Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha memiliki waktu yang jelas berdasarkan rukyatul hilal atau hisab, dengan tanggal 1 Syawwal untuk Idul Fithri dan 10 Dzulhijjah untuk Idul Adha. Keduanya berlangsung sekali dalam setahun tanpa bisa digeser atau diubah. Hari-hari raya ini menjadi momentum bahagia bagi umat Islam, yang telah menyelesaikan ibadah puasa sebulan penuh atau menjalankan rukun haji, serta menyembelih kurban bagi yang tidak berhaji.

Dalam menyambut kedua hari bahagia ini, umat dianjurkan untuk berbelanja istimewa untuk keluarga dan mengenakan pakaian terbaik. Namun, pemahaman tentang hari raya ini berbeda bagi kalangan murid, yang merupakan lapisan terbawah dalam kelas spiritual. Kalangan murid tidak bergantung pada kalender umum untuk menentukan hari raya, melainkan melihat hari-hari tersebut sebagai kesempatan untuk “kembali” kepada Allah, seperti yang dijelaskan dalam matan Al-Hikam karya Syekh Ibnu Athaillah.

Syekh As-Syarqawi menjelaskan bahwa saat-saat terdesak dapat membawa kalangan murid lebih cepat menuju Allah. Bagi mereka, kebahagiaan terletak pada kerendahan hati dan pembatasan nafsu, berbeda dengan kalangan awam yang merayakan hari raya dengan memenuhi keinginan jasmani. Syekh Ibnu Ajibah menegaskan bahwa kebahagiaan kalangan murid terletak pada pandangan mereka yang tunggal kepada Allah, yang sering kali hanya dapat dicapai melalui kondisi terjepit.

Syekh Zarruq menambahkan bahwa kondisi terjepit adalah perhiasan dan penuntun bagi kalangan murid, di mana mereka ‘berbuka puasa’ dari mujahadah dan ‘menyembelih’ nafsu mereka. Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa kalangan murid memiliki kalender tersendiri dalam merayakan hari raya, dan kebahagiaan mereka tidak tergantung pada keramaian dan hiruk-pikuk yang biasa terjadi di kalangan awam.

Dengan demikian, hari raya bagi kalangan murid adalah momen yang penuh makna spiritual, jauh dari hingar-bingar duniawi, dan merupakan karunia agung dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang dikehendaki.