Salah satu tema penting dalam kajian akidah yang menjadi perdebatan antara kelompok Mu’tazilah dan Ahlusunnah wal Jamaah (Sunni) adalah mengenai siapa yang berhak menentukan baik dan buruk. Kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa akal manusia memiliki peran utama dalam menentukan hukum, sedangkan Sunni meyakini bahwa hanya Allah (SWT) yang berhak menentukan hukum.
Dari perbedaan ini, Sunni berargumen bahwa sebelum diutusnya Rasul yang membawa syariat dari Allah (SWT), tidak ada hukum syariat yang berlaku, sehingga tidak ada konsep dosa dan pahala. Di sisi lain, Mu’tazilah meyakini bahwa akal dapat menemukan konsep baik dan buruk, sehingga meskipun Allah (SWT) tidak mengutus Rasul, seseorang tetap dianggap berdosa jika tidak beriman. Mereka berpendapat bahwa akal memiliki kemampuan untuk memahami hakikat ketuhanan tanpa petunjuk dari wahyu.
Mu’tazilah berargumen bahwa manusia dapat mengenali kebenaran melalui akal, contohnya, tanpa adanya Rasul, manusia dapat memahami bahwa berbohong itu buruk dan kejujuran itu baik. Dengan demikian, mereka beranggapan bahwa akal juga dapat menemukan hakikat hukum syariat. Menanggapi argumen ini, Sunni memberikan pendapat yang lebih moderat dengan membagi pemaknaan baik dan buruk.
Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Kitab Jam‘ul Jawami‘ menyatakan bahwa baik dan buruk dapat dimaknai sebagai sesuatu yang membuat hati condong atau enggan, seperti baiknya rasa manis dan buruknya rasa pahit. Hal ini juga dapat dimaknai sebagai sifat kesempurnaan atau kekurangan, seperti baiknya memiliki ilmu dan buruknya kebodohan, yang dapat ditentukan oleh akal. Namun, untuk hal-hal yang berhubungan dengan pahala atau dosa, hanya syariat yang dibawa oleh Rasul yang dapat menentukan.
Dari penjelasan tersebut, kita dapat memahami bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kecenderungan hati dapat dihukumi oleh akal, sementara hal-hal yang berkaitan dengan pahala atau dosa hanya dapat ditentukan melalui syariat. Argumen ini jelas berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang percaya bahwa akal dapat menentukan baik dan buruk dari berbagai sudut pandang yang berimplikasi pada maslahat dan mafsadah.
Namun, penting untuk diingat bahwa pengetahuan Allah (SWT) bersifat Maha Luas, sementara akal manusia memiliki batasan. Oleh karena itu, menyatakan bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah (SWT) dapat ditemukan melalui akal tanpa wahyu adalah hal yang sulit untuk dibuktikan. Semoga penjelasan ini bermanfaat dalam memahami perdebatan konsep baik dan buruk dalam akidah.