
Aldi Fajar
7 days ago
Dalam Kitab Bidayatul Hidayah :
Karya Syaikh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali qs.
حديث جامع في معاصي القلب
101. Hadits yang Menghimpun tentang Maksiat Batin
والأخبار في الحسد والكبر والرياء والعجب كثيرة، ويكفيك فيها حديث واحد جامع
Hadits tentang hasad, sombong, riya’, dan ‘ujub banyak sekali, cukuplah bagimu sebuah hadits yang menghimpun semuanya.
فقد روى ابن المبارك بإسناده عن رجل أنه قال لمعاذ: يا معاذ حدثني حديثا سمعنه من رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: (فبكى معاذ حتى ظننت أنه لا يسكت، ثم سكت، ثم قال: واشوقاه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وإلى لقائه
Abdullah bin al-Mubarak telah meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari seseorang (Khalid bin Ma’dan) bahwasanya dia berkata kepada Mu’adz: “Wahai Mu’adz, ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah Saw.”, ia berkata lagi: “Mu’adz menangis hingga aku mengira ia tidak akan berhenti menangis, kemudian akhirnya Mu’adz berhenti menangis.” Kemudian Mu’adz berkata: “Sungguh aku merindukan Rasulullah Saw., dan aku ingin berjumpa dengannya.”
ثم قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لي: (يا معاذ، إني محدثك بحديث إن أنت حظفته نفعك عندالله، وإن ضيعته ولم تحفظه انقطعت حجتك عند الله تعالى يوم القيامة
Kemudian Mu’adz berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda kepadaku: “Wahai Mu’adz, sesungguhnya aku akan menceritakan kepadamu sebuah hadits apabila engkau dapat memeliharanya, ia akan memberikan manfaat kepadamu di sisi Allah, apabila engkau menyia-nyiakan dan tidak memeliharanya, maka terputuslah hujjahmu di hadapan Allah Ta’ala di hari kiamat,
يا معاذ إن الله تبارك وتعالى خلق سبعة أملاك قبل أن يخلق السموات والأرض، فجعل لكل سماء من السبع ملكا بوابا عليها، فتصعد الحفظة بعمل العبد من حين يصبح إلى حين يمسي، له نور كنور الشمس، حتى إذا صعدت به إلى السماء الدنيا زكته وكثرته
Wahai Mu’adz, sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan tujuh malaikat sebelum menciptakan langit dan bumi, Dia menjadikan di setiap tujuh langit tersebut seorang malaikat yang menjaganya, lalu naiklah malaikat Hafazah dengan membawa amalan seorang hamba yang dilakukannya sejak pagi hingga sore hari, amalan tersebut memiliki cahaya seperti cahaya matahari, ketika malaikat tersebut naik dengan membawa amalan tersebut hingga sampai ke langit dunia, ia menganggap bahwa amal tersebut baik dan banyak.
فيقول الملك الموكل بها للحفظة: اضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، أنا صاحب الغيبة، أمرني ربي ألا أدع عمل من اغتاب الناس يجاوزني إلى غيري
Maka malaikat di langit pertama berkata kepada malaikat Hafazah: “Pukulkanlah dengan amalan ini ke muka orang yang mengerjakannya, akulah malaikat penjaga ghibah (menggunjing), Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan orang yang menggunjing dapat melewatiku.”
قال: ثم تأتي الحفظة بعمل صالح من أعمال العبد له نور فتزكيه وتكثره حتى تبلغ به إلى السماء الثانية
Kemudian datanglah malaikat Hafazah dengan membawa amal shaleh seorang hamba, amalan tersebut bercahaya sehingga ia menganggap bahwa amal tersebut baik dan banyak, hingga sampailah ia ke langit yang kedua.
فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، إنه أرا بعمله عرض الدنيا، أنا ملك الفخر، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري، إنه كان يفتخر على الناس في مجالسهم
Maka malaikat di langit kedua berkata kepadanya: “Berhentilah dan pukulkanlah dengan amalan ini ke muka orang yang mengerjakannya karena tujuan dunia, akulah malaikat penjaga fakhr (berbangga diri), Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan orang yang berbangga diri dapat melewatiku, sesungguhnya ia berbangga diri kepada manusia di majelis mereka.”
قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد يبتهج نورا، من صدقة وصلا وصيام، قد أعجب الحفظة فيجاوزون به إلى السماء الثالثة
Malaikat Hafazah naik dengan membawa amal hamba yang bercahaya tersebut berupa sedekah, shalat, dan puasa, malaikat Hafazah merasa takjub dan melewati hingga ke langit ketiga.
فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، أنا ملك الكبر، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري؛ إنه كان يتكبرى على الناس في مجالسهم
Maka malaikat di langit ketiga berkata kepadanya: “Berhentilah dan pukulkanlah dengan amalan ini ke muka orang yang mengerjakannya, akulah malaikat penjaga kibr (kesombongan), Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan orang yang sombong dapat melewatiku, sesungguhnya ia sombong kepada manusia di majelis mereka.”
قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد يزهو كما يزهو الكوكب الدري وله دوي من تسبيح وصلاة وصيام وحج وعمرة، حتى يجاوزا به إلى السماء الرابعة
Malaikat Hafazah naik dengan membawa amal hamba yang berkilau seperti kilaunya bintang-bintang, amalan tersebut memiliki suara dari tasbih, shalat, puasa, haji, dan umrah, hingga mereka lewat hingga sampai ke langit keempat.
فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه وظهره وبطنه، أنا صاحب العجب، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري؛ إنه كان إذا عمل عملا أدخل العجب فيه
Maka malaikat di langit keempat berkata kepadanya: “Berhentilah dan pukulkanlah dengan amalan ini ke muka, punggung, dan perut orang yang mengerjakannya, akulah malaikat penjaga ‘ujub (memuji diri sendiri), Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan orang yang ‘ujub dapat melewatiku, sesungguhnya orang tersebut ketika beramal ia ‘ujub.”
قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد حتى يجاوزا به إلى السماء الخامسة كأنه العروس المزفوفة إلى بعلها
Malaikat Hafazah naik dengan membawa amal hamba tersebut hingga melewati langit kelima seperti pengantin yang dibawa pulang ke rumah suaminya.
فيقول الملك الموكل بها: قفوا واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، ن واحملوه على عاتقه، أنا ملك الحسد، إنه كان يحسد من يتعلم ويعمل بمثل عمله، وكل من كان يأخذ فضلا من العبادة كان يحسدهم، ويقع فيهم، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري
Maka malaikat di langit kelima berkata kepadanya: “Berhentilah dan pukulkanlah dengan amalan ini ke muka orang yang mengerjakannya dan campakkanlah di atas tengkuknya, akulah malaikat penjaga hasad (dengki), sesungguhnya ia hasad kepada orang yang belajar dan beramal seperti amalnya, ia juga hasad kepada orang yang mengambil keutamaan dalam ibadah, bahkan ia mencela mereka. Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan orang yang hasad dapat melewatiku.”
قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد من صوم وصلاة ونفقة وجهاد وورع، له دوي كدوى النحل، وضوء كضوء الشمس، ومعه ثلاثة آلاف ملك، فيجاوزون به إلى السماء السابعة
Malaikat Hafazah naik dengan membawa amal hamba tersebut berupa puasa, shalat, nafkah, jihad, dan wara’, amalan tersebut memiliki suara seperti suara lebah, bersinar seperti matahari, dan 3.000 malaikat bersamanya, lalu mereka lewat hingga sampai ke langit ketujuh.
فيقول لهم الملك الموكل بها: قفوا، واضربوا بهذا العمل وجه صاحبه، واضربوا جوارحه واقفلوا به على قلبه، أنا صاحب الذكر، فإني أحجب عن ربي كل عمل لم يرد به وجه ربي؛ إنه إنما أراد بعمله غير الله تعالى، إنه أراد به رفعة عند الفقهاء، وذكرا عند العلماء، وصيتا في المدائن، أمرني ربي ألا أدع عمله يجاوزني إلى غيري، وكل عمل لم يكن لله تعالى خالصا فهو رياء، ولا يقبل الله عمل المرائي
Maka malaikat di langit ketujuh berkata kepadanya: “Berhentilah dan pukulkanlah dengan amalan ini ke muka orang yang mengerjakannya, dan pukullah anggota badannya dan tutuplah hatinya, akulah malaikat penjaga dzikir (ibadah karena ingin disebut-sebut oleh orang lain), sesungguhnya aku menghalangi semua amalan yang tidak dikerjakan karena-Nya, sesungguhnya ia beramal bukan karena Allah, tetapi karena ingin mendapat tempat yang tinggi di sisi Fuqaha (ulama), karena ingin disebut-sebut oleh ulama, dan dikenal dimana-mana. Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku tidak membiarkan amalan tersebut dapat melewatiku, setiap amalan yang dilakukan bukan ikhlas karena Allah adalah riya’, dan Allah tidak akan menerima amalan orang yang riya’.”
قال: وتصعد الحفظة بعمل العبد من صلاة وزكاة وصيام وحج وعمرة وخلق حسن وصمت وذكر الله تعالى، فتشيعه ملائكة السموات السبع حتى يقطعوا به الحجب كلها إلى الله تعالى، فيقفون بين يديه، ويشهدون له بالعمل الصالح المخلص لله تعالى
Malaikat Hafazah naik dengan membawa amal hamba tersebut berupa shalat, zakat, puasa, haji, umrah, akhlak yang baik, diam, dan dzikir kepada Allah. Amalan tersebut dikawal oleh malaikat di tujuh langit maka hilanglah segala penghalang hingga amalan tersebut sampai kepada Allah Ta’ala, maka para malaikat berdiri di hadapan Allah dan bersaksi dengan amalan shalih yang ikhlas karena Allah Ta’ala.
فيقول الله تعالى: أنتم الحفظة على عمل عبدي، وأنا الرقيب على ما في قلبه؛ إنه لم يردني بهذا العمل، وإنما أراد به غيري، فعليه لعنتي، فتقول الملائكة كلها: عليه لعنتك ولعنتنا، فتلعنه السموات السبع ومن فيهن
Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Kalian bertugas menjaga amal hamba-Ku, dan Aku lebih mengetahui apa yang ada di dalam hatinya, sesungguhnya ia tidak menghendaki-Ku dengan amalnya, sesungguhnya ia menghendaki sesuatu selain-Ku, maka laknat-Ku atasnya.” Lalu para malaikat seluruhnya berkata: “Laknat-Mu dan laknat kami atasnya.” Maka ketujuh langit dan seluruh yang ada di dalamnya ikut melaknatnya.

