai kambing, dan berjalan diantara kambing-kambing tersebut ketika melintasi kediaman Laila. Dalam riwayat lain, Majnun rela menyamar sebagai pengemis yang hina ke desa Laila dan menyamar sebagai pembantu perempuan, yang tak lain supaya kembali bisa menatap kekasihnya.
Singkat cerita, karena Laila juga sangat merindukan Majnun, ia pun kerap kali merenung dan mengharap kembali kedatangan Majnun. Ia kerap setiap saat menyeru nama Majnun di penjara kamarnya, begitupun di taman kediamannya. Hanya Majnun yang tertulis dalam lubuk hatinya, hanya Allah dan Laila yang tahu betapa cintanya ia terhadap Majnun.
Namun, apalah daya sang ayah tidak tega melihatnya dan ia pun dinikahkan dengan Ibn Salam, yang merupakan seorang bangsawan. Lantas Laila pun menolaknya, akan tetapi ponolakannya tidak digubris oleh pihak keluarganya, dan pernikahanpun berlangsung.
Kabar itu sampai kepada Majnun, dan ia semakin gila, menangis, meratap berhari-hari dan memilih menyendiri di dalam gubuk kecilnya di atas bukit. Setelah bertahun-tahun menyendiri dan hidup bersama binatang buas, akhirnya Majnun pun rela melepas Laila dan menemukan kedamaian.
Sejak pernikahannya dengan Ibn Salam, Laila sama sekali belum pernah berhubungan suami istri dengannya, ia masih tetap mengharap kehadiran Majnun di sisinya. Selang beberapa lama, Ibn Salam pun dikabarkan meninggal di waktu musim panas. Laila pun terisak tangi tersedu-sedu, bukan karena menangisi kepergian Ibn Salam, akan tetapi ia menangis kerinduan akan bertemu Majnun dan sangat mencintainya.
Tak lama kemudian ketika Laila kembali ke rumah ayahnya, Ia dikabarkan jatuh sakit batuk parah dan tidak memikirkan kesehatannya. Ia hanya memikirkan Majnun setiap saat, bahkan ketika maut menjemput pun ia tetap memikirkan Majnun. Pada akhirnya, ketika gelapnya malam, Laila seperti biasa menatap pinti dan ia pun menghembuskan nafas terakhirnya dan bergumam “Majnun….Majnun….Majnun….Majnun.”
Kematian gadis si cantik jelita tersebut tersebar ke seluruh penjuru negeri, dan sampai pula kepada Majnun. Ia pun seketika pingsan di tengah padang gurun. Ketika kembali sadar, ia pun langsung bergegas menuju desa Laila dan berkunjung ke makam Laila. Ketika tidak sanggup jalan, ia pun menyeret tubuhnya untuk sampai ke makam Laila. Ia pun meletakkan tubuhnya di atas makam Laila dan diriwayatkan setelah beberapa hari Majnun pun turut meninggal. Jasad Majnun pun baru ditemukan satu tahun setelahnya.
Di akhir kisahnya, seorang Sufi dalam mimpinya melihat Majnun tengah dibelai dengan penuh rasa cinta dan sayang oleh Allah SWT, kemudian ia pun mendudukkan Majnun disamping-Nya. Kemudian berkata lah Allah SWT kepada Majnun “apakah engkau tidak malu wahai Qais memanggil-manggil nama-Ku dengan sebutan Laila, setelah kau meminum minum anggur Cintaku?”
Tak begitu lama sang sufi pun terbangun dan berangan-angan: “Jikalau Majnun begitu diperlakukan demikian (penuh kasih sayang) oleh Allah SWT, lantas bagaimana dengan Laila?”. Seketika Allah memberikan ilham kepadanya bahwa kedudukan Laila jauh lebih agung dan tinggi daripada Majnun, karena ia menyembunyikan segala rahasia cintanya dalam diri dan hidupnya sendiri.
Pelajaran yang dapat kita petik yaitu, jika seseorang sudah jatuh/dimabuk cinta kepada Allah, maka akan keluar secara otomatis dari mulutnya nama Allah Allah Allah, baik sengaja atau tidak pasti itu akan keluar dan tidak aka nada bosannya. “Cinta adalah pondasi dalam beribadah”. Bahkan para wali Allah lupa terhadap dirinya dan rela melakukan apa saja untuk beribadah kepada Allah. Seperti kisah di atas, begitu ketika cinta kepada Allah SWT, maka dunia dan segala isinya tidak berarti.
Dalam konteks hablun min Allah dan hablun min An-Naas, orang yang menyembunyikan amal perbuatannya dari orang lain maka akan mendapat sisi yang tinggi dihadapan-Nya. Karena hanya ia dan Tuhannya yang tahu.

Aldi Fajar
4 months ago
Di manakah letak perbedaan antara Tuhan dan hamba? Bukankah hitam dan putih pada mata kita sendiri hanya terlihat bila ada cermin? Apakah yang kita lihat adalah sama dengan apa yang kita gunakan untuk melihat? Dan pernahkah kita telusuri, di mana letak pandangan bila mata telah terpejam?
: : : : : : : : :
وَمَا يَسْتَوِى الْاَعْمٰى وَالْبَصِيْرُ ەۙ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَلَا الْمُسِيْۤئُۗ قَلِيْلًا مَّا تَتَذَكَّرُوْنَ ٥٨
wa mâ yastawil-a‘mâ wal-bashîru walladzîna âmanû wa ‘amilush-shâliḫâti wa lal-musî’, qalîlam mâ tatadzakkarûn
“Tidak sama orang buta dengan orang melihat. Tidak (sama) pula orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dengan orang-orang yang berbuat keburukan. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” [QS. Surat Ghafir ayat 58]

