Perjalanan Isra dan Mi’raj merupakan momen bersejarah bagi umat Islam, di mana Rasulullah (SAW) menempuh perjalanan luar biasa dari Makkah hingga ke langit ketujuh. Perjalanan ini tidak mungkin dilakukan dengan kendaraan biasa, bahkan dengan alat transportasi modern sekalipun. Oleh karena itu, Rasulullah (SAW) menggunakan Buraq, kendaraan istimewa yang memiliki kecepatan luar biasa, diambil dari kata “barq” yang berarti kilat.

Buraq dikenal memiliki warna putih yang mengkilat, dan ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa hewan ini memiliki warna loreng. Dalam sejarah, Buraq juga digunakan oleh Nabi Ibrahim (AS) untuk mengunjungi istrinya, Hajar, dan putranya, Nabi Ismail (AS), di Makkah. Hal ini menunjukkan bahwa Buraq memiliki kemampuan luar biasa dalam berlari cepat.

Bentuk fisik Buraq yang dijelaskan dalam hadits menggambarkan bahwa ia lebih besar dari keledai, tetapi lebih kecil dari bighal, dengan kemampuan untuk berlari dengan langkah yang sangat jauh. Rasulullah (SAW) juga menunggangi Buraq di belakang Malaikat Jibril (AS), dan Buraq memiliki kebiasaan mengangkat kedua kaki belakangnya saat terbang dan kedua kaki depannya saat turun.

Ketika sampai di Masjidil Aqsa, Rasulullah (SAW) mengikat Buraq di tempat yang kini dikenal sebagai “Tembok Buraq”. Tempat ini menjadi pengingat akan peristiwa Isra dan Mi’raj yang nyata, dan kini dipakai oleh Kaum Yahudi sebagai “Tembok Ratapan”. Tembok ini diyakini sebagai bagian terakhir dari kuil Sulaiman.

Selain digunakan dalam perjalanan malam Isra dan Mi’raj, Buraq juga akan digunakan oleh Rasulullah (SAW) di Hari Kiamat. Dalam hadits disebutkan bahwa setiap nabi akan dibangkitkan di Hari Kiamat dengan tunggangan mereka, dan Rasulullah (SAW) akan menunggangi Buraq.

Kesimpulannya, Isra dan Mi’raj adalah peristiwa agung yang menunjukkan keistimewaan Buraq sebagai kendaraan mulia dalam Islam, mampu menempuh perjalanan jauh dalam waktu singkat.