Aldi Fajar
1 month ago
Dalam Miftah al-Ma’iyyah fi Dustur ath-Thariqah an-Naqsyabandiyah :
karya Syaikh Abdul Ghani an-Nabulsi
Hakikat dan Tata Cara Muraqabah menurut Sayyidina Ubaidullah Ahrar
—————————————
وقال حضرة الشيخ الجليل عبيد الله أحرار: ((أن المراقبة من المفاعلة، فلا بد من الفعل من الجانبين.)) فعلى هذا لا بد أن يكون مراقبا لإطلاع الحق على أحواله ويداوم على ذلك، أو يكون مراقبا لإطلاعه على موجده بدون يصور ولا تشتت خاطر
Hadirat Syaikh yang mulia Ubaidullah Ahrar berkata, “Kata murāqabah mengandung arti mufā’alah, sehingga harus ada tindakan dari kedua belah pihak.” Berdasarkan ini salik harus sadar bahwa Al-Haqq selalu mengawasi segala keadaannya dan menjaga terus kesadaran itu dalam hatinya, atau sadar bahwa dia menjadi objek pengawasan bagi penglihatan-Nya atas perwujudannya tanpa membayangkan dan berusaha mendeskripsikan Dzat-Nya.
—————————————
Hadirat Syaikh yang mulia Ubaidullah Ahrar an-Naqsyabandi —semoga Allah menyucikan halnya dan menyinari pusaranya— berkata, kata murāqabah mengikuti bentuk kata mufā’alah, yaitu rāqaba yurāqibu murāqabah, sehingga harus ada tindakan dari kedua pihak, seorang hamba dan Allah Ta’ala. Berdasarkan hal ini hamba harus sadar (murāqib) bahwa Allah Ta’ala mengawasi atas segala keadaannya baik lahir maupun batin. Allah Ta’ala berfirman,
اِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
“Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. al-Fajr (89): 14)
Selain itu dia juga harus menjaga kesadaran itu, baik secara diam-diam maupun terang-terangan tanpa pernah melalaikannya. Kalau pun dia melalaikannya, dia harus langsung mengingatnya kembali.
Atau si hamba sadar bahwa dia adalah objek pengawasan ( murāqab, dengan huruf qaf berharakat fathah ) bagi penglihatan-Nya atas wujudnya semata, walaupun dia tidak sadar bahwa penglihatan-Nya mengawasi segala keadaannya. Hanya saja kesadaran ini harus tanpa membayangkan wujud Allah Ta’ala dan tanpa mendeskripsikan-Nya, karena Allah Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. asy-Syûrâ [42]: 11)
Tidak ada sesuatu apa pun yang bisa menandingi-Nya.
—————————————
والطريق الآخر أن يكون مراقبا لقلبه الصنوبري ولا يترك الخواطر تحل فيه حتى يتيسر له الربط بقلبه الحقيقي من غير ملا حظة معنى المفاعلة
Jalan lainnya adalah seorang hamba menjadi pengawas bagi hati sanubarinya dan tidak membiarkan berbagai sesuatu mengganggunya, sehingga akan mudah baginya untuk mengendalikan hati hakikinya tanpa perhatian pada makna mufā’alah.
—————————————
Jalan lain untuk murāqabah adalah si hamba menjadi pengawas atau menjadi penjaga hati sanubarinya itu, tanpa melalaikan makna-makna yang ada di hati sanubarinya itu. Selain itu dia juga tidak boleh membiarkan berbagai hal mengganggu hatinya, termasuk hal-hal yang hanya terbersit selintas di dalam hatinya. Bahkan setiap kali terbersit sesuatu di hatinya, dia harus langsung mengusirnya.
Alasannya adalah karena hal itu akan membuatnya mudah untuk mengikat dirinya yang masih ragu dengan hati hakikinya yang mengalir bersama nafas dan merupakan bagian dari perintah Allah yang seperti kejapan mata. Ini semua terjadi tanpa perlu baginya untuk merenungkan makna mufā’alah yang menunjukkan terjadinya perbuatan dari kedua belah pihak seperti cara pertama.
Dengan begitu dia pun tidak fokus kepada penglihatan Allah yang mengawasi semua keadaannya, tapi dia sibuk dengan murāqabah terhadap dirinya sendiri dan bukan sibuk dengan murāqabah Allah Ta’ala terhadap dirinya. Cara kedua ini bersumber dari hadits Nabi Saw. mengenai maqam ihsan, “An ta’budallāh ka’annaka tarāh”, atau dengan kata lain memperhatikan Allah dengan cara murāqabah kepada hati yang merupakan gerbang hadirat-Nya.
Kemudian Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Fa in lam takun tarāhu” (Maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya). Maksudnya, ketika engkau seharusnya bisa melihat Dia dan memperhatikan hadirat-Nya, “Sesungguhnya Dia melihatmu”, karena Dia memang selalu mengawasimu. Ini adalah tarekat atau cara pertama yang merupakan cara tertinggi. Karena di dalamnya terjadi perbuatan kedua belah pihak yang tercermin dalam kata “mufā’alah”.
Selain itu, hadits ini mengandung kunci peningkatan seorang hamba, karena pernyataan “Jika engkau tidak melihat-Nya”, yaitu jika engkau mengetahui bahwa ketika engkau berada di maqam pertama, engkau menduga bisa melihat Allah dan ternyata engkau tidak bisa. Saat engkau mengetahuinya, engkau pun naik tingkat dengan kemunculan keagungan-Nya kepadamu sehingga engkau dengan ketidakmampuanmu melihat-Nya itu akan mencapai sesuatu yang lebih baik daripada ketidakmampuan untuk melihat-Nya di maqam pertama.
Pada saat itu seakan-akan engkau melihat-Nya dengan kondisi engkau pada maqam pertama, sementara seiring dengan itu engkau tidak melihat-Nya, sehingga murāqabah terjadi darimu pada-Nya, dan murāqabah juga terjadi dari-Nya padamu dalam sabda Nabi Saw., “sesungguhnya Dia melihat engkau.” Tentu saja, berpadunya dua murāqabah pada diri si hamba dalam penyaksian lebih sempurna daripada satu murāqabah saja, disebabkan ada kemungkinan terjadinya kelalaian seiring dengan itu dari murāqabah Allah padanya. Kondisi pertama yang tidak disertai kelalaian adalah yang lebih sempurna.

Aldi Fajar
1 month ago
Perbedaan antara ridha dan ikhlas terletak pada makna, fokus, dan konteks penggunaannya dalam kerangka ajaran Islam. Berikut penjelasannya:
1. Ridha
Ridha (رِضَى) secara harfiah berarti “kerelaan” atau “kepuasan hati”. Istilah ini memiliki beberapa dimensi dalam penggunaannya:
- Makna Utama: Ridha adalah keadaan hati yang menerima dengan tulus segala ketentuan Allah, baik berupa hal yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Dalam arti lain, ridha adalah sikap penerimaan tanpa keluh kesah terhadap takdir Allah.
- Fokus: Lebih berfokus pada sikap seseorang terhadap apa yang datang dari Allah (qadha dan qadar). Orang yang ridha tidak menyalahkan takdir, bahkan dalam ujian atau cobaan berat sekalipun.
- Konteks: Ridha sering kali muncul setelah seseorang menghadapi sesuatu yang sudah terjadi. Misalnya, setelah kehilangan harta atau orang tercinta, seseorang yang ridha tetap menerima situasi itu dengan lapang dada sebagai bagian dari kehendak Allah.
- Dalil: Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya…”
(QS. Al-Bayyinah: 8) Di sini, ridha juga merupakan sifat Allah terhadap hamba-Nya yang taat.
2. Ikhlas
Ikhlas (إِخْلَاص) secara harfiah berarti “kemurnian” atau “keikhlasan”. Dalam konteks agama, ikhlas merujuk pada tindakan atau niat yang semata-mata dilakukan karena Allah, tanpa mengharapkan pujian, balasan duniawi, atau kepentingan pribadi.
- Makna Utama: Ikhlas adalah membersihkan niat dari segala unsur selain mencari keredhaan Allah. Amal perbuatan seseorang dikatakan ikhlas jika dilakukan hanya untuk Allah, bukan untuk mendapat pengakuan orang lain.
- Fokus: Lebih berfokus pada niat dan motivasi di balik perbuatan seseorang. Ikhlas berkaitan dengan kualitas batin saat melakukan suatu amal atau ibadah.
- Konteks: Ikhlas terjadi sebelum dan selama seseorang melakukan perbuatan. Misalnya, seseorang yang sholat hanya karena Allah, bukan karena ingin dilihat sebagai orang alim.
- Dalil: Allah berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama…”
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Perbedaan Utama
Aspek | Ridha | Ikhlas |
---|---|---|
Definisi | Penerimaan penuh terhadap takdir Allah. | Memurnikan niat hanya untuk Allah. |
Fokus | Sikap hati setelah menerima sesuatu. | Niat dan motivasi dalam perbuatan. |
Konteks Waktu | Biasanya muncul setelah suatu kejadian. | Terjadi sebelum dan selama beramal. |
Objek | Takdir atau ketentuan Allah. | Amal perbuatan atau ibadah. |
Hubungan Ridha dan Ikhlas
Meskipun berbeda, ridha dan ikhlas saling melengkapi. Orang yang ikhlas dalam amalnya akan lebih mudah mencapai ridha terhadap ketentuan Allah. Sebaliknya, orang yang ridha kepada Allah cenderung lebih tulus dan ikhlas dalam menjalankan ibadahnya.
Keduanya adalah sifat mulia yang menjadi tanda kesempurnaan iman seorang Muslim.