Aldi Fajar
4 months ago
Dalam Kitab Bidayatul Hidayah :
Karya Syaikh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali qs.
حديث جامع في معاصي القلب
101. Hadits yang Menghimpun tentang Maksiat Batin
والأخبار في الحسد والكبر والرياء والعجب كثيرة، ويكفيك فيها حديث واحد جامع
Hadits tentang hasad, sombong, riya’, dan ‘ujub banyak sekali, cukuplah bagimu sebuah hadits yang menghimpun semuanya.
فقد روى ابن المبارك بإسناده عن رجل أنه قال لمعاذ: يا معاذ حدثني حديثا سمعنه من رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: (فبكى معاذ حتى ظننت أنه لا يسكت، ثم سكت، ثم قال: واشوقاه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وإلى لقائه
Abdullah bin al-Mubarak telah meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari seseorang (Khalid bin Ma’dan) bahwasanya dia berkata kepada Mu’adz: “Wahai Mu’adz, ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah Saw.”, ia berkata lagi: “Mu’adz menangis hingga aku mengira ia tidak akan berhenti menangis, kemudian akhirnya Mu’adz berhenti menangis.” Kemudian Mu’adz berkata: “Sungguh aku merindukan Rasulullah Saw., dan aku ingin berjumpa dengannya.”
ثم قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لي: (يا معاذ، إني محدثك بحديث إن أنت حظفته نفعك عندالله، وإن ضيعته ولم تحفظه انقطعت حجتك عند الله تعالى يوم القيامة
Kemudian Mu’adz berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda kepadaku: “Wahai Mu’adz, sesungguhnya aku akan menceritakan kepadamu sebuah hadits apabila engkau dapat memeliharanya, ia akan memberikan manfaat kepadamu di sisi Allah, apabila engkau menyia-nyiakan dan tidak memeliharanya, maka terputuslah hujjahmu di hadapan Allah Ta’ala di hari kiamat,
يا معاذ إن الله تبارك وتعالى خلق سبعة أملاك قبل أن يخلق السموات والأرض، فجعل لكل سماء من السبع ملكا بوابا عليها، فتصعد الحفظة بعمل العبد من حين يصبح إلى حين يمسي، له نور كنور الشمس، حتى إذا صعدت به إلى السماء الدنيا زكته وكثرته
Wahai Mu’adz, sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan tujuh malaikat sebelum menciptakan langit dan bumi, Dia menjadikan di setiap tujuh langit tersebut seorang malaikat yang menjaganya, lalu naiklah malaikat Hafazah dengan membawa amalan seorang hamba yang dilakukannya sejak pagi hingga sore hari, amalan tersebut memiliki cahaya seperti cahaya matahari, ketika malaikat tersebut naik dengan membawa amalan tersebut hingga sampai ke langit dunia, ia menganggap bahwa amal tersebut baik dan banyak.
فيقول الملك الموكل بها للحفظة: اضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، أنا صاحب الغيبة، أمرني ربي ألا أدع عمل من اغتاب الناس يجاوزني إلى غيري
Maka malaikat di langit pertama berkata kepada malaikat Hafazah: “Pukulkanlah dengan amalan ini ke muka orang yang mengerjakannya, akulah malaikat penjaga ghibah (menggunjing), Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan orang yang menggunjing dapat melewatiku.”
قال: ثم تأتي الحفظة بعمل صالح من أعمال العبد له نور فتزكيه وتكثره حتى تبلغ به إلى السماء الثانية
Kemudian datanglah malaikat Hafazah dengan membawa amal shaleh seorang hamba, amalan tersebut bercahaya sehingga ia menganggap bahwa amal tersebut baik dan banyak, hingga sampailah ia ke langit yang kedua.
فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، إنه أرا بعمله عرض الدنيا، أنا ملك الفخر، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري، إنه كان يفتخر على الناس في مجالسهم
Maka malaikat di langit kedua berkata kepadanya: “Berhentilah dan pukulkanlah dengan amalan ini ke muka orang yang mengerjakannya karena tujuan dunia, akulah malaikat penjaga fakhr (berbangga diri), Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan orang yang berbangga diri dapat melewatiku, sesungguhnya ia berbangga diri kepada manusia di majelis mereka.”
قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد يبتهج نورا، من صدقة وصلا وصيام، قد أعجب الحفظة فيجاوزون به إلى السماء الثالثة
Malaikat Hafazah naik dengan membawa amal hamba yang bercahaya tersebut berupa sedekah, shalat, dan puasa, malaikat Hafazah merasa takjub dan melewati hingga ke langit ketiga.
فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، أنا ملك الكبر، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري؛ إنه كان يتكبرى على الناس في مجالسهم
Maka malaikat di langit ketiga berkata kepadanya: “Berhentilah dan pukulkanlah dengan amalan ini ke muka orang yang mengerjakannya, akulah malaikat penjaga kibr (kesombongan), Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan orang yang sombong dapat melewatiku, sesungguhnya ia sombong kepada manusia di majelis mereka.”
قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد يزهو كما يزهو الكوكب الدري وله دوي من تسبيح وصلاة وصيام وحج وعمرة، حتى يجاوزا به إلى السماء الرابعة
Malaikat Hafazah naik dengan membawa amal hamba yang berkilau seperti kilaunya bintang-bintang, amalan tersebut memiliki suara dari tasbih, shalat, puasa, haji, dan umrah, hingga mereka lewat hingga sampai ke langit keempat.
فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه وظهره وبطنه، أنا صاحب العجب، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري؛ إنه كان إذا عمل عملا أدخل العجب فيه
Maka malaikat di langit keempat berkata kepadanya: “Berhentilah dan pukulkanlah dengan amalan ini ke muka, punggung, dan perut orang yang mengerjakannya, akulah malaikat penjaga ‘ujub (memuji diri sendiri), Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan orang yang ‘ujub dapat melewatiku, sesungguhnya orang tersebut ketika beramal ia ‘ujub.”
قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد حتى يجاوزا به إلى السماء الخامسة كأنه العروس المزفوفة إلى بعلها
Malaikat Hafazah naik dengan membawa amal hamba tersebut hingga melewati langit kelima seperti pengantin yang dibawa pulang ke rumah suaminya.
فيقول الملك الموكل بها: قفوا واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، ن واحملوه على عاتقه، أنا ملك الحسد، إنه كان يحسد من يتعلم ويعمل بمثل عمله، وكل من كان يأخذ فضلا من العبادة كان يحسدهم، ويقع فيهم، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري
Maka malaikat di langit kelima berkata kepadanya: “Berhentilah dan pukulkanlah dengan amalan ini ke muka orang yang mengerjakannya dan campakkanlah di atas tengkuknya, akulah malaikat penjaga hasad (dengki), sesungguhnya ia hasad kepada orang yang belajar dan beramal seperti amalnya, ia juga hasad kepada orang yang mengambil keutamaan dalam ibadah, bahkan ia mencela mereka. Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan orang yang hasad dapat melewatiku.”
قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد من صوم وصلاة ونفقة وجهاد وورع، له دوي كدوى النحل، وضوء كضوء الشمس، ومعه ثلاثة آلاف ملك، فيجاوزون به إلى السماء السابعة
Malaikat Hafazah naik dengan membawa amal hamba tersebut berupa puasa, shalat, nafkah, jihad, dan wara’, amalan tersebut memiliki suara seperti suara lebah, bersinar seperti matahari, dan 3.000 malaikat bersamanya, lalu mereka lewat hingga sampai ke langit ketujuh.
فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، واضربوا جوارحه واقفلوا به على قلبه، أنا صاحب الذكر، فإني أحجب عن ربي كل عمل لم يرد به وجه ربي؛ إنه إنما أراد بعمله غير الله تعالى، إنه أراد به رفعة عند الفقهاء، وذكرا عند العلماء، وصيتا في المدائن، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري، وكل عمل لم يكن لله تعالى خالصا فهو رياء، ولا يقبل الله عمل المرائي
Maka malaikat di langit ketujuh berkata kepadanya: “Berhentilah dan pukulkanlah dengan amalan ini ke muka orang yang mengerjakannya, dan pukullah anggota badannya dan tutuplah hatinya, akulah malaikat penjaga dzikir (ibadah karena ingin disebut-sebut oleh orang lain), sesungguhnya aku menghalangi semua amalan yang tidak dikerjakan karena-Nya, sesungguhnya ia beramal bukan karena Allah, tetapi karena ingin mendapat tempat yang tinggi di sisi Fuqaha (ulama), karena ingin disebut-sebut oleh ulama, dan dikenal dimana-mana. Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan tersebut dapat melewatiku, setiap amalan yang dilakukan bukan ikhlas karena Allah adalah riya’, dan Allah tidak akan menerima amalan orang yang riya’.”
قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد من صلاة وزكاة وصيام وحج وعمرة وخلق حسن وصمت وذكر الله تعالى، فتشيعه ملائكة السموات السبع حتى يقطعوا به الحجب كلها إلى الله تعالى، فيقفون بين يديه، ويشهدون له بالعمل الصالح المخلص لله تعالى
Malaikat Hafazah naik dengan membawa amal hamba tersebut berupa shalat, zakat, puasa, haji, umrah, akhlak yang baik, diam, dan dzikir kepada Allah. Amalan tersebut dikawal oleh malaikat di tujuh langit maka hilanglah segala penghalang hingga amalan tersebut sampai kepada Allah Ta’ala, maka para malaikat berdiri di hadapan Allah dan bersaksi dengan amalan shalih yang ikhlas karena Allah Ta’ala.
فيقول الله تعالى: أنتم الحفظة على عمل عبدي، وأنا الرقيب على ما في قلبه؛ إنه لم يردني بهذا العمل، وإنما أراد به غيري، فعليه لعنتي، فتقول الملائكة كلها: عليه لعنتك ولعنتنا، فتلعنه السموات السبع ومن فيهن
Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Kalian bertugas menjaga amal hamba-Ku, dan Aku lebih mengetahui apa yang ada di dalam hatinya, sesungguhnya ia tidak menghendaki-Ku dengan amalnya, sesungguhnya ia menghendaki sesuatu selain-Ku, maka laknat-Ku atasnya.” Lalu para malaikat seluruhnya berkata: “Laknat-Mu dan laknat kami atasnya.” Maka ketujuh langit dan seluruh yang ada di dalamnya ikut melaknatnya.

