Dalam wacana ilmu kalam, terdapat perdebatan mendalam mengenai apakah Allah (SWT) bersuara atau tidak ketika menyampaikan kalam atau Firman-Nya. Para teolog sepakat bahwa Allah (SWT) berbeda dari makhluk, namun penjelasan mengenai “suara” ketika dikaitkan dengan Tuhan menjadi topik yang sangat tajam, bahkan sampai pada taraf menjatuhkan vonis kafir kepada lawan pendapat. Perdebatan tentang kalamullah (suara Allah) inilah yang menjadikan ilmu teologi Islam dikenal sebagai ilmu kalam.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bary menjelaskan perbedaan pendapat sebagai berikut:
Pertama, Muktazilah. Mereka berpendapat bahwa kalam tidaklah terjadi kecuali dengan huruf dan suara, dan kalam yang dinisbatkan kepada Allah (SWT) adalah ciptaan yang terjadi di media tertentu. Misalnya, ketika Allah (SWT) berfirman kepada Nabi Musa, suara diciptakan di sebuah pohon di Bukit Tursina yang didengar oleh Nabi Musa. Dengan demikian, kalamullah dianggap sebagai makhluk.
Kedua, Ahlussunnah wal Jama’ah al-Asya’irah. Mereka menyatakan bahwa kalamullah bukanlah huruf atau suara, melainkan makna yang ada dalam diri Allah (SWT). Meskipun ungkapan terhadap makna tersebut berbeda-beda dalam berbagai bahasa, perbedaan itu tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam makna yang diungkapkan. Kalam dalam diri Allah (kalam nafsi) diungkapkan melalui berbagai bahasa, seperti bahasa Arab yang diterima oleh Nabi Muhammad (SAW) dan bahasa non-Arab yang diterima oleh nabi-nabi lainnya.
Ketiga, Ahlussunnah wal Jama’ah al-Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa Allah (SWT) berkalam dengan huruf dan suara. Mereka beralasan bahwa huruf merupakan pernyataan dalam Al-Qur’an, sedangkan suara Tuhan diyakini berbeda dengan suara manusia yang keluar dari kerongkongan. Hanabilah meyakini bahwa suara yang disebutkan dalam hadits-hadits adalah suara yang berbeda dengan suara manusia.
Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah al-Asya’irah dianggap paling tepat. Hal ini disebabkan hadits-hadits yang menyebutkan “suara Tuhan” banyak yang bermasalah dalam sanad atau matannya. Hanya satu hadits yang dianggap layak diperhitungkan, namun masih diperselisihkan.
Perlu dicatat bahwa suara adalah makhluk, dan jika Allah (SWT) dikatakan bersuara, maka itu berarti ada getaran yang dihasilkan oleh getaran yang bisa diukur. Ini menunjukkan kontradiksi dalam mazhab Hanabilah yang menetapkan suara bagi Tuhan, padahal seluruh suara adalah makhluk. Sebaliknya, mazhab Asy’airah konsisten dalam pendapat bahwa Allah (SWT) tidak bersuara karena kalamullah bukanlah makhluk.
Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar menyatakan bahwa Allah (SWT) berbicara tanpa alat dan huruf, menunjukkan bahwa kalamullah bukanlah makhluk. Pendapat ini sejalan dengan pandangan ulama lainnya yang menyatakan bahwa Allah (SWT) tidak bersuara.