Aldi Fajar
1 month ago
Memandang dengan setia, satu sisi yang sama
Pandangan Yang Mulia pernah jatuh di sana
Saat malam engkau bercahaya
Engkau bercahaya dengan-Nya, apa adanya
Lihat, aku tiada pantas berbicara di hadapan-Nya
Walau aku memaksa merangkai kata-kata
Namun tak sempurna, tak jujur dan hina
Tapi engkau hadir menyapa seolah memaksa
Tak kuasa aku jatuhkan pandanganku di tempat yang sama
Wahai engkau yang dimuliakan dengan sebuah permisalan
Penggambaran pandangan para hamba ketika melihat Tuhannya di Sana
Aku pernah melihatmu dan mentari di langit yang sama, bukan rahasia
Maka sampaikanlah salam kepadanya yang pernah membuatmu mendua dan kembali sama
Engkau dijadikan kembali purnama, agar pandanganku dan pandangannya mesra
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا ومَولانا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِي عِلْمِ اللّٰهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ اللّٰهِ

Aldi Fajar
1 month ago
“Engkaulah Sang Habib”
Rahasia Al-Haqq adalah dirimu
Ilmu-Nya adalah Pintu-Nya
Sang Mursyid adalah Kunci-Nya
Al-Qur’an berjalan pada akhirnya
—
Hadits Qudsi:
“Al-insanu sirri wa Ana sirruhu wa sirri sifati wa sifati la ghairihi.”
“Manusia itu rahasia-Ku dan Aku rahasia manusia, dan rahasia itu adalah sifat-Ku, dan sifat-Ku tiada lain adalah Aku.”
—
Syaikh Abu Hasan As-Syadzili (qs) berkata, “Ketika dalam suatu perjalanan aku berkata, “Wahai Tuhanku, kapankah aku bisa menjadi hamba yang banyak bersyukur kepada-Mu?”, kemudian beliau mendengar suara, “Yaitu apabila kamu berpendapat tidak ada orang yang diberi nikmat oleh Allah kecuali hanya dirimu.” Karena belum tahu maksud ungkapan itu aku bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa berpendapat seperti itu, padahal Engkau telah memberikan nikmat-Mu kepada para Nabi, ulama’ dan para penguasa. Suara itu berkata kepadaku, “Andaikata tidak ada para Nabi, maka kamu tidak akan mendapat petunjuk, andaikata tidak ada para ulama’, maka kamu tidak akan menjadi orang yang taat dan andaikata tidak ada para penguasa, maka kamu tidak akan memperoleh keamanan. Ketahuilah, semua itu nikmat yang Aku berikan untukmu”.

Aldi Fajar
2 months ago
Tubuh dibersihkan dengan air, jiwa dibersihkan dengan air mata, akal dibersihkan dengan pengetahuan, dan jiwa dibersihkan dengan cinta.
( Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra .)
: : :
Wahai anak Adam, selama engkau masih berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau, apa pun yang datang darimu, dan Aku tidak peduli.
Wahai anak Adam walaupun dosa-dosamu mencapai batas langit, kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku, Aku akan ampuni engkau dan Aku tidak peduli.
Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan sepenuh bumi dosa, dan engkau tidak menyekutukan-Ku, maka Aku akan menemuimu dengan sepenuh itu pula ampunan.
( HR At-Tirmidzi no. 3540 )
: : :
Lihatlah pada orang-orang yang melampaui batas tersebut. Mereka telah membunuh wali-wali Allah, namun Allah masih menyeru mereka untuk bertaubat.
( Imam Hasan Al-Bashri qs. )

Aldi Fajar
2 months ago
Ringkasan Video tentang Filsuf Islam Abad Pertengahan
Video ini membahas kontribusi signifikan dari filsuf Islam abad pertengahan terhadap filosofi, kedokteran, dan sains, dengan menyoroti tiga tokoh kunci: Al-Farabi, Avicenna (Ibn Sina), dan Al-Ghazali. Masing-masing pemikir memainkan peran penting dalam menghubungkan pemikiran Yunani kuno dengan filosofi Islam dan Kristen abad pertengahan.
1. Al-Farabi: Guru Kedua
– Latar Belakang: Lahir pada tahun 872 M, Al-Farabi dikenal karena pengetahuannya yang luas di berbagai bidang.
– Kontribusi:- Diakui sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles, ia menulis komentar ekstensif tentang karya Aristoteles.
– Mendorong harmoni antara filosofi dan agama, menyatakan bahwa kedua jalur mengarah pada kebenaran yang sama.
– Mengembangkan gagasan “kebenaran ganda,” menyatakan bahwa sesuatu bisa benar dalam filosofi tetapi salah dalam agama, dan sebaliknya.
2. Avicenna (Ibn Sina): Sang Polimatik
– Latar Belakang: Lahir pada tahun 980 M di wilayah Uzbekistan modern, Avicenna adalah seorang pemikir yang produktif dengan pengetahuan yang luas.
– Karya Utama:- Kanon Kedokteran: Buku teks kedokteran komprehensif yang digunakan selama berabad-abad yang menekankan kedokteran eksperimental dan mengakui penyakit psikosomatik.
– Buku Penyembuhan: Ensiklopedia yang mencakup berbagai disiplin, termasuk logika, ilmu alam, dan metafisika.
– Kontribusi Filosofis:- Mengusulkan perbedaan antara esensi dan eksistensi, berargumen bahwa hanya esensi Tuhan yang ada secara inheren.
– Memperkenalkan eksperimen pemikiran “manusia terbang” untuk mengeksplorasi kesadaran diri yang independen dari pengalaman sensorik.
3. Al-Ghazali: Sang Mistikus
– Latar Belakang: Lahir pada tahun 1058 M di Persia, Al-Ghazali mengalami krisis eksistensial besar yang membawanya pada perjalanan spiritual.
– Karya Utama:- Inkoherensi Para Filsuf: Mengkritik filosofi rasionalis pada masanya, dengan fokus pada kausalitas, kekekalan, dan batasan akal manusia.
– Kebangkitan Ilmu Agama: Karya komprehensif yang menekankan keseimbangan antara praktik agama eksternal dan pengembangan spiritual internal.
– Ide Filosofis:- Berargumen tentang perlunya iman bersamaan dengan akal, mempromosikan gagasan bahwa pengetahuan sejati berasal dari kombinasi keduanya.
Warisan dan Pengaruh
– Ide-ide yang diajukan oleh para filsuf ini memiliki dampak mendalam pada pemikiran Islam dan Kristen selama periode abad pertengahan dan seterusnya. Karya-karya mereka memicu kebangkitan filsafat Yunani kuno di Eropa, mempengaruhi pemikir seperti Thomas Aquinas dan membentuk filosofi Barat.
– Video ini menekankan kontribusi mereka terhadap pengamatan empiris dan penalaran logis, yang meletakkan dasar bagi Revolusi Ilmiah.
Kesimpulan
Warisan intelektual Al-Farabi, Avicenna, dan Al-Ghazali terus bergema hingga hari ini, menunjukkan relevansi abadi dari pertanyaan filosofis mereka. Kemampuan mereka untuk mendamaikan iman dengan akal menawarkan wawasan berharga untuk diskusi kontemporer tentang hubungan antara sains dan spiritualitas.