Aldi Fajar
5 months ago
Dalam Miftah al-Ma’iyyah fi Dustur ath-Thariqah an-Naqsyabandiyah :
karya Syaikh Abdul Ghani an-Nabulsi
Hakikat dan Tata Cara Muraqabah menurut Sayyidina Ubaidullah Ahrar
—————————————
وقال حضرة الشيخ الجليل عبيد الله أحرار: ((أن المراقبة من المفاعلة، فلا بد من الفعل من الجانبين.)) فعلى هذا لا بد أن يكون مراقبا لإطلاع الحق على أحواله ويداوم على ذلك، أو يكون مراقبا لإطلاعه على موجده بدون يصور ولا تشتت خاطر
Hadirat Syaikh yang mulia Ubaidullah Ahrar berkata, “Kata murāqabah mengandung arti mufā’alah, sehingga harus ada tindakan dari kedua belah pihak.” Berdasarkan ini salik harus sadar bahwa Al-Haqq selalu mengawasi segala keadaannya dan menjaga terus kesadaran itu dalam hatinya, atau sadar bahwa dia menjadi objek pengawasan bagi penglihatan-Nya atas perwujudannya tanpa membayangkan dan berusaha mendeskripsikan Dzat-Nya.
—————————————
Hadirat Syaikh yang mulia Ubaidullah Ahrar an-Naqsyabandi —semoga Allah menyucikan halnya dan menyinari pusaranya— berkata, kata murāqabah mengikuti bentuk kata mufā’alah, yaitu rāqaba yurāqibu murāqabah, sehingga harus ada tindakan dari kedua pihak, seorang hamba dan Allah Ta’ala. Berdasarkan hal ini hamba harus sadar (murāqib) bahwa Allah Ta’ala mengawasi atas segala keadaannya baik lahir maupun batin. Allah Ta’ala berfirman,
اِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
“Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. al-Fajr (89): 14)
Selain itu dia juga harus menjaga kesadaran itu, baik secara diam-diam maupun terang-terangan tanpa pernah melalaikannya. Kalau pun dia melalaikannya, dia harus langsung mengingatnya kembali.
Atau si hamba sadar bahwa dia adalah objek pengawasan ( murāqab, dengan huruf qaf berharakat fathah ) bagi penglihatan-Nya atas wujudnya semata, walaupun dia tidak sadar bahwa penglihatan-Nya mengawasi segala keadaannya. Hanya saja kesadaran ini harus tanpa membayangkan wujud Allah Ta’ala dan tanpa mendeskripsikan-Nya, karena Allah Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. asy-Syûrâ [42]: 11)
Tidak ada sesuatu apa pun yang bisa menandingi-Nya.
—————————————
والطريق الآخر أن يكون مراقبا لقلبه الصنوبري ولا يترك الخواطر تحل فيه حتى يتيسر له الربط بقلبه الحقيقي من غير ملا حظة معنى المفاعلة
Jalan lainnya adalah seorang hamba menjadi pengawas bagi hati sanubarinya dan tidak membiarkan berbagai sesuatu mengganggunya, sehingga akan mudah baginya untuk mengendalikan hati hakikinya tanpa perhatian pada makna mufā’alah.
—————————————
Jalan lain untuk murāqabah adalah si hamba menjadi pengawas atau menjadi penjaga hati sanubarinya itu, tanpa melalaikan makna-makna yang ada di hati sanubarinya itu. Selain itu dia juga tidak boleh membiarkan berbagai hal mengganggu hatinya, termasuk hal-hal yang hanya terbersit selintas di dalam hatinya. Bahkan setiap kali terbersit sesuatu di hatinya, dia harus langsung mengusirnya.
Alasannya adalah karena hal itu akan membuatnya mudah untuk mengikat dirinya yang masih ragu dengan hati hakikinya yang mengalir bersama nafas dan merupakan bagian dari perintah Allah yang seperti kejapan mata. Ini semua terjadi tanpa perlu baginya untuk merenungkan makna mufā’alah yang menunjukkan terjadinya perbuatan dari kedua belah pihak seperti cara pertama.
Dengan begitu dia pun tidak fokus kepada penglihatan Allah yang mengawasi semua keadaannya, tapi dia sibuk dengan murāqabah terhadap dirinya sendiri dan bukan sibuk dengan murāqabah Allah Ta’ala terhadap dirinya. Cara kedua ini bersumber dari hadits Nabi Saw. mengenai maqam ihsan, “An ta’budallāh ka’annaka tarāh”, atau dengan kata lain memperhatikan Allah dengan cara murāqabah kepada hati yang merupakan gerbang hadirat-Nya.
Kemudian Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Fa in lam takun tarāhu” (Maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya). Maksudnya, ketika engkau seharusnya bisa melihat Dia dan memperhatikan hadirat-Nya, “Sesungguhnya Dia melihatmu”, karena Dia memang selalu mengawasimu. Ini adalah tarekat atau cara pertama yang merupakan cara tertinggi. Karena di dalamnya terjadi perbuatan kedua belah pihak yang tercermin dalam kata “mufā’alah”.
Selain itu, hadits ini mengandung kunci peningkatan seorang hamba, karena pernyataan “Jika engkau tidak melihat-Nya”, yaitu jika engkau mengetahui bahwa ketika engkau berada di maqam pertama, engkau menduga bisa melihat Allah dan ternyata engkau tidak bisa. Saat engkau mengetahuinya, engkau pun naik tingkat dengan kemunculan keagungan-Nya kepadamu sehingga engkau dengan ketidakmampuanmu melihat-Nya itu akan mencapai sesuatu yang lebih baik daripada ketidakmampuan untuk melihat-Nya di maqam pertama.
Pada saat itu seakan-akan engkau melihat-Nya dengan kondisi engkau pada maqam pertama, sementara seiring dengan itu engkau tidak melihat-Nya, sehingga murāqabah terjadi darimu pada-Nya, dan murāqabah juga terjadi dari-Nya padamu dalam sabda Nabi Saw., “sesungguhnya Dia melihat engkau.” Tentu saja, berpadunya dua murāqabah pada diri si hamba dalam penyaksian lebih sempurna daripada satu murāqabah saja, disebabkan ada kemungkinan terjadinya kelalaian seiring dengan itu dari murāqabah Allah padanya. Kondisi pertama yang tidak disertai kelalaian adalah yang lebih sempurna.

