Istighfar memiliki banyak keutamaan, di samping sebagai permohonan ampunan kepada Allah. Syekh Abdul Wahhab As-Sya’rani dalam kitab Al-Minahus Saniyyah mengutip hadis Rasulullah (SAW) yang menyatakan bahwa istighfar dapat menjadi jalan keluar di tengah kesulitan dan membawa rezeki dari arah yang tidak terduga. Dalam hadis tersebut, Rasulullah (SAW) bersabda, “Siapa saja mengekalkan bacaan istighfar, niscaya Allah jadikan baginya sebuah jalan keluar di tengah kesempitan dan sebuah kelonggaran di tengah kesumpekan; dan Allah kucurkan rezeki kepadanya dari jalan yang ia tidak perhitungkan.”
Istighfar juga dijelaskan dalam Al-Qur’an, Surat Al-Anfal ayat 33, yang menyatakan bahwa Allah tidak akan mengazab umat-Nya selama mereka memohon ampunan. Syekh Ibnu Ajibah dalam Iqazhul Himam menekankan bahwa makna istighfar bagi kalangan sufi tidak jauh berbeda dengan pemahaman umum, meskipun mereka memiliki pandangan yang lebih dalam tentang dosa dan kesadaran diri saat beramal. Bagi mereka, kelalaian saat beramal adalah sesuatu yang perlu diistighfari, mencerminkan kesadaran akan ketidaksempurnaan dalam ibadah.
Syekh Abdul Wahhab As-Sya’rani menambahkan bahwa istighfar di akhir ibadah merupakan pengakuan atas kekurangan dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Para arifun sepakat bahwa disunnahkan untuk mengakhiri setiap amal dengan istighfar, dan Rasulullah (SAW) beristighfar tiga kali setelah shalat wajib sebagai contoh bagi umatnya. Ini menunjukkan pentingnya kesadaran akan ketidaksempurnaan dalam ibadah dan perlunya memohon ampunan kepada Allah setelah melakukan amal saleh.