Dalam kajian ilmu aqidah Islam, istilah “tanpa kaifiyah” atau “tanpa kaifa” sering muncul dalam pembahasan sifat-sifat Allah. Secara literal, kedua istilah ini berarti “tanpa membagaimanakan” atau “tanpa bagaimana”. Namun, banyak orang yang belum sepenuhnya memahami makna dari istilah tersebut. Beberapa orang beranggapan bahwa sifat-sifat Allah dapat dipahami secara literal seperti yang terdapat dalam kamus, tetapi dilarang untuk mempertanyakan bagaimana sifat tersebut. Pandangan ini kurang tepat karena dapat mengarah pada tasybih (penyerupaan dengan makhluk), meskipun tidak disengaja. Oleh karena itu, penting untuk membahas apa itu kaifiyah dan bagaimana seharusnya dipahami dalam konteks sifat-sifat Allah.
Pertama-tama, kita perlu memahami definisi kaifiyah. Kata kaifiyah berasal dari kata kaifa yang secara literal berarti bagaimana. Para ahli bahasa memberikan berbagai definisi mengenai kaifa. Syekh Ar-Raghib al-Asfahani (502 H), seorang pakar bahasa dan filsuf Muslim, mendefinisikan kaifa sebagai pertanyaan mengenai objek yang memiliki tingkat keserupaan atau tingkatan makna. Misalnya, kata putih yang memiliki berbagai tingkatan kadar putih, sehingga dapat ditanyakan bagaimana tingkat putihnya. Oleh karena itu, kaifa tidak dapat diterapkan pada sifat Allah, karena tidak ada yang serupa dengan-Nya untuk dijadikan perbandingan.
Syekh Abdurrauf al-Munawi (1031 H), seorang pakar hadits, mendefinisikan kaifa sebagai pertanyaan tentang kondisi sesuatu yang bisa diindera. Definisi ini menegaskan bahwa kaifa hanya digunakan untuk menanyakan objek yang dapat dirasakan oleh panca indera. Dengan demikian, sesuatu yang tidak dapat diindera, seperti Allah, tidak dapat dipertanyakan kaifiyah-nya. Manusia hanya dapat mengetahui bahwa Allah ada tanpa jism (fisik), tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana wujud-Nya yang tanpa jism tersebut.
Selanjutnya, Syekh Ibnu Qudamah al-Hanbali (620 H) mendefinisikan kaifiyah sebagai sesuatu yang layak dijadikan jawaban untuk pertanyaan bagaimana. Misalnya, jika seseorang mengartikan sifat istawa sebagai berlokasi di atas Arasy, atau sifat nuzul sebagai turun dari atas ke bawah, maka itu adalah kaifiyah. Namun, pemaknaan seperti ini terlarang karena Allah bukan objek yang dapat ditanya dengan kaifa.
Syekh Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan bahwa metode Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah untuk tidak membahas sifat-sifat tersebut dari dua sisi yang berlebihan, serta mengakui dan membaca teks-teks ayat dan hadits apa adanya, sambil menafikan kaifiyah dan penyerupaan dalam sifat-sifat Allah. Dengan pemahaman ini, kita diharapkan dapat lebih mendalami sifat-sifat Allah tanpa terjatuh dalam kesalahan yang dapat merusak aqidah.