Aldi Fajar
5 months ago
Perbedaan antara ridha dan ikhlas terletak pada makna, fokus, dan konteks penggunaannya dalam kerangka ajaran Islam. Berikut penjelasannya:
1. Ridha
Ridha (رِضَى) secara harfiah berarti “kerelaan” atau “kepuasan hati”. Istilah ini memiliki beberapa dimensi dalam penggunaannya:
- Makna Utama: Ridha adalah keadaan hati yang menerima dengan tulus segala ketentuan Allah, baik berupa hal yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Dalam arti lain, ridha adalah sikap penerimaan tanpa keluh kesah terhadap takdir Allah.
- Fokus: Lebih berfokus pada sikap seseorang terhadap apa yang datang dari Allah (qadha dan qadar). Orang yang ridha tidak menyalahkan takdir, bahkan dalam ujian atau cobaan berat sekalipun.
- Konteks: Ridha sering kali muncul setelah seseorang menghadapi sesuatu yang sudah terjadi. Misalnya, setelah kehilangan harta atau orang tercinta, seseorang yang ridha tetap menerima situasi itu dengan lapang dada sebagai bagian dari kehendak Allah.
- Dalil: Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya…”
(QS. Al-Bayyinah: 8) Di sini, ridha juga merupakan sifat Allah terhadap hamba-Nya yang taat.
2. Ikhlas
Ikhlas (إِخْلَاص) secara harfiah berarti “kemurnian” atau “keikhlasan”. Dalam konteks agama, ikhlas merujuk pada tindakan atau niat yang semata-mata dilakukan karena Allah, tanpa mengharapkan pujian, balasan duniawi, atau kepentingan pribadi.
- Makna Utama: Ikhlas adalah membersihkan niat dari segala unsur selain mencari keredhaan Allah. Amal perbuatan seseorang dikatakan ikhlas jika dilakukan hanya untuk Allah, bukan untuk mendapat pengakuan orang lain.
- Fokus: Lebih berfokus pada niat dan motivasi di balik perbuatan seseorang. Ikhlas berkaitan dengan kualitas batin saat melakukan suatu amal atau ibadah.
- Konteks: Ikhlas terjadi sebelum dan selama seseorang melakukan perbuatan. Misalnya, seseorang yang sholat hanya karena Allah, bukan karena ingin dilihat sebagai orang alim.
- Dalil: Allah berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama…”
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Perbedaan Utama
Aspek | Ridha | Ikhlas |
---|---|---|
Definisi | Penerimaan penuh terhadap takdir Allah. | Memurnikan niat hanya untuk Allah. |
Fokus | Sikap hati setelah menerima sesuatu. | Niat dan motivasi dalam perbuatan. |
Konteks Waktu | Biasanya muncul setelah suatu kejadian. | Terjadi sebelum dan selama beramal. |
Objek | Takdir atau ketentuan Allah. | Amal perbuatan atau ibadah. |
Hubungan Ridha dan Ikhlas
Meskipun berbeda, ridha dan ikhlas saling melengkapi. Orang yang ikhlas dalam amalnya akan lebih mudah mencapai ridha terhadap ketentuan Allah. Sebaliknya, orang yang ridha kepada Allah cenderung lebih tulus dan ikhlas dalam menjalankan ibadahnya.
Keduanya adalah sifat mulia yang menjadi tanda kesempurnaan iman seorang Muslim.

Aldi Fajar
5 months ago
Memandang dengan setia, satu sisi yang sama
Pandangan Yang Mulia pernah jatuh di sana
Saat malam engkau bercahaya
Engkau bercahaya dengan-Nya, apa adanya
Lihat, aku tiada pantas berbicara di hadapan-Nya
Walau aku memaksa merangkai kata-kata
Namun tak sempurna, tak jujur dan hina
Tapi engkau hadir menyapa seolah memaksa
Tak kuasa aku jatuhkan pandanganku di tempat yang sama
Wahai engkau yang dimuliakan dengan sebuah permisalan
Penggambaran pandangan para hamba ketika melihat Tuhannya di Sana
Aku pernah melihatmu dan mentari di langit yang sama, bukan rahasia
Maka sampaikanlah salam kepadanya yang pernah membuatmu mendua dan kembali sama
Engkau dijadikan kembali purnama, agar pandanganku dan pandangannya mesra
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا ومَولانا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِي عِلْمِ اللّٰهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ اللّٰهِ

Aldi Fajar
5 months ago
“Engkaulah Sang Habib”
Rahasia Al-Haqq adalah dirimu
Ilmu-Nya adalah Pintu-Nya
Sang Mursyid adalah Kunci-Nya
Al-Qur’an berjalan pada akhirnya
—
Hadits Qudsi:
“Al-insanu sirri wa Ana sirruhu wa sirri sifati wa sifati la ghairihi.”
“Manusia itu rahasia-Ku dan Aku rahasia manusia, dan rahasia itu adalah sifat-Ku, dan sifat-Ku tiada lain adalah Aku.”
—
Syaikh Abu Hasan As-Syadzili (qs) berkata, “Ketika dalam suatu perjalanan aku berkata, “Wahai Tuhanku, kapankah aku bisa menjadi hamba yang banyak bersyukur kepada-Mu?”, kemudian beliau mendengar suara, “Yaitu apabila kamu berpendapat tidak ada orang yang diberi nikmat oleh Allah kecuali hanya dirimu.” Karena belum tahu maksud ungkapan itu aku bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa berpendapat seperti itu, padahal Engkau telah memberikan nikmat-Mu kepada para Nabi, ulama’ dan para penguasa. Suara itu berkata kepadaku, “Andaikata tidak ada para Nabi, maka kamu tidak akan mendapat petunjuk, andaikata tidak ada para ulama’, maka kamu tidak akan menjadi orang yang taat dan andaikata tidak ada para penguasa, maka kamu tidak akan memperoleh keamanan. Ketahuilah, semua itu nikmat yang Aku berikan untukmu”.

Aldi Fajar
6 months ago
Tubuh dibersihkan dengan air, jiwa dibersihkan dengan air mata, akal dibersihkan dengan pengetahuan, dan jiwa dibersihkan dengan cinta.
( Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra .)
: : :
Wahai anak Adam, selama engkau masih berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau, apa pun yang datang darimu, dan Aku tidak peduli.
Wahai anak Adam walaupun dosa-dosamu mencapai batas langit, kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku, Aku akan ampuni engkau dan Aku tidak peduli.
Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan sepenuh bumi dosa, dan engkau tidak menyekutukan-Ku, maka Aku akan menemuimu dengan sepenuh itu pula ampunan.
( HR At-Tirmidzi no. 3540 )
: : :
Lihatlah pada orang-orang yang melampaui batas tersebut. Mereka telah membunuh wali-wali Allah, namun Allah masih menyeru mereka untuk bertaubat.
( Imam Hasan Al-Bashri qs. )

