Di Indonesia, penggunaan susuk masih menjadi praktik yang dipilih oleh sebagian masyarakat dengan berbagai tujuan, seperti menunda kehamilan, meningkatkan kekuatan fisik, atau memperindah suara. Susuk dapat terbuat dari bahan emas atau bahan lainnya. Hukum mengenai pemakaian susuk dalam fiqih memiliki beberapa ketentuan yang perlu dipahami.
Pertama, jika seseorang meyakini bahwa efek dari susuk berasal dari dirinya sendiri, para ulama sepakat bahwa ini adalah bentuk kekufuran. Kedua, jika ia percaya bahwa efek tersebut berasal dari kekuatan yang dititipkan Allah pada benda tersebut, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang paling kuat menyatakan bahwa ini tidak sampai pada kekufuran, tetapi pelakunya dianggap fasiq. Sebagian pendapat lainnya menyatakan bahwa ini termasuk kekufuran. Ketiga, jika pengguna susuk meyakini bahwa benda tersebut bisa menyembuhkan dengan izin Allah, maka ia tergolong sebagai orang yang jahil, namun tidak sampai pada kekufuran. Terakhir, jika ia percaya bahwa benda tersebut biasanya bisa menyembuhkan berdasarkan ketentuan Allah, maka ia termasuk golongan yang selamat.
Pentingnya pemahaman aqidah dalam penggunaan susuk sangat krusial, karena keyakinan pengguna dapat berakibat pada kekufuran, kefasikan, atau hal yang diperbolehkan. Oleh karena itu, niat dan kesadaran dalam menggunakan susuk harus diperhatikan. Dalam konteks ini, pemakaian susuk tidak boleh diniatkan untuk maksiat, seperti memikat istri orang lain atau tindakan tercela lainnya. Niat yang baik dan tujuan yang jelas diperlukan agar tidak menjadi pemborosan.
Terkait dengan pemakaian susuk dari bahan emas oleh laki-laki, dalam literatur fiqih dinyatakan bahwa laki-laki dilarang menggunakan perhiasan emas. Namun, KH Thoifur Ali Wafa dalam kitabnya menyatakan bahwa penggunaan susuk dari emas atau perak diperbolehkan, karena susuk tidak dianggap sebagai perhiasan yang dikenakan, melainkan ditanam di bawah kulit dan tidak terlihat oleh orang lain.
KH Thoifur Ali Wafa, dalam kitabnya Bulghatut Thullab menyatakan bahwa susuk dari emas, perak diperbolehkan dengan argumentasi bahwa yang dilarang oleh syara’ bagi seorang laki-laki adalah memakai emas. Sedangkan susuk sifatnya bukan dipakai namun ditanam di bawah kulit sehingga tidak tampak di mata orang lain.
كما في باللغة الطلاب الجزء الخامس صحيفة 543 ما نصه غرز إبرة الذهب أو الفضة في جلد الرجل كما هو معروف في بعض البلدان للتداوي وللقوة أو لغير ذلك جائز لأنه لا يعد لبسا ولأنها مستورة وليس هذا من الوشم لاستتارها ولعدم ظهورها دم فيه. إهـ. Artinya: “Jarum emas atau perak ditanam di kulit seorang laki-laki sebagaimana yang biasa diketahui masyarakat di sebagian negara untuk berobat, supaya kuat atau dengan tujuan lain hukumnya boleh karena tidak dianggap memakai, dan benda tersebut tertutup. Hal ini juga tidak diklasifikasikan sebagai tato karena tertutup dan tidak sampai mengeluarkan darah di sana.” (KH Thoifur Ali Wafa, Bulghatut Thullab, juz 5, hlm. 543).
Oleh karena itu, selama pemakaian susuk memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, penggunaan susuk emas oleh laki-laki dapat dianggap diperbolehkan dalam syariat Islam.