- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Hati-hati, Cacat Iman Tanpa Sadar

Google Search Widget

Sejarah mencatat berbagai cara yang dilakukan manusia untuk mengekspresikan keimanan mereka. Ada yang menyembah Allah semata, tetapi ada pula yang menyembah berhala, meyakini Allah sebagai salah satu dari tiga oknum dalam Trinitas, atau percaya bahwa segala sesuatu tergantung sepenuhnya pada usaha mereka sendiri. Semua pihak ini saling mengklaim bahwa keyakinan mereka dapat menjadikan mereka selamat di akhirat. Allah menurunkan firmannya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada Allah sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS. An-Nisa’: 125).

Imam ar-Razi dalam tafsirnya, Mafâtîh al-Ghaib, menjelaskan bahwa kesempurnaan iman kepada Allah yang dituntut dalam penyerahan diri hanya dapat dicapai dengan melepaskan semua ketergantungan pada selain Allah. Ia menegaskan bahwa kesempurnaan iman tidak akan tercapai kecuali dengan menyerahkan segala hal kepada yang Maha-Pencipta dan menampakkan ketiadaan daya dan kekuatan.

Ia juga memperingatkan tentang kesalahan orang yang meminta pertolongan kepada selain Allah. Kaum musyrikin meminta pertolongan kepada berhala, sedangkan orang-orang ateis dan saintis meminta bantuan kepada hukum alam. Dalam hal ini, tidak ada satu pun dari berbagai pihak yang disebutkan yang murni beriman kepada Allah. Mereka masih meyakini adanya kekuatan di luar Allah yang dapat mempengaruhi realitas.

Dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), diyakini bahwa tidak ada yang dapat memberi pengaruh apa pun kecuali kehendak Allah semata. Api tidak dapat membakar tanpa izin Allah, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim (AS). Semua hal di dunia ini juga tidak dapat melakukan sesuatu atau memberi pengaruh tanpa kehendak Allah.

Imam ar-Razi juga menjelaskan bahwa kesalahan serupa berlaku pada Muktazilah yang meyakini bahwa perbuatan manusia adalah patokan pahala dan siksa di akhirat. Mereka tidak sepenuhnya memasrahkan diri kepada Allah, melainkan mengandalkan diri mereka sendiri untuk mendapatkan pahala atau menghindari siksa.

Sebaliknya, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang menyerahkan semua urusan kepada Allah dan meyakini bahwa tidak ada pencipta atau yang bisa memberi pengaruh selain Allah. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar memasrahkan diri kepada Allah dan bergantung sepenuhnya pada kemurahan-Nya.

Penting untuk dicatat bahwa kepasrahan kepada Allah yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah kepasrahan total, bukan sekadar pasrah tanpa pengertian yang jelas. Dalam perspektif Islam, keimanan harus memenuhi enam rukun iman yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadits, yaitu iman kepada Allah, para Malaikat, kitab-kitab Allah, para Rasul, hari kiamat, dan takdir baik maupun buruk. Tidak relevan menyebut suatu golongan sebagai “orang beriman” dari perspektif Islam jika mereka belum memenuhi salah satu rukun iman atau belum pasrah secara total kepada Allah semata.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 14

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?