Aldi Fajar
7 months ago
Ringkasan Video tentang Filsuf Islam Abad Pertengahan
Video ini membahas kontribusi signifikan dari filsuf Islam abad pertengahan terhadap filosofi, kedokteran, dan sains, dengan menyoroti tiga tokoh kunci: Al-Farabi, Avicenna (Ibn Sina), dan Al-Ghazali. Masing-masing pemikir memainkan peran penting dalam menghubungkan pemikiran Yunani kuno dengan filosofi Islam dan Kristen abad pertengahan.
1. Al-Farabi: Guru Kedua
– Latar Belakang: Lahir pada tahun 872 M, Al-Farabi dikenal karena pengetahuannya yang luas di berbagai bidang.
– Kontribusi:- Diakui sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles, ia menulis komentar ekstensif tentang karya Aristoteles.
– Mendorong harmoni antara filosofi dan agama, menyatakan bahwa kedua jalur mengarah pada kebenaran yang sama.
– Mengembangkan gagasan “kebenaran ganda,” menyatakan bahwa sesuatu bisa benar dalam filosofi tetapi salah dalam agama, dan sebaliknya.
2. Avicenna (Ibn Sina): Sang Polimatik
– Latar Belakang: Lahir pada tahun 980 M di wilayah Uzbekistan modern, Avicenna adalah seorang pemikir yang produktif dengan pengetahuan yang luas.
– Karya Utama:- Kanon Kedokteran: Buku teks kedokteran komprehensif yang digunakan selama berabad-abad yang menekankan kedokteran eksperimental dan mengakui penyakit psikosomatik.
– Buku Penyembuhan: Ensiklopedia yang mencakup berbagai disiplin, termasuk logika, ilmu alam, dan metafisika.
– Kontribusi Filosofis:- Mengusulkan perbedaan antara esensi dan eksistensi, berargumen bahwa hanya esensi Tuhan yang ada secara inheren.
– Memperkenalkan eksperimen pemikiran “manusia terbang” untuk mengeksplorasi kesadaran diri yang independen dari pengalaman sensorik.
3. Al-Ghazali: Sang Mistikus
– Latar Belakang: Lahir pada tahun 1058 M di Persia, Al-Ghazali mengalami krisis eksistensial besar yang membawanya pada perjalanan spiritual.
– Karya Utama:- Inkoherensi Para Filsuf: Mengkritik filosofi rasionalis pada masanya, dengan fokus pada kausalitas, kekekalan, dan batasan akal manusia.
– Kebangkitan Ilmu Agama: Karya komprehensif yang menekankan keseimbangan antara praktik agama eksternal dan pengembangan spiritual internal.
– Ide Filosofis:- Berargumen tentang perlunya iman bersamaan dengan akal, mempromosikan gagasan bahwa pengetahuan sejati berasal dari kombinasi keduanya.
Warisan dan Pengaruh
– Ide-ide yang diajukan oleh para filsuf ini memiliki dampak mendalam pada pemikiran Islam dan Kristen selama periode abad pertengahan dan seterusnya. Karya-karya mereka memicu kebangkitan filsafat Yunani kuno di Eropa, mempengaruhi pemikir seperti Thomas Aquinas dan membentuk filosofi Barat.
– Video ini menekankan kontribusi mereka terhadap pengamatan empiris dan penalaran logis, yang meletakkan dasar bagi Revolusi Ilmiah.
Kesimpulan
Warisan intelektual Al-Farabi, Avicenna, dan Al-Ghazali terus bergema hingga hari ini, menunjukkan relevansi abadi dari pertanyaan filosofis mereka. Kemampuan mereka untuk mendamaikan iman dengan akal menawarkan wawasan berharga untuk diskusi kontemporer tentang hubungan antara sains dan spiritualitas.

Aldi Fajar
7 months ago
Sepulang dari peristiwa Shiffin, Ali bin Abi Thalib ra bersama seluruh pasukannya kembali ke Kufah. Beberapa mil sebelum sampai Kufah, ada sekitar 14 ribu orang (menurut riwayat Abdurrazaq dalam “Mushannaf”) yang memisahkan diri dari jamaah dan mencari jalur yang berbeda. Mereka tidak terima dengan genjatan senjata antara Ali dengan Mu‘awiyah.
Peristiwa tahkim atau kesepakatan damai antara Ali dengan Mu‘awiyah, yang diwakilkan kepada dua sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy‘ari dan Amr bin Ash, menjadi pemicu sebagian masyarakat yang merasa benar untuk mengkafirkan Ali bin Abi Thalib ra. Karena peristiwa ini, pada saat Ali bin Abi Thalib ra berkhutbah, banyak orang meneriakkan:
“Tidak ada hukum kecuali hanya milik Allah.”
Mereka beranggapan Ali bin Abi Thalib ra telah menyerahkan hukum kepada manusia (Abu Musa Al-Asy‘ari)
Ali bin Abi Abi Thalib ra tetap melanjutkan perjalanan hingga sampai di Kufah. Ali bin Abi Thalib ra sangat berharap mereka mau kembali bergabung bersamanya. Untuk tujuan itu, beliau mengutus Ibn Abbas agar berdialog dengan mereka.
Ibn Abbas menceritakan, “Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”
Ibn Abbas berkata, “Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bagaikan lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”
“Selamat datang wahai Ibn Abbas, misi apa yang Anda bawa?”
“Aku datang dari sisi seorang sahabat Nabi saw, menantu beliau saw. Al-Quran turun kepada para sahabat, dan mereka lebih paham tentang tafsir Al-Quran daripada kalian. Sementara tidak ada satu pun sahabat di tengah kalian. Sampaikan kepadaku, apa yang menyebabkan kalian membenci para sahabat Rasulullah saw dan putra paman beliau saw (yaitu Ali bin Abi Thalib ra)?”
“Ada tiga hal,” jawab orang Khawarij tegas.
“Apa saja itu?” tanya Ibn Abbas.
“Pertama, dia menyerahkan urusan Allah kepada manusia, sehingga dia menjadi kafir. Karena Allah berfirman, ‘Tidak ada hukum kecuali hanya milik Allah.’ Apa urusan orang ini dengan hukum Allah?”
“Ini satu,” tukas Ibn Abbas
“Kedua, Ali memerangi Mu‘awiyah, namun tidak tuntas, tidak memperbudak mereka dan merampas harta mereka. Jika yang diperangi itu kafir, seharusnya dituntaskan dan diperbudak. Jika mereka mu‘min, tidak halal memerangi mereka.”
“Sudah dua. Lalu apa yang ketiga?” kata Ibn Abbas.
“Dia tidak mau disebut Amirul Mu‘minin, berarti dia Amirul Kafirin.”
“Ada lagi alasan kalian mengkafirkan Ali selain 3 hal ini?” tanya Ibn Abbas.
“Cukup 3 ini,” jawab mereka.
Mulailah Ibn Abbas menjelaskan salah paham mereka,
“Apa pendapat kalian, jika aku sampaikan kepada kalian firman Allah dan sunnah Nabi-Nya, yang membantah pendapat kalian. Apakah kalian bersedia menerimanya?”
“Ya, kami menerima,” jawab mereka.
“Alasan kalian bahwa Ali telah menunjuk seseorang untuk memutuskan hukum, akan kubacakan ayat dalam firman Allah, bahwa Allah menyerahkan hukum-Nya kepada manusia untuk menentukan harga ¼ dirham. Allah perintahkan agar seseorang memutuskan hal ini. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai sembelihan yang dibawa ke Ka‘bah. (QS Al-Maidah [5]: 95)
Aku sumpah kalian di hadapan Allah, apakah putusan seseorang dalam masalah kelinci atau hewan buruan lainnya, itu lebih mendesak dibandingkan keputusan seseorang untuk mendamaikan di antara mereka. Sementara kalian tahu, jika Allah berkehendak, tentu Dia yang memutuskan, dan tidak menyerahkannya kepada manusia?” jelas Ibn Abbas.
“Keputusan perdamaian lebih mendesak,” jawab mereka.
“Allah juga berfirman tentang seorang suami dengan istrinya: Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. (QS An-Nisa [4]: 35)
Aku sumpah kalian di hadapan Allah, bukankah keputusan seseorang untuk mendamaikan sengketa dan menghindari pertumpahan darah, lebih mendesak dibandingkan keputusan mereka terkait masalah keluarga?”
“Ya, itu lebih mendesak,” jawab Khawarij.
“Alasan kalian yang kedua bahwa Ali berperang namun tidak tuntas, tidak menjadikan lawan sebagai tawanan, dan tidak merampas harta mereka.
Apakah kalian akan menjadikan ibunda kalian sebagai budak, yaitu Ibunda Aisyah ra, kemudian kalian menganggap halal memperlakukannya sebagai budak, sebagaimana budak pada umumnya, padahal dia ibunda kalian? Jika kalian menjawab, ‘Kami menganggap halal memperlakukannya sebagai budak, sebagaimana lainnya.’ berarti dengan jawaban ini kalian telah kafir. Dan jika kalian mengatakan, ‘Dia bukan ibunda kami’ kalian juga kafir karena Allah telah menegaskan: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu‘min dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. (QS Al-Ahzab [33]: 6)
Dengan demikian berarti kalian berada di antara dua kesesatan.
Apakah kalian telah selesai dari masalah ini?” tanya Ibn Abbas
“Ya,” jawab mereka.
“Alasan kalian yang ketiga, Ali menghapus gelar Amirul Mu‘minin darinya. Aku akan sampaikan kepada kalian kisah dari orang yang kalian ridhai (yaitu Rasulullah Muhammad saw) dan aku kira kalian telah mendengarnya. Bahwa pada saat Hudaibiyah, beliau saw mengadakan perjanjian damai dengan orang musyrikin. Nabi saw memerintahkan kepada Ali, ‘Tulis: ini yang diputuskan oleh Muhammad Rasulullah (utusan Allah).’
Maka orang-orang musyrik mengatakan, ‘Tidak bisa. Demi Allah, kami tidak mengakui bahwa engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau Rasul Allah, kami akan mentaatimu. Tulis saja, ‘Muhammad bin Abdullah.’
‘Hapuslah wahai Ali, hapus tulisan ‘Utusan Allah.’ Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku utusan-Mu. Hapus wahai Ali, dan tulislah: ‘Ini perjanjian damai yang diputuskan Muhammad bin Abdullah,’ perintah Nabi saw kepada Ali.
Demi Allah, Rasulullah saw lebih baik daripada Ali. Namun beliau saw telah menghapus dari dirinya gelar rasul Allah. Dengan beliau saw menghapus hal itu, tidaklah menyebabkan beliau gugur menjadi seorang nabi. Apakah kalian telah selesai dari masalah yang ini?” jelas Ibnu Abbas
“Ya,” jawab Khawarij.
Sejak peristiwa ini, ada sekitar 2000 orang Khawarij yang bertaubat dan kembali bersama Ali bin Abi Thalib ra. Sisanya diperangi oleh Ali bin Abi Thalib ra bersama para sahabat Muhajirin dan Anshar.
(Diambil dari “Khashais Ali bin Abi Thalib”, An-Nasa‘i, hlm. 20.)

