Rasulullah SAW pernah memberikan teguran kepada sekelompok sahabat yang bertakbir dengan suara yang terlalu keras, menyerupai teriakan, saat mereka dalam perjalanan. Para sahabat ini biasanya bertakbir ketika melewati jalan menanjak dan bertasbih saat melalui jalan menurun. Dalam sebuah riwayat yang tercantum dalam Shahih Bukhari, Jabir (RA) menyatakan, “Bila melintasi jalan menanjak, kami bertakbir. Ketika melewati jalan menurun, kami bertasbih.”
Ketika rombongan tersebut tiba di sebuah lembah, beberapa sahabat mengangkat suara mereka saat bertakbir. Hal ini mendapatkan teguran dari Rasulullah SAW, yang menjelaskan bahwa Allah yang mereka seru bukanlah Tuhan yang tuli dan jauh, melainkan Tuhan yang Maha Mendengar dan Maha Dekat. Dalam riwayat yang juga terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Abu Musa Al-Asy’ari (RA) menceritakan bahwa saat mereka melewati lembah, suara mereka meninggi. Rasulullah SAW mengingatkan, “Wahai manusia, bersikaplah lembut terhadap diri kalian karena kalian tidak sedang menyeru Tuhan yang tuli dan ghaib. Dia bersama kalian. Dia Maha Mendengar, lagi dekat.”
Ibnu Alan dalam Syarah Al-Adzkar menegaskan bahwa tidak perlu berteriak dalam melafalkan takbir dan zikir. Mengucapkan takbir dan zikir dengan suara yang wajar menunjukkan adab kepada Allah dan mencerminkan makrifat seseorang. Menghardik suara saat berdoa hanya diperlukan ketika berbicara kepada orang yang jauh agar mereka mendengar, sedangkan saat menyeru Allah, yang Maha Mendengar dan Dekat, suara yang wajar sudah cukup.
Riwayat ini tidak melarang seseorang untuk mengeluarkan suara dalam bertakbir atau berzikir, karena dalam situasi tertentu, seperti takbiran pada malam Id atau saat adzan dan iqamah, suara yang tinggi diperbolehkan. Namun, dalam keadaan normal, takbir sebaiknya dilafalkan dengan suara yang wajar, tanpa teriakan. Wallahu a‘lam.