Tongkat Nabi Musa (SAW) awalnya hanya berfungsi sebagai tongkat penggembala biasa. Namun, atas izin Allah (SWT), tongkat ini menjadi luar biasa. Diceritakan bahwa panjang tongkat Nabi Musa (SAW) mencapai sepuluh hasta dan bercabang dua. Tongkat ini merupakan salah satu mukjizat yang dianugerahkan Allah (SWT) kepada Nabi Musa (SAW) dan disebutkan dalam Al-Qur’an.
Awalnya, tongkat tersebut hanya digunakan untuk menggiring kambing, tetapi berkat kuasa Allah (SWT), tongkat ini memiliki banyak fungsi yang membantu Nabi Musa (SAW) dalam menghadapi kedurhakaan umatnya. Konon, tongkat Nabi Musa (SAW) ini dapat menyala dalam kegelapan, yang sangat membantu dalam perjalanan di malam hari.
Catatan bijak yang terukir pada tongkat Nabi Musa (SAW) mengajarkan sikap yang seharusnya dimiliki oleh penguasa, ulama, orang kaya, dan orang miskin. Dalam Syarah Barzanji, Syekh M Nawawi Banten menuliskan:
“Setiap penguasa yang tidak adil dalam kekuasaannya tiada bedanya dengan Firaun. Setiap ulama dan ilmuan yang tidak mengamalkan ilmunya tiada bedanya dengan Iblis. Setiap orang kaya yang tidak bermanfaat hartanya tiada bedanya dengan Qarun. Setiap orang miskin yang tidak sabar atas kemiskinannya tiada bedanya dengan anjing.”
Semua catatan ini mendorong penguasa untuk bersikap adil, kaum terpelajar untuk tidak mengkhianati pengetahuannya, orang kaya untuk bersikap dermawan, dan orang miskin untuk bersikap sabar. Sikap proporsional ini diperlukan untuk menjaga kehidupan sosial dan politik yang sehat.
Sikap sabar yang dimaksud bukanlah dalam pengertian pasif. Anjuran sabar tidak berarti menuntut orang miskin untuk berdiam diri. Mereka yang berada dalam keadaan miskin harus aktif berusaha memperbaiki nasibnya sambil tetap bersabar. Dengan demikian, sikap sabar di sini bermakna pengendalian diri agar tidak kehilangan kendali di tengah kemiskinan. Wallahu a‘lam.