Aldi Fajar
7 months ago
“Memberi di saat sedang berada dalam kelapangan adalah kewajiban. Memberi di saat sedang berada dalam kesempitan adalah kebaktian (al-birr).”
— Z A J T
: : : : : : : : :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu al-birr (kebaktian), akan tetapi sesungguhnya al-birr itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan apa yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
( QS Al-Baqarah [2]: 177 )
: : :
Menjelang penaklukan Mekkah, Rasulullah saw mengimbau para sahabat untuk menyumbangkan hartanya. Seorang sahabat Rasul yang paling miskin memasuki masjid, tempat dikumpulkannya sumbangan. Dia berjingkat, saking enggan kehadirannya ketahuan orang lain, dan datang ke masjid di saat semua orang tengah beristirahat. Tangannya menggenggam satu bungkusan berisi tiga buah kurma.
Seorang munafik memergokinya. Dia melecehkan si miskin, “Bisa apa Nabi dan kaum muslimin dengan tiga butir kurma itu, hei Fulan?”
Si miskin malu dan segera meninggalkan masjid setelah meletakkan kurma di tengah tumpukan sumbangan harta kaum muslimin.
Di tengah malam, Rasulullah saw memasuki masjid. Para sahabat mengikuti beliau saw yang kemudian berkata, “Baru saja Jibril datang menyampaikan kabar gembira. Salah seorang dari kalian telah Allah terima shadaqahnya. Sebaiknya dia tidak malu karena cercaan seorang munafik. Mana si Fulan? Dialah yang shadaqahnya Allah terima.”
Sahabat menjemput si Fulan ke rumahnya. Dia datang tersedu dengan mengayunkan kakinya menuju masjid. Dia juga bingung, gerangan apa yang membuat tiga butir kurma shadaqahnya mendapat berkah dari Allah Ta‘ala.
Berkata Rasulullah saw, “Engkau hidup dalam kemiskinan. Yang kau punya di rumah hanyalah tiga butir kurma, itu pun engkau relakan untuk saudaramu. Allah menerima shadaqahmu. Engkau berikan hal terbaik yang kau punya. Allah bukakan pintu surga bagimu.”
Si miskin itu pun menangis tersedu-sedu.[]

Aldi Fajar
7 months ago
Bersumber dari sahabat Abu Hurairah ia berkata bahwa Nabi saw pernah bersabda: “Pada hari kiamat kelak, Allah, mengatakan: ‘Wahai anak Adam, Aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku’. Hamba bertanya: ‘Bagaimana aku harus menjengukMu, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?’. Allah menjawab: ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Seandainya kamu menjenguknya pasti kamu temui Aku di sisinya.’
“Allah bertanya lagi: ‘Hai anak Adam, Aku lapar, tetapi kamu tidak beri Aku makan’. Hamba menjawab: ‘Wahai Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu makan, padahal Engkau adalah Tuhan alam semesta?’. Dia mengatakan: ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan minta makan kepadamu, tetapi kamu tidak berikan dia makan? Seandainya kamu beri makan si Fulan, niscaya kamu dapati Aku berada di sisinya’.
“Allah bertanya lagi: ‘Hai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tapi kamu tidak beri Aku minum’. Hamba menjawab: ‘Bagaimana aku memberi-Mu minum, sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?’ Allah mengatakan: ‘Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu tapi kamu tidak memberinya minum. Seandainya kamu memberinya minum, niscaya kamu akan mendapati dan menemui Aku di sisinya’”. (Hadits Qudsi, Sahih Muslim).

Aldi Fajar
7 months ago
“Wahdat al-wujud” merupakan salah satu istilah terkenal dalam dunia tashawwuf yang dinisbatkan kepada Ibn ‘Arabi, kendatipun istilah tersebut tidak kita temukan dalam karya-karyanya.
Meskipun demikian, istilah “wahdat al-wujud” seringkali bisa cukup dekat menggambarkan pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh Ibn ‘Arabi –– dan kita bisa saja berasumsi bahwa ia mendukung wahdat al-wujud dalam pengertian literal tersebut –– namun, pilihan istilah tersebut, menurut William C. Chittick, tidak begitu didasarkan pada isi yang terkandung di dalam tulisan-tulisannya, melainkan lebih kepada perhatian (concern) para pengikutnya dan arah perkembangan pemikiran setelahnya.
“Wahdat al-wujud” tidak bisa diklaim sebagai deskripsi memadai tentang ontologi Ibn ‘Arabi, sebab di samping Kesatuan Wujud, kebanyakragaman realitas (ahadiyat al-katsrah) juga ditekankan oleh Ibn ‘Arabi dengan kegigihan yang sama. Ibn ‘Arabi seringkali merujuk wujud dalam kepenuhannya sebagai Yang Satu/Yang Banyak (al-wahid al-katsir).
Sumber: https://www.facebook.com/share/p/kEKW4mbE7ASRXaEo/