Aldi Fajar
3 months ago
Sepulang dari peristiwa Shiffin, Ali bin Abi Thalib ra bersama seluruh pasukannya kembali ke Kufah. Beberapa mil sebelum sampai Kufah, ada sekitar 14 ribu orang (menurut riwayat Abdurrazaq dalam “Mushannaf”) yang memisahkan diri dari jamaah dan mencari jalur yang berbeda. Mereka tidak terima dengan genjatan senjata antara Ali dengan Mu‘awiyah.
Peristiwa tahkim atau kesepakatan damai antara Ali dengan Mu‘awiyah, yang diwakilkan kepada dua sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy‘ari dan Amr bin Ash, menjadi pemicu sebagian masyarakat yang merasa benar untuk mengkafirkan Ali bin Abi Thalib ra. Karena peristiwa ini, pada saat Ali bin Abi Thalib ra berkhutbah, banyak orang meneriakkan:
“Tidak ada hukum kecuali hanya milik Allah.”
Mereka beranggapan Ali bin Abi Thalib ra telah menyerahkan hukum kepada manusia (Abu Musa Al-Asy‘ari)
Ali bin Abi Abi Thalib ra tetap melanjutkan perjalanan hingga sampai di Kufah. Ali bin Abi Thalib ra sangat berharap mereka mau kembali bergabung bersamanya. Untuk tujuan itu, beliau mengutus Ibn Abbas agar berdialog dengan mereka.
Ibn Abbas menceritakan, “Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”
Ibn Abbas berkata, “Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bagaikan lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”
“Selamat datang wahai Ibn Abbas, misi apa yang Anda bawa?”
“Aku datang dari sisi seorang sahabat Nabi saw, menantu beliau saw. Al-Quran turun kepada para sahabat, dan mereka lebih paham tentang tafsir Al-Quran daripada kalian. Sementara tidak ada satu pun sahabat di tengah kalian. Sampaikan kepadaku, apa yang menyebabkan kalian membenci para sahabat Rasulullah saw dan putra paman beliau saw (yaitu Ali bin Abi Thalib ra)?”
“Ada tiga hal,” jawab orang Khawarij tegas.
“Apa saja itu?” tanya Ibn Abbas.
“Pertama, dia menyerahkan urusan Allah kepada manusia, sehingga dia menjadi kafir. Karena Allah berfirman, ‘Tidak ada hukum kecuali hanya milik Allah.’ Apa urusan orang ini dengan hukum Allah?”
“Ini satu,” tukas Ibn Abbas
“Kedua, Ali memerangi Mu‘awiyah, namun tidak tuntas, tidak memperbudak mereka dan merampas harta mereka. Jika yang diperangi itu kafir, seharusnya dituntaskan dan diperbudak. Jika mereka mu‘min, tidak halal memerangi mereka.”
“Sudah dua. Lalu apa yang ketiga?” kata Ibn Abbas.
“Dia tidak mau disebut Amirul Mu‘minin, berarti dia Amirul Kafirin.”
“Ada lagi alasan kalian mengkafirkan Ali selain 3 hal ini?” tanya Ibn Abbas.
“Cukup 3 ini,” jawab mereka.
Mulailah Ibn Abbas menjelaskan salah paham mereka,
“Apa pendapat kalian, jika aku sampaikan kepada kalian firman Allah dan sunnah Nabi-Nya, yang membantah pendapat kalian. Apakah kalian bersedia menerimanya?”
“Ya, kami menerima,” jawab mereka.
“Alasan kalian bahwa Ali telah menunjuk seseorang untuk memutuskan hukum, akan kubacakan ayat dalam firman Allah, bahwa Allah menyerahkan hukum-Nya kepada manusia untuk menentukan harga ¼ dirham. Allah perintahkan agar seseorang memutuskan hal ini. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai sembelihan yang dibawa ke Ka‘bah. (QS Al-Maidah [5]: 95)
Aku sumpah kalian di hadapan Allah, apakah putusan seseorang dalam masalah kelinci atau hewan buruan lainnya, itu lebih mendesak dibandingkan keputusan seseorang untuk mendamaikan di antara mereka. Sementara kalian tahu, jika Allah berkehendak, tentu Dia yang memutuskan, dan tidak menyerahkannya kepada manusia?” jelas Ibn Abbas.
“Keputusan perdamaian lebih mendesak,” jawab mereka.
“Allah juga berfirman tentang seorang suami dengan istrinya: Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. (QS An-Nisa [4]: 35)
Aku sumpah kalian di hadapan Allah, bukankah keputusan seseorang untuk mendamaikan sengketa dan menghindari pertumpahan darah, lebih mendesak dibandingkan keputusan mereka terkait masalah keluarga?”
“Ya, itu lebih mendesak,” jawab Khawarij.
“Alasan kalian yang kedua bahwa Ali berperang namun tidak tuntas, tidak menjadikan lawan sebagai tawanan, dan tidak merampas harta mereka.
Apakah kalian akan menjadikan ibunda kalian sebagai budak, yaitu Ibunda Aisyah ra, kemudian kalian menganggap halal memperlakukannya sebagai budak, sebagaimana budak pada umumnya, padahal dia ibunda kalian? Jika kalian menjawab, ‘Kami menganggap halal memperlakukannya sebagai budak, sebagaimana lainnya.’ berarti dengan jawaban ini kalian telah kafir. Dan jika kalian mengatakan, ‘Dia bukan ibunda kami’ kalian juga kafir karena Allah telah menegaskan: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu‘min dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. (QS Al-Ahzab [33]: 6)
Dengan demikian berarti kalian berada di antara dua kesesatan.
Apakah kalian telah selesai dari masalah ini?” tanya Ibn Abbas
“Ya,” jawab mereka.
“Alasan kalian yang ketiga, Ali menghapus gelar Amirul Mu‘minin darinya. Aku akan sampaikan kepada kalian kisah dari orang yang kalian ridhai (yaitu Rasulullah Muhammad saw) dan aku kira kalian telah mendengarnya. Bahwa pada saat Hudaibiyah, beliau saw mengadakan perjanjian damai dengan orang musyrikin. Nabi saw memerintahkan kepada Ali, ‘Tulis: ini yang diputuskan oleh Muhammad Rasulullah (utusan Allah).’
Maka orang-orang musyrik mengatakan, ‘Tidak bisa. Demi Allah, kami tidak mengakui bahwa engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau Rasul Allah, kami akan mentaatimu. Tulis saja, ‘Muhammad bin Abdullah.’
‘Hapuslah wahai Ali, hapus tulisan ‘Utusan Allah.’ Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku utusan-Mu. Hapus wahai Ali, dan tulislah: ‘Ini perjanjian damai yang diputuskan Muhammad bin Abdullah,’ perintah Nabi saw kepada Ali.
Demi Allah, Rasulullah saw lebih baik daripada Ali. Namun beliau saw telah menghapus dari dirinya gelar rasul Allah. Dengan beliau saw menghapus hal itu, tidaklah menyebabkan beliau gugur menjadi seorang nabi. Apakah kalian telah selesai dari masalah yang ini?” jelas Ibnu Abbas
“Ya,” jawab Khawarij.
Sejak peristiwa ini, ada sekitar 2000 orang Khawarij yang bertaubat dan kembali bersama Ali bin Abi Thalib ra. Sisanya diperangi oleh Ali bin Abi Thalib ra bersama para sahabat Muhajirin dan Anshar.
(Diambil dari “Khashais Ali bin Abi Thalib”, An-Nasa‘i, hlm. 20.)

Aldi Fajar
3 months ago
“Memberi di saat sedang berada dalam kelapangan adalah kewajiban. Memberi di saat sedang berada dalam kesempitan adalah kebaktian (al-birr).”
— Z A J T
: : : : : : : : :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu al-birr (kebaktian), akan tetapi sesungguhnya al-birr itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan apa yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
( QS Al-Baqarah [2]: 177 )
: : :
Menjelang penaklukan Mekkah, Rasulullah saw mengimbau para sahabat untuk menyumbangkan hartanya. Seorang sahabat Rasul yang paling miskin memasuki masjid, tempat dikumpulkannya sumbangan. Dia berjingkat, saking enggan kehadirannya ketahuan orang lain, dan datang ke masjid di saat semua orang tengah beristirahat. Tangannya menggenggam satu bungkusan berisi tiga buah kurma.
Seorang munafik memergokinya. Dia melecehkan si miskin, “Bisa apa Nabi dan kaum muslimin dengan tiga butir kurma itu, hei Fulan?”
Si miskin malu dan segera meninggalkan masjid setelah meletakkan kurma di tengah tumpukan sumbangan harta kaum muslimin.
Di tengah malam, Rasulullah saw memasuki masjid. Para sahabat mengikuti beliau saw yang kemudian berkata, “Baru saja Jibril datang menyampaikan kabar gembira. Salah seorang dari kalian telah Allah terima shadaqahnya. Sebaiknya dia tidak malu karena cercaan seorang munafik. Mana si Fulan? Dialah yang shadaqahnya Allah terima.”
Sahabat menjemput si Fulan ke rumahnya. Dia datang tersedu dengan mengayunkan kakinya menuju masjid. Dia juga bingung, gerangan apa yang membuat tiga butir kurma shadaqahnya mendapat berkah dari Allah Ta‘ala.
Berkata Rasulullah saw, “Engkau hidup dalam kemiskinan. Yang kau punya di rumah hanyalah tiga butir kurma, itu pun engkau relakan untuk saudaramu. Allah menerima shadaqahmu. Engkau berikan hal terbaik yang kau punya. Allah bukakan pintu surga bagimu.”
Si miskin itu pun menangis tersedu-sedu.[]

Aldi Fajar
3 months ago
Bersumber dari sahabat Abu Hurairah ia berkata bahwa Nabi saw pernah bersabda: “Pada hari kiamat kelak, Allah, mengatakan: ‘Wahai anak Adam, Aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku’. Hamba bertanya: ‘Bagaimana aku harus menjengukMu, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?’. Allah menjawab: ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Seandainya kamu menjenguknya pasti kamu temui Aku di sisinya.’
“Allah bertanya lagi: ‘Hai anak Adam, Aku lapar, tetapi kamu tidak beri Aku makan’. Hamba menjawab: ‘Wahai Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu makan, padahal Engkau adalah Tuhan alam semesta?’. Dia mengatakan: ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan minta makan kepadamu, tetapi kamu tidak berikan dia makan? Seandainya kamu beri makan si Fulan, niscaya kamu dapati Aku berada di sisinya’.
“Allah bertanya lagi: ‘Hai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tapi kamu tidak beri Aku minum’. Hamba menjawab: ‘Bagaimana aku memberi-Mu minum, sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?’ Allah mengatakan: ‘Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu tapi kamu tidak memberinya minum. Seandainya kamu memberinya minum, niscaya kamu akan mendapati dan menemui Aku di sisinya’”. (Hadits Qudsi, Sahih Muslim).

