- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Bolehkah Allah Disebut Berakal?

Google Search Widget

Allah (SWT) adalah sosok yang sangat luar biasa, dengan beragam sifat yang sempurna. Dalam bahasa Indonesia, sifat-sifat-Nya sering dilambangkan dengan awalan “Maha”, yang menunjukkan kesempurnaan dan kesucian-Nya dari segala kekurangan. Keagungan Allah dapat dilihat dari hukum-hukum alam yang menakjubkan dan ciptaan-Nya yang kompleks, yang mengarah pada pemahaman tentang intelligent design atau penciptaan cerdas. Ini menunjukkan bahwa di balik desain rumit alam semesta, pasti ada sosok cerdas yang menciptakannya.

Namun, dalam perspektif teologi Islam Ahlussunnah wal Jamaah, muncul pertanyaan: bolehkah Allah disifati sebagai cerdas atau berakal? Imam Syihabuddin ar-Ramli menjelaskan bahwa tidak boleh menyifati Allah dengan akal, karena akal adalah ilmu yang mencegah dari tindakan yang tidak layak. Istilah akal sendiri diambil dari kata ‘iqâl, yang berarti ikatan, dan makna ini hanya dapat diterapkan pada sosok yang mampu melakukan hal yang tidak layak.

Imam Jalaluddin as-Suyuthi juga menegaskan bahwa Allah disifati dengan sifat Ilmu (Maha-Mengetahui) dan tidak disifati dengan sifat akal. Sifat yang layak disematkan pada Allah adalah lebih utama daripada sifat yang tidak layak. Meskipun sifat Ilmu Allah adalah qadîm (tak berawal), sedangkan sifat manusia adalah hadîts (berawal), Allah tidak dapat disifati dengan akal sama sekali.

Kesimpulannya, meskipun ada kesan bahwa sifat berakal atau cerdas dapat disematkan pada Allah, para ulama melarang penggunaan sifat ini untuk Allah. Hal ini karena kata cerdas atau berakal digunakan khusus bagi mereka yang menghindar dari tindakan yang tidak layak, sedangkan Allah tidak mungkin melakukan tindakan yang tidak layak bagi sifat ketuhanan-Nya. Oleh karena itu, kata ini tidak relevan bagi-Nya. Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 15

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?