Di Indonesia, sering kali kita menyaksikan penolakan dari sebagian umat Muslim terhadap lagu kebangsaan, Indonesia Raya, atau sikap berdiri saat lagu tersebut dinyanyikan. Penolakan ini juga terjadi pada penghormatan terhadap bendera merah putih sebagai simbol negara. Beberapa individu mungkin tidak menolak simbol negara, namun membedakan umat Islam berdasarkan preferensi politik. Fenomena ini umumnya muncul dari kesalahpahaman terhadap konsep al-wala wal bara. Al-wala berarti loyalitas, sementara al-bara berarti berlepas diri atau pengingkaran. Dalam Islam, umat Muslim diharapkan untuk saling bersikap loyal, sementara al-bara mengajarkan untuk mengingkari kekufuran, kesesatan, dan kezaliman.
Sebagian kelompok Muslim memahami al-wala sebagai larangan untuk bersikap loyal kepada non-Muslim, dan al-bara sebagai perintah untuk membenci orang kafir dan Muslim yang berhubungan baik dengan non-Muslim. Banyak dalil yang merujuk pada al-wala wal bara sebagai bagian dari ajaran Islam, namun sering kali pemahaman ini menjadi ekstrem dalam konteks sosial dan politik. Beberapa ayat Al-Qur’an yang sering dijadikan rujukan adalah Surat Al-Ma’idah ayat 51, Al-Mujadalah ayat 22, dan Al-Mumtahanah ayat 4.
Surat Al-Ma’idah ayat 51 mengingatkan agar orang-orang beriman tidak menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Ayat Al-Mujadalah menyatakan bahwa orang yang beriman tidak akan saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Sementara itu, Surat Al-Mumtahanah menegaskan perlunya berlepas diri dari kekufuran. Namun, pemahaman al-wala wal bara oleh sebagian orang seringkali dihadapkan pada negara, nasionalisme, dan simbol-simbol negara, yang dianggap sebagai berhala.
Muhammad bin Sa’id Al-Qahthani dalam tesisnya berargumen bahwa nasionalisme membatasi al-wala dan dapat melemahkan umat Islam. Ia menyimpulkan bahwa nasionalisme adalah bentuk kemusyrikan, karena menuntut loyalitas kepada bangsa dan negara di atas segalanya. Ia juga mengkritik paham humanisme yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip al-wala wal bara. Pandangan eksklusif ini sering kali diambil dari dalil-dalil Al-Qur’an yang bersifat khusus, tanpa mempertimbangkan konteks sosial-politik yang lebih luas.
Kesalahpahaman ini berkontribusi pada eksklusivitas umat Islam dan menciptakan keresahan dalam masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, praktik intoleransi dan politik identitas semakin menguat, ditandai dengan aksi-aksi yang mengatasnamakan agama. Meskipun dalam praktik keseharian mereka mungkin mengikuti mazhab tertentu, secara aqidah mereka cenderung mengikuti penafsiran eksklusif yang mengarah pada intoleransi.
Penting untuk diingat bahwa al-wala wal bara seharusnya diterapkan dalam konteks yang tepat, termasuk dalam situasi jihad, dan bukan dalam konteks penolakan simbol negara yang berlebihan. Pengamalan al-wala wal bara dalam situasi normal, seperti kontestasi elektoral, tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Penolakan terhadap simbol negara tanpa dasar yang kuat hanya akan memperburuk situasi sosial dan politik yang kompleks di Indonesia.