Ketika kita memperhatikan segala sesuatu di alam semesta, dari yang terkecil hingga yang terbesar, kita dapat menyimpulkan bahwa setiap hal memiliki awal mula. Contohnya, kerikil yang kita temukan di halaman rumah tidak muncul begitu saja; ada proses yang menjadikannya ada dan berbentuk demikian. Terdapat dua jenis awal mula: pertama, perubahan dari satu bentuk ke bentuk lainnya, dan kedua, perubahan dari ketiadaan murni menjadi keberadaan.
Awal mula yang pertama dapat dengan mudah kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, komputer yang terbuat dari bahan mineral yang diolah menjadi perangkat elektronik. Ini adalah contoh nyata dari perubahan yang terjadi pada suatu objek. Namun, jenis awal mula kedua, yaitu sesuatu yang muncul dari ketiadaan, adalah hal yang lebih kompleks dan tidak dapat kita amati secara langsung.
Dalam konteks ini, akal manusia hanya memiliki dua opsi mengenai asal usul alam semesta. Pertama, alam semesta berasal dari bahan baku yang sudah ada sebelumnya, yang pada gilirannya juga berasal dari bahan baku yang lebih awal, dan seterusnya tanpa akhir. Ini dikenal sebagai tasalsul (infinite regress of causes), yang secara logis tidak mungkin. Setiap yang mengalami perubahan harus memiliki titik awal, dan jika kita terus melacak asal-usul, kita akan menemukan bahwa pada akhirnya harus ada titik paling awal yang merupakan ketiadaan murni.
Jika kita menganggap bahwa ketiadaan bisa menjadi ada dengan sendirinya, maka kita harus mengakui adanya oknum lain yang mengubah ketiadaan itu menjadi sesuatu yang ada. Dalam hal ini, oknum tersebut adalah Allah, yang mampu menciptakan sesuatu dari ketiadaan tanpa memerlukan bahan baku.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai keberadaan Allah itu sendiri. Apakah Allah juga didahului oleh ketiadaan? Jika kita menjawab ya, maka kita kembali pada tasalsul yang mustahil. Oleh karena itu, satu-satunya opsi yang dapat diterima adalah bahwa keberadaan Allah tidak memiliki awal mula, yang dikenal dengan sifat qidam. Seorang Muslim wajib meyakini bahwa Allah bersifat qidam, dan jika tidak, maka keimanannya dipertanyakan.
Sebaliknya, alam semesta bersifat huduts, yang berarti ia memiliki awal mula. Argumen ini sering digunakan oleh para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah untuk berdialog dengan non-Muslim yang skeptis terhadap Al-Qur’an dan hadits. Bagi Muslim yang percaya pada Al-Qur’an dan hadits, bukti sifat qidam Allah dapat ditemukan dalam ayat-ayat seperti: “Dialah Yang Maha Awal [yang tidak didahului ketiadaan] dan Maha Akhir [yang tidak diikuti ketiadaan]” (QS. al-Hadid: 3) dan “Dia tidak melahirkan sesuatu dan tidak pula dilahirkan” (QS. al-Ikhlas: 3).
Adapun bukti bahwa alam semesta bersifat huduts dapat ditemukan dalam Al-Qur’an: “Apakah mereka diciptakan tanpa berasal dari sesuatu pun [yang menciptakan mereka] ataukah mereka yang menciptakan [diri mereka sendiri]?” (QS At-Thur: 35-36). Ayat tersebut menegaskan bahwa alam semesta tidak mungkin ada dengan sendirinya atau menciptakan dirinya sendiri. Oleh karena itu, satu-satunya penjelasan yang rasional adalah bahwa alam semesta bersifat huduts dan diciptakan oleh Tuhan yang bersifat qidam.