- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Ilmu Tauhid dan Bid’ah dalam Menetapkan Arah bagi Allah

Google Search Widget

Dalam diskusi mengenai bid’ah, nama Imam asy-Syatibi sering kali muncul sebagai rujukan utama. Beliau adalah seorang ulama terkemuka dalam bidang ushul fiqh yang bermazhab Malikiyah. Banyak kalangan Salafi modern menganggap teori bid’ah yang dikemukakan oleh Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, al-I’tishâm, sebagai konsep yang paling komprehensif dan tidak dapat ditawar. Berbeda dengan mayoritas ulama dari empat mazhab yang membagi bid’ah menjadi dua kategori (bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah) atau lima hukum (haram, makruh, mubah, sunnah, dan wajib), Imam asy-Syatibi menegaskan bahwa bid’ah hanya ada satu jenis, yaitu haram.

Dalam kitab al-I’tishâm, Imam asy-Syatibi menjelaskan bahwa bid’ah memiliki dua tingkat, yaitu yang dapat mengarah pada kekafiran dan yang tidak. Ia menyatakan bahwa ada bid’ah yang merupakan kekafiran, seperti penyembahan berhala, dan ada yang tidak sampai pada level tersebut, seperti keyakinan bahwa Allah memiliki arah tertentu.

Imam asy-Syatibi menegaskan bahwa menetapkan arah bagi Allah, seperti meyakini bahwa Allah berada di atas, adalah sebuah keyakinan bid’ah. Meskipun demikian, keyakinan ini tidak sampai pada tingkat kekafiran, tetapi dianggap sesat dan berdosa. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana menjelaskan ayat atau hadits yang tampak menunjukkan bahwa Allah berada di atas, seperti di langit atau di atas Arasy?

Imam asy-Syatibi, dalam kitab lain, menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut harus dipahami dalam konteks kebiasaan masyarakat pada saat itu, yang banyak terlibat dalam penyembahan berhala. Ayat-ayat itu bertujuan untuk menegaskan ketinggian Allah dan menolak penyembahan berhala yang ada di bumi, bukan untuk menetapkan arah bagi keberadaan Dzat Allah.

Dalam pandangannya, semua ayat atau hadits yang seolah menunjukkan bahwa Allah berada di atas harus dibaca dengan pemahaman bahwa Allah tidak terikat oleh arah atau tempat. Allah adalah Dzat yang ada sebelum penciptaan tempat dan arah. Pemahaman ini merupakan prinsip yang dipegang oleh Ahlussunnah wal Jama’ah sejak zaman salaf hingga kini. Oleh karena itu, tidak seharusnya ada anggapan bahwa Allah berada di atas atau bertempat di lokasi tertentu. Pemikiran semacam itu adalah bid’ah yang muncul belakangan, terutama dari kelompok Mujassimah dan Hasyawiyah.

Kemahatinggian Allah tidak berarti bahwa Dzat-Nya terletak di tempat yang tinggi, melainkan merujuk pada sifat ‘uluw yang telah dibahas sebelumnya. Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 15

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?