Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya dalam pemikiran Asy’ariyah dan Maturidiyah, istilah jism sering kali muncul, namun tidak semua orang memahami maksudnya dan mengapa Allah (SWT) tidak bisa dianggap sebagai jism. Beberapa orang beranggapan bahwa istilah ini tidak dikenal di kalangan ulama salaf, sehingga tidak layak untuk dibahas.
Pembahasan mengenai jism ini penting untuk dipahami dalam konteks aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Imam Ahmad (rahimahullah) mendefinisikan jism sebagai sesuatu yang memiliki panjang, lebar, dan tinggi (bervolume) serta terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil. Ia menjelaskan bahwa istilah jism ditetapkan oleh ahli bahasa untuk sesuatu yang memiliki dimensi fisik dan struktur, sedangkan Allah (SWT) berada di luar kategori tersebut. Oleh karena itu, tidak tepat untuk menyebut Allah sebagai jism, karena Allah tidak memiliki sifat jismiyah, dan istilah tersebut tidak terdapat dalam syariat.
Dengan definisi tersebut, seluruh alam semesta, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, baik yang sangat kecil maupun yang sangat besar, semuanya dapat dianggap sebagai jism. Manusia, misalnya, adalah jism karena memiliki volume dan tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil, seperti organ dan sel. Benda-benda langit yang berukuran besar juga termasuk dalam kategori jism. Bahkan, hal-hal yang tidak kasat mata, seperti udara, juga merupakan jism karena tersusun dari berbagai gas.
Ilmu pengetahuan modern menunjukkan bahwa semua yang ada di alam semesta adalah medan gelombang yang terdiri dari partikel-partikel subatomik. Ruang kosong pun dapat dianggap sebagai medan gelombang yang menjadi dasar dari segala sesuatu di alam semesta. Oleh karena itu, semua yang ada di jagat raya ini adalah jism, kecuali unsur dasar yang menyusun jism itu sendiri dan sifat-sifat yang melekat padanya.
Allah (SWT) menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya, seperti dalam ayat: “Tak ada satu pun yang serupa dengan Allah sedikit pun” (QS. asy-Syura: 11) dan “Apakah kamu tahu ada yang sama dengan-Nya?” (QS. Maryam: 65). Selain itu, Allah juga menekankan bahwa tidak ada yang setara dengan-Nya: “Dan tidak ada satu pun yang setara dengan Dia” (QS. al-Ikhlas: 4).
Oleh karena itu, para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat bahwa Allah (SWT) bukanlah jism, karena semua jism adalah serupa dan tidak ada yang layak disembah selain Allah. Sebagai contoh, Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan, serta benda-benda seperti api dan matahari yang dipertuhankan oleh orang-orang di masa lalu, semuanya adalah jism yang tidak memiliki keistimewaan untuk disembah.
Pembahasan mengenai pernyataan para imam dan alasan mereka dalam memustahilkan sifat jismiyah dari Allah akan dilanjutkan di bagian berikutnya.