Aldi Fajar
7 months ago
Diriwayatkan oleh Sayyidina Abu Hurairah (ra), dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ؛ لَيُوْشِكُنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيْكُمْ ابنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً، فَيَكْسُرُ الصَّلِيْبَ، وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيْرَ، وَيَضَعُ الْحَرْبَ، وَيُفِيْضُ الْمَالَ حَتَّى لاَ يَقْبَلُهُ أَحَدٌ، حَتَّى تَكُوْنَ السَّجْدَةُ الْوَاحِدَةُ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا.
‘Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh telah dekat turunnya putera Maryam di tengah-tengah kalian sebagai hakim yang adil, dia akan mematahkan salib, membunuh babi, menghentikan peperangan, dan melimpahkan harta, sehingga tidak seorang pun menerimanya, hingga satu kali sujud lebih baik daripada dunia dan seisinya.’”
Kemudian Sayyidina Abu Hurairah (ra) berkata, “Dan bacalah jika kalian menghendaki:
وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ
‘Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti ‘Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.’ (An-Nisaa/4: 159)”
[Shahih Bukhari dan Shahih Muslim]

Aldi Fajar
7 months ago
Ada seseorang yang datang menemui Syekh dan berkata, “Wahai Syekhku, aku mencintaimu, aku sudah bersamamu selama 27 tahun. Aku selalu melayanimu, aku membersihkan apa saja, aku seorang alim dalam Syariah, tafsir, hadits, dan al-Qur’an suci. Selama 27 tahun ini aku tidak pernah mengatakan, ‘tidak’ kepadamu, tetapi engkau tidak memberikan amanahku.”
“Kau tidak membukakannya untukku, tetapi aku lihat yang lain, mereka tidak punya banyak ilmu dan mereka tidak tahu apa-apa, tetapi engkau tuangkan ke dalam hati mereka, engkau bukakan bagi mereka. Ada apa denganku, mengapa engkau tidak memberikannya kepadaku?”
Beliau berkata, “Kau menginginkannya? Baiklah! Sekarang kau pergi ke pasar, ambil keranjang, isi dengan kacang walnut. Kau duduk di pintu masuk masjid dan kepada setiap orang yang datang katakan, ‘Silakan ambil sebutir walnut dan pukul aku sekali atau 2 walnut untuk 2 kali pukul.’ Ini adalah pekerjaanmu dan sampai keranjang itu habis, baru kembali kepadaku.”
Orang itu menatap pada Syekh dan berkata, “Kau berbicara kepadaku seperti ini? Aku adalah seorang alim, dan kau memerintahkan aku untuk melakukan hal itu? Beliau mengatakan, “Ya, itulah yang menghambatmu untuk mencapai amanahmu: ujub dan takaburmu.” Jadi sekarang bila kita mempunyai sifat ujub dan takabur, tentu saja tidak ada pembukaan.
Itulah sebabnya Awliyaullah tersembunyi sekarang. Mereka tidak memberikan ilmu dan asrar ini karena tidak ada orang yang cocok untuk itu. Tidak ada orang yang siap untuk menerima permata itu. Ketika kalian mampu membawa permata itu, mereka tidak akan menahannya untuk kalian, mereka tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Mereka menyimpannya di tempat yang aman bagi kalian untuk diambil pada Hari Perhitungan jika kalian tidak bisa mengambilnya di dunia. Sudah pasti amanah kalian akan diberikan pada Hari Perhitungan.
— Mawlana Shaykh Hisham Kabbani

Aldi Fajar
7 months ago
“Dan sesungguhnya Dialah Tuhan, sang pemilik bintang Syi’ra.”
QS. An-Najm 53:49
Bintang Syi’ra, yang dikenal dengan nama Sirius, adalah satu-satunya bintang yang disebut dengan namanya dalam Al-Quran pada Surah An-Najm (Bintang).
Sirius, yang merupakan bagian dari rasi Canis Major, adalah bintang paling terang di langit malam dan salah satu tetangga paling dekat Matahari.

Sirius yang terlihat dari Bumi merupakan sistem dua bintang yang saling mengorbit satu sama lain dengan masa rotasi setara 50 tahun di Bumi.
Sirius adalah bintang yang muncul dalam semua peradaban kuno, dari Mesir, Yunani, Persia, hingga Cina.
Jarak Sirius dari Bumi diperkirakan sejauh 8,61 tahun cahaya, atau 861 centi tahun cahaya, angka yang sama dengan jumlah huruf di antara kata “najm” (bintang) dan kata “ardh” (Bumi) dalam Surah An-Najm.
Rasio radius Sirius A dibandingkan Matahari diketahui sebesar 1,711. Angka ini serupa dengan rasio nomor Surah As-Syams (Matahari) (91) dengan Surah An-Najm (53).

Aldi Fajar
7 months ago
“Ridha ialah hati seseorang memperhatikan (merasa tenang) dengan apa pun yang telah diputuskan Allah terhadap dirinya karena sesungguhnya Allah telah menetapkan sesuatu yang paling utama bagi hamba-Nya”
— Sayyidi Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari qs.
: : : : : : : : :
“Dan tiap-tiap manusia itu, telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya, dan Kami keluarkan baginya di hari Kiamat satu kitab yang dijumpainya dengan terbuka. Bacalah kitabmu: cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS Al-Isra’ [17]: 13-14)
: : : : : : : : :
Sungguh pengetahuan tentang sekat-sekat takdir yang membatasi kehidupan kita masing-masing adalah sesuatu yang sangat besar, dan untuk memahaminya diperlukan banyak bekal pengetahuan serta kebijaksanaan.
Kita terlahir ke muka bumi ini dengan tidak diberikan pilihan: mau dilahirkan dari orang tua seperti apa, keluarga yang bagaimana, bentuk fisik yang mana, dan lain sebagainya. Sama halnya sebagaimana seseorang tidak dapat menegosiasikan berapa lama dia akan hidup.
Kesadaran akan garis-garis kehidupan yang telah ditorehkan di Lauh Mahfuz — yang sekuat apa pun keinginan manusia, tetap tidak akan mampu mengubahnya — itulah yang membuat manusia menjadi lebih bisa berkompromi dengan kehidupan alih-alih memaksakan kehendaknya sendiri sampai babak belur.
Banyak ketetapan hidup yang memang sudah Allah gariskan, dan tidak bisa diubah. Akan tetapi ada wilayah yang sepenuhnya menjadi “free will”, atau kehendak bebas manusia, yaitu hatinya sendiri.
Itulah semesta luas yang tak terbatas. Adalah hati yang bisa liar ke mana-mana. Bisa naik ke surga yang paling tinggi atau terjun bebas ke neraka yang paling bawah. Inilah pilihan yang di dalam dinyatakan Al-Quran sebagai, “Datanglah kepada-Ku dalam keadaan suka cita atau terpaksa.”
Kesukacitaan dan keterpaksaan itu letaknya di dalam hati. Kitalah yang menentukan apakah semesta hati kita mau tunduk dan berserah diri dengan keadaan yang ada, ataukah menjalaninya dengan berkeluh kesah, ngedumel, ngomel-ngomel, dan mengumbar amarah.
Ibaratnya setiap manusia itu telah diberikan buku mewarnai masing-masing, namun dengan desain dan pola yang berbeda-beda. Gambarnya sudah tersedia, tak bisa diubah, dan tugas kita hanya mewarnai dengan sebaik mungkin. Ada yang berusaha mengubah gambar yang ada, ada yang iri dengan gambar milik orang lain, ada yang mewarnai dengan serampangan, dan yang terbaik, tentu saja, yang mewarnai dengan sapuan warna serapih dan sebaik mungkin sehingga menyenangkan hati Yang Memberikan buku.
Suatu saat nanti, masing-masing kita akan menerima buku kehidupannya sendiri. Warna-warni hati yang kita torehkan saat ini akan dilihat hasilnya di suatu masa yang akan datang nanti. Semoga kita nanti mendapati buku kita dalam keadaan yang indah. Amin Ya Rabb Al-Alamin.
( Z A J T )

