Istilah “wali” atau “waliyullah” sering kita dengar dalam konteks keislaman, khususnya dalam kajian tasawuf. Secara umum, banyak orang mengartikan wali sebagai sosok yang memiliki karamah atau keramat. Abul Qasim Al-Qusyairi dalam karya terkenalnya, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, menjelaskan dua kemungkinan makna dari kata “wali”. Pertama, kata “wali” dapat dipahami sebagai wazan mubalaghah atau wazan fa’īl, yang berarti seseorang yang ketaatannya terus menerus tanpa terhalang oleh maksiat. Kedua, kata “wali” juga dapat merujuk pada wazan “fa‘īl” dengan makna maf‘ūl, yakni orang yang dilindungi oleh Allah dengan penjagaan dan pemeliharaan-Nya secara berkelanjutan.
Dalam Surat Al-A’raf ayat 196, Allah menyatakan, “Dia melindungi orang-orang yang saleh.” Dari sini, istilah mahfūzh muncul, merujuk pada orang-orang yang dilindungi oleh Allah, yang posisinya berada di bawah para nabi dan rasul. Meskipun tidak mudah untuk mengenali wali Allah, Syekh Zarruq menyebutkan tiga sifat utama yang dapat dijadikan tanda: mengutamakan Allah, berpaling dari makhluk-Nya, dan berpegang pada syariat Nabi Muhammad (SAW) dengan benar.
Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam-nya juga mengungkapkan bahwa wali Allah lebih sulit dikenali dibandingkan dengan Allah itu sendiri. Wali Allah berperan sebagai pengantar kita kepada-Nya, meskipun kewalian mereka sendiri sulit untuk diidentifikasi. Tugas kita di dunia ini bukanlah untuk menentukan siapa yang layak disebut wali, melainkan untuk beribadah kepada Allah dan menjaga hak-hak sesama muslim. Kita juga harus berhati-hati dalam menyebarkan rumor mengenai kewalian seseorang, karena menjatuhkan vonis terhadap kesalehan orang lain bukanlah kewajiban kita. Sebagai sesama hamba Allah, kita memiliki tanggung jawab untuk saling menghormati. Wallahu a’lam.