Peristiwa Mi’raj, yaitu naiknya Nabi Muhammad (SAW) ke langit untuk menerima wahyu shalat, sering disalahpahami sebagai bukti bahwa Dzat Allah berada di atas atau di suatu lokasi tertentu. Dalam banyak kitab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelajari di pesantren, dijelaskan bahwa Mi’raj tidak menunjukkan bahwa Allah bertempat di atas. Kesalahpahaman ini muncul seiring dengan maraknya konten keislaman yang tidak memahami khazanah pesantren.
Mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad (SAW) ke sidratul muntaha, di mana beliau menerima perintah shalat. Dalam penelusuran, tidak ada penyebutan Arasy dalam ayat atau hadits tentang Mi’raj. Kejadian ini mirip dengan saat Nabi Musa (AS) menerima perintah langsung dari Allah di puncak gunung Tursina. Semua kisah ini berbicara tentang tempat di mana hamba Allah menerima wahyu, bukan tentang lokasi Allah.
Dalam riwayat yang sahih, yang naik turun adalah Nabi Muhammad (SAW), yang bolak-balik dari tempatnya di atas sidratul muntaha ke tempat Nabi Musa (AS) dan kembali lagi. Tempat yang dibicarakan adalah tempat Nabi sendiri, bukan tempat Allah. Allah dapat memberikan wahyu-Nya di mana saja, seperti yang terjadi pada Malaikat Jibril (AS) yang menerima wahyu di berbagai lokasi.
Kesalahpahaman muncul ketika orang mengira bahwa berbicara dengan Allah mengharuskan Allah berada di suatu tempat, sama seperti manusia. Namun, banyak riwayat menunjukkan bahwa Malaikat Jibril (AS) juga menerima wahyu di mana saja. Pertemuan Nabi Musa (AS) dengan Allah di gunung Tursina juga tidak berarti bahwa Allah berpindah tempat. Kita sering pergi ke masjid untuk berdoa kepada Allah, tetapi itu tidak berarti Allah berada di dalam masjid atau Ka’bah.
Istilah “mendekatkan diri kepada Allah” tidak berarti secara fisik. Oleh karena itu, menyimpulkan bahwa peristiwa Mi’raj menunjukkan kedekatan fisik dengan Allah adalah tidak berdasar. Para ulama Ahlussunnah sepakat bahwa Mi’raj adalah tentang memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah dan bukan tentang membawa Nabi ke “tempat Allah.”
Dalam hadits tentang tawar-menawar jumlah shalat, kalimat “Wahuwa makânahu” menunjukkan bahwa Nabi Muhammad (SAW) berada di tempatnya, bukan Allah. Para ulama menjelaskan bahwa tempat itu adalah tempat Nabi sebelum turun, bukan tempat bagi Allah. Hikmah dari Mi’raj adalah menunjukkan keagungan shalat yang perintahnya diberikan di langit.
Mereka yang menganggap Mi’raj sebagai bukti keberadaan Allah secara fisik mengalami kontradiksi. Misalnya, jika Allah ada di Arasy, apakah itu berarti ketinggian Allah dapat dicapai oleh makhluk? Jika Allah terpisah dari makhluk, mengapa dalam kasus Mi’raj dikatakan bahwa Allah berada di satu tempat dengan Nabi? Semua inkonsistensi ini terpecahkan dengan pemahaman bahwa Allah tidak bertempat, tidak terbatas ruang, dan kemahatinggiannya tidak dapat dipahami secara fisik.
Kesimpulannya, peristiwa Mi’raj seharusnya dipahami sebagai tanda kebesaran Allah dan bukan sebagai bukti lokasi fisik Allah. Pemahaman yang benar akan menghindarkan kita dari kesalahpahaman yang berpotensi merusak akidah.