Aldi Fajar
7 months ago
Asy-Syaikh al-Akbar Maulānā ‘Ubaidillāh, yang terkenal dengan sebutan Khwaja Ahrār, berkata, “Sesungguhnya kebersamaan dengan orang-orang yang benar yang diperintahkan dalam firman Allah Ta’ālā tersebut terbagi dua. Pertama, kebersamaan dalam bentuk rupa, yakni dengan cara duduk bersama mereka hingga sifat-sifat mereka tercetak dalam dirinya. Kedua, kebersamaan maknawi.” Kemudian Beliau menafsir kebersamaan maknawi ini sebagai rabīthah.
: : : : : : : : :
Dalam Tanwirul Qulub :
Karya Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi qs.
Umumnya hamba tidak bisa mencapai maqam agung ini dengan dirinya sendiri. Ia memerlukan seorang pembimbing yang sempurna yang telah sampai pada maqam musyāhadah dan telah menyandang hakikat sifat-sifat dzātiyah. Oleh karena itu seorang murid harus mencari bantuan dari spirit Gurunya yang sempurna dan telah fanā’ di dalam Allah Ta’ālā. Selain itu, dia juga harus banyak menjaga (mengingat) rupa Gurunya. Selain karena alasan etika, hal itu juga dimaksudkan agar dia tetap bisa mendapat pancaran dari Gurunya saat Sang Guru tidak ada di hadapannya. Kehadiran kesadaran dan cahaya akan sempurna baginya dengan menjaga bayangan Syaikh dalam imajinasinya sambil menghadap ke hati sanubari hingga sampai pada keghaiban dan fanā’ dari diri. Fanā’ di dalam Syaikh merupakan pendahuluan fanā’ di dalam Allah Ta’ālā, karena hati menjadi tempat segala rahasia, maka melalui pewarisan dari Guru ke Guru inilah mereka sampai ke Rasulullah Saw. Inilah yang mereka sebut dengan rabīthah al-mursyid.
Pada prinsipnya, perhatian murid terhadap Syaikh Mursyid bukan karena pribadi Sang Mursyid semata, bukan pula untuk mencari sesuatu darinya secara otonom, melainkan karena anugerah Allah Ta’ālā yang mengalir pada dirinya. Itupun harus disertai keyakinan bahwa yang berbuat dan yang memberi efek pada hakikatnya adalah Allah Ta’ālā. Seperti si fakir yang berdiri di depan pintu orang kaya dan meminta sesuatu darinya. Dia meyakini bahwa yang memberi dan yang berderma adalah Allah Ta’ālā. Dialah yang pada genggaman tangan-Nya gudang-gudang langit dan bumi, tidak ada pelaku selain Dia. Murid berdiam di pintu Syaikh karena tahu bahwa Sang Syaikh adalah salah satu pintu nikmat Allah Ta’ālā. Allah berwenang untuk memberinya melalui dia.
Kenyataan tersebut merupakan hal yang tak terbayangkan penyangkalannya, kecuali di benak mereka yang telah ditetapkan Allah Ta’ālā menjadi orang-orang yang merugi. Mereka itulah orang-orang yang amal-amalnya sangat rugi, orang-orang yang tersesat dalam kehidupan dunia. Mereka menduga bahwa amal mereka itu baik. Padahal amal-amal mereka terhapus di dunia dan akhirat. Dan mereka sama sekali tidak memiliki penolong. Kalaulah dia orang yang percaya kepada para wali, sungguh para wali telah menjelaskan kebaikan dan manfaat besar rabithah al-mursyid. Mereka bersepakat dan mengatakan bahwa rabīthah al-mursyid memiliki pengaruh yang lebih dahsyat dari dzikir dalam pencapaian jadzbah ilāhiyah (tarikan ilahiah) dan pendakian sālik di tangga-tangga kesempurnaan.
Dari sejumlah pemuka Tharīqah Naqsyabandiyah ada yang hanya memberlakukan rabīthah al-mursyid bagi murid dalam sulūk dan taslīk. Ada pula yang memantapkannya sebagai keharusan bagi setiap murid, dengan alasan firman Allah Ta’ālā,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah [9]: 119)
Asy-Syaikh al-Akbar Maulānā ‘Ubaidillāh, yang terkenal dengan sebutan Khwaja Ahrār, berkata, “Sesungguhnya kebersamaan dengan orang-orang yang benar yang diperintahkan dalam firman Allah Ta’ālā tersebut terbagi dua. Pertama, kebersamaan dalam bentuk rupa, yakni dengan cara duduk bersama mereka hingga sifat-sifat mereka tercetak dalam dirinya. Kedua, kebersamaan maknawi.” Kemudian Beliau menafsir kebersamaan maknawi ini sebagai rabīthah.

Aldi Fajar
7 months ago
Seorang hamba yang dirahmati oleh Allah maka ke dalam qalb-nya akan dipancarkan cahaya kuasa-Nya, sehingga dia bisa menampilkan segala yang ada di dalam qalb tersebut.
Sesungguhnya, dunia yang dihadapi seseorang itu tiada lain merupakan gambaran dari kondisi hatinya sendiri.
Di tingkat fenomena, proyeksi dari hati itu bisa berupa kesialan, musibah, atau kemudahan dan kebahagiaan. Akan tetapi manusia biasanya cenderung menunjuk orang atau melemparkan kesalahan kepada sesuatu di luar dirinya, alih-alih berintrospeksi ke dalam diri.
Padahal fenomena yang tampak di sekitar kita itu bagaikan layar tiga dimensi dari hati kita masing-masing, dan itulah warna kehidupan yang menimpa setiap manusia.
Jadi, jika kita murung, maka jangan salahkan Allah. Seharusnya kitalah yang berusaha memahami ihwal “hidup ini sebenarnya apa?”
Bukan masalah benar atau salahnya, tapi hendaklah kita belajar memahami mekanisme hidup manusia.
Setiap warna kehidupan yang terpancar tentu akan dibaca secara subjektif oleh setiap individu. Adapun Allah Ta’ala, semenjak dari awal sampai hari akhir nanti, hanya memancarkan cahaya kasih-Nya yang selalu sama.
Jadi, daripada menunjuk-nunjuk hidung orang lain, mencari kambing hitam serta menyimpan amarah atau benci kepada seseorang, lebih baik energi yang ada itu dipakai untuk membaca kondisi hati kita sendiri per saat ini.
Itu akan lebih meringankan hati.
( Z A J T )
: : : : : : : : :
Datang, datanglah.
Tak akan kau temukan satu pun sahabat seperti-Ku.
Di mana lagi, di seluruh semesta, ada kekasih yang seperti Aku.
Datang, datanglah.
Jangan habiskan umurmu hilir mudik ke sana kemari.
— Mawlana Jalaluddin Rumi (qs)
Links
Tentang
Aldi Fajar Budiman Putra: Desainer komunikasi visual berpengalaman dengan lebih dari 15 tahun di bidangnya, mengkhususkan diri dalam pengembangan situs web dan aplikasi. Menawarkan layanan desain situs web freelance untuk meningkatkan kehadiran online Anda.
Pilih paket →