Aldi Fajar
3 months ago
“Wahdat al-wujud” merupakan salah satu istilah terkenal dalam dunia tashawwuf yang dinisbatkan kepada Ibn ‘Arabi, kendatipun istilah tersebut tidak kita temukan dalam karya-karyanya.
Meskipun demikian, istilah “wahdat al-wujud” seringkali bisa cukup dekat menggambarkan pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh Ibn ‘Arabi –– dan kita bisa saja berasumsi bahwa ia mendukung wahdat al-wujud dalam pengertian literal tersebut –– namun, pilihan istilah tersebut, menurut William C. Chittick, tidak begitu didasarkan pada isi yang terkandung di dalam tulisan-tulisannya, melainkan lebih kepada perhatian (concern) para pengikutnya dan arah perkembangan pemikiran setelahnya.
“Wahdat al-wujud” tidak bisa diklaim sebagai deskripsi memadai tentang ontologi Ibn ‘Arabi, sebab di samping Kesatuan Wujud, kebanyakragaman realitas (ahadiyat al-katsrah) juga ditekankan oleh Ibn ‘Arabi dengan kegigihan yang sama. Ibn ‘Arabi seringkali merujuk wujud dalam kepenuhannya sebagai Yang Satu/Yang Banyak (al-wahid al-katsir).
Sumber: https://www.facebook.com/share/p/kEKW4mbE7ASRXaEo/

Aldi Fajar
3 months ago
Diriwayatkan oleh Sayyidina Abu Hurairah (ra), dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ؛ لَيُوْشِكُنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيْكُمْ ابنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً، فَيَكْسُرُ الصَّلِيْبَ، وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيْرَ، وَيَضَعُ الْحَرْبَ، وَيُفِيْضُ الْمَالَ حَتَّى لاَ يَقْبَلُهُ أَحَدٌ، حَتَّى تَكُوْنَ السَّجْدَةُ الْوَاحِدَةُ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا.
‘Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh telah dekat turunnya putera Maryam di tengah-tengah kalian sebagai hakim yang adil, dia akan mematahkan salib, membunuh babi, menghentikan peperangan, dan melimpahkan harta, sehingga tidak seorang pun menerimanya, hingga satu kali sujud lebih baik daripada dunia dan seisinya.’”
Kemudian Sayyidina Abu Hurairah (ra) berkata, “Dan bacalah jika kalian menghendaki:
وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ
‘Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti ‘Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.’ (An-Nisaa/4: 159)”
[Shahih Bukhari dan Shahih Muslim]

Aldi Fajar
3 months ago
Ada seseorang yang datang menemui Syekh dan berkata, “Wahai Syekhku, aku mencintaimu, aku sudah bersamamu selama 27 tahun. Aku selalu melayanimu, aku membersihkan apa saja, aku seorang alim dalam Syariah, tafsir, hadits, dan al-Qur’an suci. Selama 27 tahun ini aku tidak pernah mengatakan, ‘tidak’ kepadamu, tetapi engkau tidak memberikan amanahku.”
“Kau tidak membukakannya untukku, tetapi aku lihat yang lain, mereka tidak punya banyak ilmu dan mereka tidak tahu apa-apa, tetapi engkau tuangkan ke dalam hati mereka, engkau bukakan bagi mereka. Ada apa denganku, mengapa engkau tidak memberikannya kepadaku?”
Beliau berkata, “Kau menginginkannya? Baiklah! Sekarang kau pergi ke pasar, ambil keranjang, isi dengan kacang walnut. Kau duduk di pintu masuk masjid dan kepada setiap orang yang datang katakan, ‘Silakan ambil sebutir walnut dan pukul aku sekali atau 2 walnut untuk 2 kali pukul.’ Ini adalah pekerjaanmu dan sampai keranjang itu habis, baru kembali kepadaku.”
Orang itu menatap pada Syekh dan berkata, “Kau berbicara kepadaku seperti ini? Aku adalah seorang alim, dan kau memerintahkan aku untuk melakukan hal itu? Beliau mengatakan, “Ya, itulah yang menghambatmu untuk mencapai amanahmu: ujub dan takaburmu.” Jadi sekarang bila kita mempunyai sifat ujub dan takabur, tentu saja tidak ada pembukaan.
Itulah sebabnya Awliyaullah tersembunyi sekarang. Mereka tidak memberikan ilmu dan asrar ini karena tidak ada orang yang cocok untuk itu. Tidak ada orang yang siap untuk menerima permata itu. Ketika kalian mampu membawa permata itu, mereka tidak akan menahannya untuk kalian, mereka tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Mereka menyimpannya di tempat yang aman bagi kalian untuk diambil pada Hari Perhitungan jika kalian tidak bisa mengambilnya di dunia. Sudah pasti amanah kalian akan diberikan pada Hari Perhitungan.
— Mawlana Shaykh Hisham Kabbani

Aldi Fajar
3 months ago
“Dan sesungguhnya Dialah Tuhan, sang pemilik bintang Syi’ra.”
QS. An-Najm 53:49
Bintang Syi’ra, yang dikenal dengan nama Sirius, adalah satu-satunya bintang yang disebut dengan namanya dalam Al-Quran pada Surah An-Najm (Bintang).
Sirius, yang merupakan bagian dari rasi Canis Major, adalah bintang paling terang di langit malam dan salah satu tetangga paling dekat Matahari.

Sirius yang terlihat dari Bumi merupakan sistem dua bintang yang saling mengorbit satu sama lain dengan masa rotasi setara 50 tahun di Bumi.
Sirius adalah bintang yang muncul dalam semua peradaban kuno, dari Mesir, Yunani, Persia, hingga Cina.
Jarak Sirius dari Bumi diperkirakan sejauh 8,61 tahun cahaya, atau 861 centi tahun cahaya, angka yang sama dengan jumlah huruf di antara kata “najm” (bintang) dan kata “ardh” (Bumi) dalam Surah An-Najm.
Rasio radius Sirius A dibandingkan Matahari diketahui sebesar 1,711. Angka ini serupa dengan rasio nomor Surah As-Syams (Matahari) (91) dengan Surah An-Najm (53).

Aldi Fajar
3 months ago
“Ridha ialah hati seseorang memperhatikan (merasa tenang) dengan apa pun yang telah diputuskan Allah terhadap dirinya karena sesungguhnya Allah telah menetapkan sesuatu yang paling utama bagi hamba-Nya”
— Sayyidi Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari qs.
: : : : : : : : :
“Dan tiap-tiap manusia itu, telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya, dan Kami keluarkan baginya di hari Kiamat satu kitab yang dijumpainya dengan terbuka. Bacalah kitabmu: cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS Al-Isra’ [17]: 13-14)
: : : : : : : : :
Sungguh pengetahuan tentang sekat-sekat takdir yang membatasi kehidupan kita masing-masing adalah sesuatu yang sangat besar, dan untuk memahaminya diperlukan banyak bekal pengetahuan serta kebijaksanaan.
Kita terlahir ke muka bumi ini dengan tidak diberikan pilihan: mau dilahirkan dari orang tua seperti apa, keluarga yang bagaimana, bentuk fisik yang mana, dan lain sebagainya. Sama halnya sebagaimana seseorang tidak dapat menegosiasikan berapa lama dia akan hidup.
Kesadaran akan garis-garis kehidupan yang telah ditorehkan di Lauh Mahfuz — yang sekuat apa pun keinginan manusia, tetap tidak akan mampu mengubahnya — itulah yang membuat manusia menjadi lebih bisa berkompromi dengan kehidupan alih-alih memaksakan kehendaknya sendiri sampai babak belur.
Banyak ketetapan hidup yang memang sudah Allah gariskan, dan tidak bisa diubah. Akan tetapi ada wilayah yang sepenuhnya menjadi “free will”, atau kehendak bebas manusia, yaitu hatinya sendiri.
Itulah semesta luas yang tak terbatas. Adalah hati yang bisa liar ke mana-mana. Bisa naik ke surga yang paling tinggi atau terjun bebas ke neraka yang paling bawah. Inilah pilihan yang di dalam dinyatakan Al-Quran sebagai, “Datanglah kepada-Ku dalam keadaan suka cita atau terpaksa.”
Kesukacitaan dan keterpaksaan itu letaknya di dalam hati. Kitalah yang menentukan apakah semesta hati kita mau tunduk dan berserah diri dengan keadaan yang ada, ataukah menjalaninya dengan berkeluh kesah, ngedumel, ngomel-ngomel, dan mengumbar amarah.
Ibaratnya setiap manusia itu telah diberikan buku mewarnai masing-masing, namun dengan desain dan pola yang berbeda-beda. Gambarnya sudah tersedia, tak bisa diubah, dan tugas kita hanya mewarnai dengan sebaik mungkin. Ada yang berusaha mengubah gambar yang ada, ada yang iri dengan gambar milik orang lain, ada yang mewarnai dengan serampangan, dan yang terbaik, tentu saja, yang mewarnai dengan sapuan warna serapih dan sebaik mungkin sehingga menyenangkan hati Yang Memberikan buku.
Suatu saat nanti, masing-masing kita akan menerima buku kehidupannya sendiri. Warna-warni hati yang kita torehkan saat ini akan dilihat hasilnya di suatu masa yang akan datang nanti. Semoga kita nanti mendapati buku kita dalam keadaan yang indah. Amin Ya Rabb Al-Alamin.
( Z A J T )

