Sekte Mu’tazilah muncul pada awal abad kedua Hijriah, diajarkan oleh Washil bin Atha’, seorang murid al-Hasan al-Bashri yang memilih untuk menyimpang dari ajaran gurunya. Nama Mu’tazilah diambil dari lafadz i’tazal yang berarti menyendiri atau menyimpang, mencerminkan posisi mereka yang berbeda dari paham mayoritas umat Islam. Pada awalnya, ajaran Mu’tazilah terdiri dari empat kaidah pokok.
Kaidah pertama adalah penolakan terhadap semua sifat dzat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, seperti ilmu, qudrah, dan iradah. Mereka berpendapat bahwa ilmu Allah tidak mungkin bersifat Qadim (dahulu), karena jika demikian, akan ada dua hal yang bersifat Qadim, yaitu Allah dan ilmu-Nya, yang dianggap mustahil. Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan bahwa jika Allah memiliki ilmu, maka ilmu tersebut dapat diukur dan akan sirna, karena hanya Dzat Allah yang abadi. Pendapat ini ditentang oleh Ahlussunnah wal Jama’ah yang meyakini bahwa ilmu Allah bersifat Qadim dan tidak mungkin ada yang menyamai-Nya.
Kaidah kedua menyatakan bahwa kehendak Allah terbatas pada perkara yang baik menurut akal manusia. Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah tidak menghendaki keburukan, karena hal ini bertentangan dengan sifat-Nya yang Maha Penyayang. Mereka berargumen bahwa segala keburukan yang terjadi adalah hasil dari perbuatan manusia sendiri. Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah menyanggah bahwa baik dan buruk berasal dari Allah, dan perbuatan makhluk tidak lepas dari izin-Nya.
Kaidah ketiga menetapkan bahwa orang yang fasiq dan durhaka kepada Allah tidak termasuk golongan beriman maupun kafir. Mereka berpendapat bahwa hanya orang yang baik yang dapat disebut beriman, sedangkan orang fasik masih memiliki iman meskipun melakukan maksiat. Dalam pandangan Mu’tazilah, orang fasik yang tidak bertaubat akan dihukum di neraka, namun dengan siksa yang lebih ringan dibandingkan orang kafir. Pendapat ini diambil dari ayat Al-Qur’an, meskipun mayoritas ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah dosa kekafiran.
Kaidah keempat berfokus pada konflik di antara dua kelompok sahabat Nabi dalam perang Jamal. Mu’tazilah menganggap salah satu kelompok sebagai fasik dan tidak layak menjadi pemimpin umat Islam. Mereka menolak untuk mendukung salah satu pihak, berpegang pada prinsip bahwa dalam pertikaian pasti ada satu pihak yang benar dan satu yang salah. Ahlussunnah wal Jama’ah, di sisi lain, menghormati semua sahabat sebagai orang-orang mulia dan menolak tuduhan fasik terhadap mereka.
Pandangan Mu’tazilah tentang sahabat Nabi dan sifat-sifat Allah mendapatkan banyak kritikan, terutama dari Ahlussunnah wal Jama’ah, yang menekankan pentingnya menjaga kehormatan para sahabat dan mengakui sifat-sifat Allah sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.