Sejak zaman dahulu, terdapat individu-individu yang berpaham tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan tajsim (meyakini Allah adalah benda atau memiliki sifat benda) yang mengaku sebagai Muslim, namun sebenarnya tidak. Mereka hidup jauh dari pusat ilmu keislaman pada masa itu, seperti Muqatil bin Sulaiman as-Sadusiy (150 H) yang berasal dari Balkh, Khurasan. Ia berpendapat bahwa “Sesungguhnya Allah adalah benda yang mempunyai anggota-anggota badan, baik kecil maupun besar, seperti tangan, kaki, dan kedua mata.” Selain itu, Hisyam bin Al Hakam (190 H) juga berpendapat bahwa “Allah mempunyai bentuk yang bisa berdiri dan bergerak, sebagaimana makhluk.”
Kemunculan Jahm bin Shafwan menjadi penantang bagi pemahaman menyimpang dari kedua tokoh tersebut. Namun, Jahm juga melakukan kesalahan dengan menafikan sifat Allah sama sekali (ta’thil). Dalam konteks ini, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (w 150 H) muncul sebagai seorang imam yang agung. Ia mengungkapkan, “Telah datang kepada kita kaum Muslimin, dua pendapat tokoh yang sangat buruk, Jahm bin Shafwan yang berpaham ta’thil dan pendapat Muqatil yang berpaham tasybih.” Ia juga menegaskan bahwa Jahm berlebihan dalam menafikan sifat Allah, sedangkan Muqatil berlebihan dalam menetapkan sifat Allah tanpa prinsip tanzih (menyucikan Allah dari sifat dan keserupaan dengan makhluk).
Imam Abu Hanifah, yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Imam Hanafi, memiliki latar belakang dari Iran-Persi. Ia menghasilkan banyak karya yang membahas keimanan untuk menjaga Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya al-Fiqhul Akbar, al-Fiqhul Absath, al-‘Alim wal Muta’allim, al-Washiyyah, dan ar-Risalah. Prinsip Ahlussunnah adalah tawassuth (moderat), yaitu itsbat (menetapkan sifat Allah yang sempurna) dan tanzih (meyakini kemahasucian-Nya dari keserupaan dengan makhluk). Ahlussunnah berdiri di antara tasybih dan ta’thil, dengan moderat dalam aqidah yang sebenarnya.
Di zaman sekarang, penting bagi kita untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Imam Abu Hanifah dan para ulama salaf yang shalih, serta mengikuti Ahlussunnah yang sejati, yang terjamin dari kesesatan. Sebagaimana sabda Nabi, “Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.”