Pertanyaan mengenai kewajiban ibadah bagi manusia sering kali muncul dalam pemikiran kita. Mengapa Allah (SWT) mewajibkan ibadah kepada hamba-Nya? Meskipun pertanyaan ini mungkin terdengar kurang sopan, sebenarnya hal ini wajar mengingat Allah (SWT) memberikan kita akal untuk berpikir dan bertanya.
Syekh Ibnu Athaillah dalam karya Al-Hikam menjelaskan bahwa Allah (SWT) memahami rendahnya semangat hamba-Nya untuk berinteraksi dengan-Nya. Oleh karena itu, Allah (SWT) mewajibkan ketaatan agar hamba-Nya digiring menuju-Nya melalui belenggu kewajiban. Dalam pandangan Syekh Syarqawi, manusia cenderung kesulitan untuk melaksanakan ibadah secara sukarela karena kelemahan kemauan dan kemalasan yang merupakan sifat alami manusia.
Allah (SWT) mewajibkan ibadah dengan tujuan agar hamba-Nya dapat berkhidmah kepada-Nya, meskipun hal ini dilakukan dengan paksaan. Kewajiban ibadah ini diibaratkan seperti belenggu yang menggiring tawanan untuk melakukan sesuatu yang pada akhirnya membawa manfaat bagi mereka sendiri. Kewajiban ini tidak hanya sekadar perintah, tetapi juga mengandung hikmah yang akan disadari oleh manusia di akhirat.
Syekh Syarqawi memberikan ilustrasi mengenai kewajiban ibadah dengan membandingkannya kepada sikap seorang wali terhadap anak kecil. Seorang wali memberikan aturan yang mungkin terasa berat dan tidak disukai oleh anak, namun aturan tersebut memiliki manfaat yang akan dirasakan oleh anak ketika ia dewasa. Begitu pula dengan kewajiban ibadah, manfaatnya akan dirasakan oleh manusia di akhirat.
Pada akhirnya, semua maslahat dan manfaat dari kewajiban ibadah akan kembali kepada manusia, bukan kepada Allah (SWT), karena Allah (SWT) tidak membutuhkan ibadah hamba-Nya. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya melaksanakan kewajiban ibadah dengan penuh kesadaran dan pengertian akan manfaatnya di masa depan. Wallahu a‘lam.