Aldi Fajar
3 months ago
Asy-Syaikh al-Akbar Maulānā ‘Ubaidillāh, yang terkenal dengan sebutan Khwaja Ahrār, berkata, “Sesungguhnya kebersamaan dengan orang-orang yang benar yang diperintahkan dalam firman Allah Ta’ālā tersebut terbagi dua. Pertama, kebersamaan dalam bentuk rupa, yakni dengan cara duduk bersama mereka hingga sifat-sifat mereka tercetak dalam dirinya. Kedua, kebersamaan maknawi.” Kemudian Beliau menafsir kebersamaan maknawi ini sebagai rabīthah.
: : : : : : : : :
Dalam Tanwirul Qulub :
Karya Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi qs.
Umumnya hamba tidak bisa mencapai maqam agung ini dengan dirinya sendiri. Ia memerlukan seorang pembimbing yang sempurna yang telah sampai pada maqam musyāhadah dan telah menyandang hakikat sifat-sifat dzātiyah. Oleh karena itu seorang murid harus mencari bantuan dari spirit Gurunya yang sempurna dan telah fanā’ di dalam Allah Ta’ālā. Selain itu, dia juga harus banyak menjaga (mengingat) rupa Gurunya. Selain karena alasan etika, hal itu juga dimaksudkan agar dia tetap bisa mendapat pancaran dari Gurunya saat Sang Guru tidak ada di hadapannya. Kehadiran kesadaran dan cahaya akan sempurna baginya dengan menjaga bayangan Syaikh dalam imajinasinya sambil menghadap ke hati sanubari hingga sampai pada keghaiban dan fanā’ dari diri. Fanā’ di dalam Syaikh merupakan pendahuluan fanā’ di dalam Allah Ta’ālā, karena hati menjadi tempat segala rahasia, maka melalui pewarisan dari Guru ke Guru inilah mereka sampai ke Rasulullah Saw. Inilah yang mereka sebut dengan rabīthah al-mursyid.
Pada prinsipnya, perhatian murid terhadap Syaikh Mursyid bukan karena pribadi Sang Mursyid semata, bukan pula untuk mencari sesuatu darinya secara otonom, melainkan karena anugerah Allah Ta’ālā yang mengalir pada dirinya. Itupun harus disertai keyakinan bahwa yang berbuat dan yang memberi efek pada hakikatnya adalah Allah Ta’ālā. Seperti si fakir yang berdiri di depan pintu orang kaya dan meminta sesuatu darinya. Dia meyakini bahwa yang memberi dan yang berderma adalah Allah Ta’ālā. Dialah yang pada genggaman tangan-Nya gudang-gudang langit dan bumi, tidak ada pelaku selain Dia. Murid berdiam di pintu Syaikh karena tahu bahwa Sang Syaikh adalah salah satu pintu nikmat Allah Ta’ālā. Allah berwenang untuk memberinya melalui dia.
Kenyataan tersebut merupakan hal yang tak terbayangkan penyangkalannya, kecuali di benak mereka yang telah ditetapkan Allah Ta’ālā menjadi orang-orang yang merugi. Mereka itulah orang-orang yang amal-amalnya sangat rugi, orang-orang yang tersesat dalam kehidupan dunia. Mereka menduga bahwa amal mereka itu baik. Padahal amal-amal mereka terhapus di dunia dan akhirat. Dan mereka sama sekali tidak memiliki penolong. Kalaulah dia orang yang percaya kepada para wali, sungguh para wali telah menjelaskan kebaikan dan manfaat besar rabithah al-mursyid. Mereka bersepakat dan mengatakan bahwa rabīthah al-mursyid memiliki pengaruh yang lebih dahsyat dari dzikir dalam pencapaian jadzbah ilāhiyah (tarikan ilahiah) dan pendakian sālik di tangga-tangga kesempurnaan.
Dari sejumlah pemuka Tharīqah Naqsyabandiyah ada yang hanya memberlakukan rabīthah al-mursyid bagi murid dalam sulūk dan taslīk. Ada pula yang memantapkannya sebagai keharusan bagi setiap murid, dengan alasan firman Allah Ta’ālā,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah [9]: 119)
Asy-Syaikh al-Akbar Maulānā ‘Ubaidillāh, yang terkenal dengan sebutan Khwaja Ahrār, berkata, “Sesungguhnya kebersamaan dengan orang-orang yang benar yang diperintahkan dalam firman Allah Ta’ālā tersebut terbagi dua. Pertama, kebersamaan dalam bentuk rupa, yakni dengan cara duduk bersama mereka hingga sifat-sifat mereka tercetak dalam dirinya. Kedua, kebersamaan maknawi.” Kemudian Beliau menafsir kebersamaan maknawi ini sebagai rabīthah.

Aldi Fajar
3 months ago
Seorang hamba yang dirahmati oleh Allah maka ke dalam qalb-nya akan dipancarkan cahaya kuasa-Nya, sehingga dia bisa menampilkan segala yang ada di dalam qalb tersebut.
Sesungguhnya, dunia yang dihadapi seseorang itu tiada lain merupakan gambaran dari kondisi hatinya sendiri.
Di tingkat fenomena, proyeksi dari hati itu bisa berupa kesialan, musibah, atau kemudahan dan kebahagiaan. Akan tetapi manusia biasanya cenderung menunjuk orang atau melemparkan kesalahan kepada sesuatu di luar dirinya, alih-alih berintrospeksi ke dalam diri.
Padahal fenomena yang tampak di sekitar kita itu bagaikan layar tiga dimensi dari hati kita masing-masing, dan itulah warna kehidupan yang menimpa setiap manusia.
Jadi, jika kita murung, maka jangan salahkan Allah. Seharusnya kitalah yang berusaha memahami ihwal “hidup ini sebenarnya apa?”
Bukan masalah benar atau salahnya, tapi hendaklah kita belajar memahami mekanisme hidup manusia.
Setiap warna kehidupan yang terpancar tentu akan dibaca secara subjektif oleh setiap individu. Adapun Allah Ta’ala, semenjak dari awal sampai hari akhir nanti, hanya memancarkan cahaya kasih-Nya yang selalu sama.
Jadi, daripada menunjuk-nunjuk hidung orang lain, mencari kambing hitam serta menyimpan amarah atau benci kepada seseorang, lebih baik energi yang ada itu dipakai untuk membaca kondisi hati kita sendiri per saat ini.
Itu akan lebih meringankan hati.
( Z A J T )
: : : : : : : : :
Datang, datanglah.
Tak akan kau temukan satu pun sahabat seperti-Ku.
Di mana lagi, di seluruh semesta, ada kekasih yang seperti Aku.
Datang, datanglah.
Jangan habiskan umurmu hilir mudik ke sana kemari.
— Mawlana Jalaluddin Rumi (qs)

Aldi Fajar
3 months ago
Sunnah itu lebih dari sekadar kumpulan aturan—ini adalah seni hidup di mana ruh memimpin jasad. Ini tentang menyelaraskan diri dengan pola ilahi, hidup untuk melayani orang lain, dan meraih hidup dalam damai dan kasih sayang.
Apakah Tuhan menciptakan dunia hanya untuk menjerat kita dengan daftar aturan dengan ancaman neraka seperti monster yang ingin menangkap mangsanya? “Ah, dapat kau sekarang!” Tidak! Bukan itu tujuannya. Tuhan tidak ingin menjebak kita; Tapi justru Dia ingin merangkul kita dalam rahmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya: “Dia memanggilmu ke tempat kedamaian” (يَدْعُوكُمْ إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ). [QS: Yunus 10:25]
Segala sesuatu dalam agama kita menuntun kita kembali ke jalan ini, jalan kedamaian. Nabi Muhammad, shallallahu ‘alaihi wa sallam, selalu berdoa agar kita tidak tersesat ke dalam hutan ideologi palsu atau keinginan yang salah. Mari kita berusaha mengikuti seni indah Sunnah ini dan menemukan jalan menuju kedamaian sejati. 🌿✨
———
Dalam beberapa interpretasi atau keyakinan, orang mungkin memandang Tuhan sebagai sosok yang keras atau menghukum, yang secara metaforis dapat digambarkan sebagai “seperti monster.” Persepsi ini sering muncul dari penekanan pada aspek penghakiman atau hukuman ilahi yang ditemukan dalam teks atau ajaran agama. Frasa “God is not out to catch us out” bertujuan untuk menenangkan orang dan menentang persepsi tentang Tuhan sebagai sosok yang terlalu menghakimi atau menakutkan.
———
Video: Shaykh Abdal Hakim Murad

Aldi Fajar
3 months ago
Seorang guru sufi mempunyai seorang murid yang diistimewakan. Guru itu sering datang kepadanya daripada datang kepada murid-muridnya yang lain. Mereka bertanya kepada gurunya tentang hal itu.
Guru menjawab, “Akan saya jelaskan persoalan ini kepada kalian.” Selang beberapa waktu guru memanggil murid-muridnya. Masing-masing diberi seekor burung sambil berpesan, “Sembelihlah burung ini di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapapun.”
Mereka semuanya lantas pergi, dan sebentar kemudian kembali dengan membawa burung yang telah disembelih di tangan mereka masing-masing. Akan tetapi, salah seorang dari mereka datang dengan membawa burung yang masih hidup. “Kenapa burung itu tidak kamu sembelih?”
“Guru memerintahkan saya agar menyembelih burung di tempat yang tidak diketahui oleh siapapun. Saya sudah berusaha mencari ke sana kemari, tetapi tidak menemukan satu tempat pun yang tidak terlihat kecuali dilihat oleh Allah Ta’ala.”
Guru itu tersenyum. Dengan nada yang datar, dia berkata, “Karena inilah, saya mengistimewakan dia dengan selalu datang kepadanya.”
❤️ Syaikh Abul Qasim al-Qusyairi, Risalatul Qusyairiyah, hlm. 271

Aldi Fajar
3 months ago
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ رَّقِيْبًا
“Allah Maha Mengawasi tiap-tiap sesuatu.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 52)
Malaikat Jibril as. datang kepada Nabi Muhammad Saw. dengan berbentuk seorang laki-laki.
“Ya Muhammad, apa itu iman?” tanyanya.
“Beriman kepada Allah Ta’ala, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, dan takdir baik dan buruk serta manis dan pahit.”
“Engkau benar.”
Para sahabat yang menyaksikan adegan itu terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang bertanya malah membenarkan jawaban yang ditanyakan. Bukankah dia datang untuk bertanya, tetapi mengapa justru terkesan menggurui Rasulullah Saw. Di tengah keheranan para sahabat yang belum terjawab, laki-laki asing itu kembali bertanya.
“Berilah diriku keterangan, apa itu Islam?”
“Menegakkan shalat, memberi zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah.”
“Engkau benar.”
“Berilah diriku penjelasan, apa itu Ihsan?”
“Beribadahlah kepada Allah Ta’ala seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Dia akan melihatmu.”
“Engkau benar,” jawab Malaikat Jibril as. kemudian berpamit pergi.
Ustadz Syaikh (Abu Ali ad-Daqaq) mengatakan bahwa ungkapan sabda Rasulullah Saw., “jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Dia akan melihatmu” merupakan isyarat tentang muraqabah⁷⁷ [⁷⁷ Al-Muraqabah menurut arti katanya adalah kesenantiasaan untuk tetap memelihara maksud, sedangkan makna istilahnya adalah keabadian memandang dengan hati pada Allah yang diposisikan sebagai Dzat Yang selalu mengawasi manusia dalam segala sikap dan hukumnya. Sikap batin ini timbul dengan membangkitkan kepekaan rasa pada kesenantiasaan Allah melihat dirinya dalam segala gerak dan diamnya.] (pengawasan).

Aldi Fajar
4 months ago
Kenikmatan hidup hanya ada majelis/berkumpul bersama para faqir. Merekalah para Sultan, para Tuan, para Pangeran.
Tak ada kumpulan/majelis yang lebih tinggi. Karena merekalah manusia paling rendah dan tak menyombongkannya, merekalah yang khusus dan dua dunia adalah harta mereka. Mereka berada di maqam/derajat al-Mahmud, karena Rasuluallah salallahu alayhi wassalam, berkata, ‘Carilah aku di antara mereka yang miskin, karena aku diutus kepada kalian karena mereka’ dan ‘Kemiskinan adalah kemuliaanku’ dan ‘Allah mencintai mereka yang miskin’.
Karena itu berkumpulah bersama mereka dan beradablah dalam majelis mereka. Tinggalkan bagianmu setiap kali mereka menyerumu ke depan.
Berkumpulah bersama mereka – ini separuh dari ilmunya. Ilmu kita bukan dikabarkan, ia disambungkan. Kumpulan para faqir itu seperti cairan yang mengembangkan dimana si murid tercelup, sehingga karena unsur-unsur cairan itu, nafsu muncul dan dikenali. Kita akan lihat nanti di bagian qasidah selanjutnya bahwa pencetakan fotonya akan terjadi karena paparan terhadap cahaya sang Shaykh.
Adab memiliki tiga tingkatan:
1. adab kepada Allah
2. adab kepada Shaykh
3. adab kepada mahluk/ciptaan
Adab kepada Allah memiliki tiga bagian:
a. Melaksanakan yang wajib
b. Ibadah tambahan/Nawafil – shalat malam, membaca Qur’an, wird, wazifa, diwan, Asma’ al-Husna.
c. Muraqaba. Menyebut Ismul Adhim dengan sepenuh perhatian dan ketenangan hingga runtuhnya sifat-sifat dan rahasianya tersibak. Rahasia dari muraqaba adalah mushahada (Jadi, rahasia berjaga adalah penyaksian).
Adab kepada Shaykh memiliki tiga bagian:
a. Amal. Pelayanan/ketaatan tanpa penilaian.
b. Hal. Rasakan hal/keadaan Shaykh dalam tiga kondisi:
i. dhikr – ikuti dia dalam memusatkan perhatian pada Rabbnya.
ii. fikr – ikuti penjelasannya tentang Kemuliaan Rabbnya.
iii. himma – ikuti dia dalam kerinduannya kepada Rabbnya.
c. Maqam. Sadarilah bahwa maqamnya ada di ayat surat YaSin (ayat 20):
‘Dan datanglah seorang laki-laki, berlari, dari ujung kota dan berkata, “Ikutilah para Rasul”’.
Cinta kepada Shaykh melebur dalam cinta kepada Rasulallah.
Cinta kepada Rasulallah melebur dalam cinta kepada Allah.
Adab kepada fuqara memiliki tiga bagian:
a. Ini termaktub dalam kalimat terakhir alinea: ‘Tinggalkan bagianmu setiap kali mereka menyerumu ke depan’.
b. Lihatlah kesalahan mereka sebagai cermin dimana engkau menemukan kesalahanmu sendiri.
c. Jika engkau melihat para faqir, saksikanlah Shaykhnya
Rebut waktunya dan senantiasa hadirlah bersama mereka. Ketahuilah bahwa rida dilimpahkan kepada mereka yang hadir.
Jangan mengira bahwa pembelajaran terjadi hanya dari nasehat yang disampaikan. Pembelajaran hadir dengan ‘berkumpul bersama’. Berkumpul bersama adalah kegiatan intelektual. Nasehat adalah kegiatan ekstasi. Sama’a/mendengarkan adalah kegiatan tenang. Ketiganya adalah syarat ‘suatu kehadiran’. Inilah proses perubahan yang kami sebut sebagai kimiawi.
Bertahanlah untuk diam kecuali jika ditanya. Lalu katakan, ‘Saya tak berilmu’ dan berselimutlah dengan ketidaktahuan.
Berdiam bukan untuk menarik perhatian, namun untuk menolak perhatian. Jangan takut berada di antara para faqir. Tak seorangpun yang harus memperhatikan kediamanmu. Kebungkamanmu adalah kemenanganmu, dan dengan itu ketidaktahuannmu akan segera berubah menjadi ilmu.
Jangan menyoroti kesalahan, kecuali dengan melihat bahwa kesalahan itu nyata muncul pada dirimu, sedangkan kesalahan itu tersembunyi.
Fuqara itu tak bercacat. Jika engkau mampu melihat mereka tak bercacat maka engkau pun telah menjadi tak bercacat. Jika engka tak bercacat, engkau tiba di haribaan sang Shaykh.
‘Kamu tak akan menemukan suat kecacatan pada mahluk ciptaan Ar Rahmaan.’
Jika engkau tak bisa memahami kebenaran ini mewujud pada kumpulan para kekasih Allah, bagaimana kengkau akan memahami kebenaran ini di kumpulan mereka yang menderita dan mereka yang beramal buruk?
Rendahkanlah kepalamu dan minta maaflah tanpa sebab apapun. Tetaplah memohon maaf baik saat diperlakukan dengan adil.
Tidak menyalahkan. Inilah aturan aturan di zawiyya dan maqamnya para wali. Inilah kedudukan dari ‘yang asing akan menyingkirkan yang lemah’ dan wujud kalahnya kemunafikan.
Jika sebuah kesalahan muncul darimu, maka mohonlah maaf dan sibaklah wajah permohonan maafmu karena apa yang telah mengalir kepadamu darimu.
Jangan memelihara amal buruk. Jangan pelihara rasa benci apapun. Lepaskan semuanya. Para faqir haruslah memiliki hati seperti kanak-kanak yang oleh Rasulullah salallahu alayhi wassalam, dikatakan, ‘Allah mencintai kanak-kanak karena tiga hal. Pertama, mereka mudah menangis. Kedua, mereka tak pernah mendendam. Ketiga, jika mainan emasnya kau ambil dan ditukar dengan mainan tanah liat, buat mereka sama saja’.
Katakanlah, ‘Hambamu yang hina ini sangat membutuhkan pengampunanmu. Mohon belas kasihan dalam pengampunan dan berikan dengan lemah lembut wahai fuqara!’
Kemajuan sang pencari terletak di ayat ini. Inilah jalan singkat untuk menanjak dan kemenangan atas nafsu.
Mereka tak boleh direndahkan, dan itulah perilaku mereka. Jangan kuatir bahwa mereka akan menyakiti atau menyusahkanmu.
Sebelum engkau mampu merasa nyaman berada di kumpulan para faqir, maka engkau tak akan pernah merasa nyaman berada bersama dirimu sendiri. Sebelum engkau merasa nyaman bersama dirimu sendiri maka engkau tidak dapat mencapai tahapan memasuki hal/keadaan sang Shaykh. Begitu engkau meyakini fuqara maka engkau bisa meyakini dirimu. Jika engkau meyakini dirimu, maka engkau akhirnya bisa berjumpa dengan Shaykhmu bukan sebagai pembimbing atau guru ataupun pemimpin, namun layaknya sebagai cahaya memanggil cahaya.
Senantiasalah bermurah hati dalam mengucapkan pujian atas saudara-saudaramu itu baik secara lahiriah dan batiniah. Tundukkan matamu jika seseorang terpeleset.
Memuji para faqir memiliki penambahan padanya, dan pelepasan, dan kebebasan dari ketakutan serta akhir dari kesepian. Di dalamnya terdapat kasih sayang bagi si sakit, kesabaran dengan yang tua dan kedermawanan terhadap yang muda.
Padanya faqirat belajar memuliakan suaminya dan fuqara belajar bersikap manis kepada istri-istrinya. Tundukkan mata jika seseorang terpeleset. Ini adalah sunnah Rasul yang mulia – menutupi kesalahan-kesalahan saudaramu. Inilah pengaruh dhikr astaghfirullah. Inilah penyebab dhikr tabaraka’llah. Darinya muncul cinta sang Shaykh kepada muridnya. Sang Shaykh bergembira atas dua hal – yaitu saat muridnya ditentang/dicela dan saat muridnya menahan diri dari membalas celaan.
Awasi dengan sungguh-sungguh sang Shaykh dalam keadaan-keadaannya, siapa tahu secercah persetujuannya akan tampak padamu.
Sang Shaykh memiliki tiga keadaan di hadapan umum.
i. Pertemuan. Seperti tuan rumah kepada tamunya atau seperti seorang ayah kepada anak-anaknya. Di sini semuanya terlindungi dalam cahaya penerimaan, perhatian, kabar-kabar dan keramahtamahan. Inilah arena tersulit bagi murid baru. Gurauan itu bagi taman kanak-kanak dan dimana yang berlaku adalah permainan maka tiada kerja apapun.
ii. Bimbingan. Jika sang Shaykh berkata kepada seseorang, anggaplah bahwa itu ditujukan kepadamu. Sang Shaykh menyamarkan nasehat tegasnya dan menutupi siapa yang dituju baik dalam teguran maupun kasih sayang. Jika sang Shaykh berkata kepadamu anggaplah itu sebagai persimpangan – jangan berbalik di jalanmu. Jika ia rida padamu, tetapkan hati untuk memperkuat tujuanmu. Jika ia tak rida, bergembiralah bahwa beliau telah memperhatikannya. Jika beliau berbicara tentang Allah – ambillah semuanya – semua perkataannya akan menjadi kenyataan bagimu.
iii. ‘Ketidakhadiran’. Jika sang Shaykh undur diri secara batiniah dari kumpulan pada saat sama’a atau pertemuan, ikutilah ia. Karena sebenarnya untuk inilah engkau berjalan. Ini akan membawamu ke ruang pertemuan hati.
‘Siapa tahu secercah persetujuannya akan tampak padamu’.
Inilah selarik cahaya dari Allah tanpa perantara. Sang Shaykh tidak ‘melakukan’ apa pun. Ia mengenali mereka yang dicintai Allah. Pengenalan ini memiliki hikmah padanya bagi sang Shaykh dan bagi diri-mu. Shaykh Ahmad al-Badawi dari Fes, semoga Allah merahmatinya, berkata, ‘Selirik pandangan seorang Shaykh menghapuskan ribuan amal buruk’. Kejadian ini sangat sukar dimengerti mereka yang berpikir atas dasar bentuk luar suatu kejadian dan sangat mudah dimengerti mereka yang paham tentang keadaan batiniah. Sebab ini menyangkut arena terdalam dari lubb atau jati diri kesadaran manusia. Permisalannya adalah sinar matahari. Jika kamu berjemur maka kamu akan terluka bakar. Jika kamu duduk bersama sang Shaykh, kamu dibersihkan, lalu mabuk, dan akhirnya punah. Layaknya seperti dia yang awalnya merasa kepanasan, lalu terbakar dan akhirnya buta karena pancaran sinar matahri. Inilah arena hakikat terdalam dan rahasia ‘berkumpul bersama’.
Bergerak majulah dengan kesungguhan dan bersegeralah untuk melayaninya. Mudah-mudahan ia rida dan berhati-hatilah agar engkau tak menjadi kesal.
Pelayananmu kepada Shaykhmu adalah perkara yang besar. Lebih besar lagi adalah pelayannya kepadamu. Perasaan yang keliru pada sang Shaykh membahayakan si murid melalui kebingungan dan ilusi bahwa nafsu adalah selainnya, padahal tak ada yang selainnya. Abu’l-‘Abbas al-Mursi, semoga rahmat Allah tercurah baginya, bekata, “Dia yang berkata, ‘Kenapa?’ pada Shaykhnya tidak akan pernah bahagia”. Jangan pernah lupa bahwa akad dengan sang Shaykh adalah untuk meluncurkanmu dari ‘ilmi nafsika kepada ‘ilmi rabbika, dari ilmu tentang dirimu kepada ilmu tentang Allah.
Keridaan Sang Pencipta ada pada keridaannya dan ketaaatan padanya. Allah akan rida padamu. Berhati-hatilah terhadap dia yang meninggalkan ini.
Tak ada shirk di sini. Inilah rahasia mereka yang bertariqa. Tanpa seorang Shaykh seseorang tak mampu mengalahkan nafsunya. Semakin ia melawan nafsunya semakin kuatlah nafsunya. Perhatian itu memastikan keberadaan nafsu. Pemicu nafsu ada di luar atau di dalam nafsu. Jika dipicu dari dalam, ini pekerjaan shaytan, si pembisik, yang menyeru pada amal buruk. Karena itu, mengikuti nasehat Moulay ‘Abdalqadir al-Jilani, si murid haruslah menjadikan dirinya serupa jenazah di tangan orang yang memandikannya dalam hubungannya dengan sang Shaykh. Abu Yazid, semoga rahmat Allah tercurah atas para wali-wali yang besar ini, berkata, ‘Ia yang tak punya seorang Shaykh sebagai junjungan maka shaytan menjadi junjungannya’. Karena itu berkumpul bersama adalah syarat yang dibutuhkan dalam tariqa. Bagaimana mungkin dokter menyembuhkan pasiennya, kecuali jika pasien itu dihadirkan ke depannya? Dalam inti sari perkara ini, sesungguhnya tak ada aturan tertentu yang diterapkan bagi si murid. Si murid haruslah menginginkan apa yang diinginkan sang Shaykh, karena pada keinginan itu terletak penyembuhnya. Si murid adalah dia yang telah menyerahkan iradanya – keinginannya – kepada sang Shaykh agar mampu bersegera keluar dari fantasi-fantasi khayal (kemampuan menyatakan benda-benda sebagai padat seakan itu hakikatnya) dan kufr, yaitu menutupi yakni nafsu itu sendiri.
‘Bertakwalah kepada Allah dan Ia akan memberimu furqan – pembeda.’
Maknanya bukan darimu namun dariNya. Maka perpisahan tidak menabirimu dari kebersamaan dan kebersamaan tidak menabirimu dari perpisahan.
Ketahuilah bahwa jamaah tariqa adalah penuntut ilmu, dan keadaan mereka yang menyatakan diri sebagai jamaah itu sebagaimana kamu lihat.
Tanah air dari jamaah tariqa adalah ma’nawiyya. Di gelanggang ini burung rahasia terbang bebas menuju lapangan terbukanya lapangan terbuka. Akal haruslah dilatih dalam gelanggang ishara, isyarat, yaitu arena halus makna-makna yang sampai melalui petunjuk-petunjuk dan tanda-tanda kode, yang tak bisa dicapai melalui kemampuan rendah berpikir. Kemampuan atas ishara hanya akan muncul setelah praktek dhikr, bukan melalui praktek fikr. Selanjutnya ia pun bergantung pada himma – kerinduan yang selalu hadir yang selalu meningkat dan semakin menguat. Tak ada akhir baginya kecuali pada Sang Pengasih.
Kapan saya akan melihat mereka, dimana saya akan melihat mereka? Kapan telingaku mendengar kabar mereka?
Shaykh Ahmad al-Badawi dari Fes, semoga Allah merahmatinya, berkata, ‘Jika kalian telah melihat fuqara, kalian telah menyaksikan Allah.’ Suatu saat beberapa ulama jahil menista fuqara yang sedang melakukan hadra. Mereka bertanya apa yang terjadi saat fuqara berhadra. Jawabannya adalah, ‘Kami melihat Allah’. Ulama-ulama itu membentak menyatakan bahwa jawaban itu sesuai dengan apa yang telah mereka pikirkan. Itu shirik!. ‘Mengapa shirik?’ tanya fuqara, ‘Apakah kalian menyaksikan ada yang selain Allah?’.
Siapakah yang menjadi milikku dan dimana mereka yang seperti aku bersaing dengan mereka di sumur-sumur yang tak saya kenali ketidaksuciannya?
Jika cinta kepada Allah telah teguh di qalbu, si faqir menjadi sarana tafakur, dan tempat perjumpaan, dan penimbul kegembiraan di qalbu.
Aku mencintai mereka dan aku perlakukan dengan lembut dan aku tawarkan kepada mereka darah dari qalbuku – khususnya sekumpulan dari mereka.
Di antara yang khusus ada yang diterpilih. Sebagian mabuk, berkeliaran, lemah, dalam cinta pada Yang Maha Agung. Sebagian sadar, diam, kuat dalam tafakur pada Yang Maha Indah. Sebagian sadar/mabuk, diam/bergerak – keagungan tidak menabiri mereka dari keindahan dan keindahan tidak menabiri mereka dari keagungan. Merekalah yang sempurna.
Sekelompok dengan ciri mulia – dimana pun mereka duduk, keharuman meruak setelah mereka pergi.
Inilah baraka. Baraka berasal hadrat ar-Rabbani, kehadiran Rabbi. Barang siapa menyangsikan baraka, ia menyangsikan bahwa Allah Yang Maha Hidup tak akan mati. Bagi muslim, baraka itu ada di Hajar Aswad, di Rawdah, pada Laylat al-Qadr. Bagi mukmin, baraka ada di masjid, di kubur para wali – tanpa shirk atau bid’a karena tak ada yang harus dilakukan di situ untuk merasakannya – dan di hadapan salihun. Bagi muhsinin, baraka ada pada setiap pohon dan setiap batu dan setiap bunga dan setiap wajah dan setiap bintang. Tabaraka’llah.
Tasawwuf dibimbing melalui akhlak mereka di tariqa-tariqa. Kesetimbangan yang sempurna adalah milik mereka, yang menyejukkan mataku.
Sufisme bukanlah prinsip-prinsip terselubung. Ia adalah amal-amal dan keadaan-keadaan batini lelaki Allah, rijala’llah. Ia adalah dhawq. Rasa bagi jamaah keadaan batin. Penyaksian bagi jamaah penyaksian. Fana bagi jamaah fana.
Mereka adalah orang-orang yang aku cintai dan para kekasihku yang berada di antara mereka yang mengikuti jejak ujung jubah kekuatan dalam keagungan.
Cintanya para kekasih adalah perkara dahsyat. Jika engkau hadir saat mereka bertemu dan menyatakan cinta mereka, maka Allah telah melimpahimu dengan limpahan karunia (fadl). Pertemuan mereka terjadi namun tak disaksikan. Perpisahannya disaksikan namun tak terjadi. Pusat perhatian mereka hanyalah tafakur pada Sang Pengasih. Inilah maqam Ihsan.
Semoga aku disatukan dengan mereka dalam Allah, dan perilaku salahku diampuni dan dimaafkan olehNya.
Doa yang luar biasa dan tujuan yang luar biasa! Inilah maqam Ibrahim.
Shalawat bagi Yang Terpilih, Sayyiduna Muhammad, yang terbaik dalam memenuhi janji dan berjanji.
Shalawat yang luar biasa dan pahala yang luar biasa! Inilah maqam Islam. Kami bershukur pada Allah atas hadiah Islam pada kami dan itu cukup bagi kami. Amin.
Links
Tentang
Aldi Fajar Budiman Putra: Desainer komunikasi visual berpengalaman dengan lebih dari 15 tahun di bidangnya, mengkhususkan diri dalam pengembangan situs web dan aplikasi. Menawarkan layanan desain situs web freelance untuk meningkatkan kehadiran online Anda.
Pilih paket →