Pertanyaan mengenai mengapa mayoritas Muslim yang bermazhab Syafi’i di Indonesia memiliki aqidah Asy’ari sering kali muncul. Banyak yang beranggapan bahwa aqidah Asy’ari berbeda dengan ajaran Imam Syafi’i, padahal sebenarnya tidak demikian. Sering kali, pemahaman yang keliru tentang manhaj aqidah Asy’ari menjadi penyebab pertanyaan ini.
Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan prinsip antara aqidah Imam Syafi’i dan Imam Asy’ari. Kitab-kitab Asy’ari dan karya-karya Imam Syafi’i mengajarkan aqidah yang serupa, kecuali dalam beberapa aspek cabang (furû’). Ulama Syafi’iyah mengutip dari Imam Syafi’i bahwa Allah bukanlah jism, tidak boleh disifati duduk, dan sifat Allah harus dipahami dengan makna yang layak bagi-Nya. Ini selaras dengan ajaran Imam Asy’ari dan seluruh penganut Asy’ariyah.
Perbedaan yang ada lebih terletak pada pendekatan takwil. Imam Syafi’i dan banyak ulama pada masanya cenderung kepada tafwîdh (menyerahkan makna spesifik kepada Allah) dan biasanya menolak untuk mentakwil sebagian besar sifat. Sementara itu, dalam aqidah Asy’ariyah, baik tafwîdh maupun takwil dipandang sebagai pilihan yang sah. Keduanya memiliki dasar dari pernyataan para sahabat Nabi dan para ulama setelahnya.
Fokus karya Imam Syafi’i terletak pada bidang fiqih, dan ia tidak memiliki kitab khusus yang membahas aqidah secara komprehensif. Oleh karena itu, tidak ada yang disebut sebagai mazhab aqidah Imam Syafi’i. Jika ada yang mempertanyakan mengapa tidak mengikuti aqidah Imam Syafi’i, maka pertanyaannya adalah kitab mana yang harus dijadikan pedoman utama.
Ada kitab aqidah berjudul al-Fiqhul Akbar yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i, namun isinya sepenuhnya mencerminkan aqidah Asy’ariyah. Namun, karena penganut Asy’ariyah dan Syafi’iyah bersikap cermat dan jujur dalam kajian ilmiah, kitab ini tidak diakui sebagai karya Imam Syafi’i dan hanya digunakan sebagai rujukan oleh segelintir orang.
Di sisi lain, Imam Asy’ari memiliki fokus yang kuat dalam bidang aqidah dan menulis banyak karya yang mengomentari berbagai sekte aqidah yang ada pada masanya. Dari situ, istilah mazhab aqidah Asy’ariyah muncul sebagai pembelaan terhadap aqidah para ulama salaf yang dikritik oleh sekte-sekte yang muncul belakangan.
Mengacu pada ulama yang berbeda dalam spesifikasi ilmu yang berbeda tidak berarti seseorang tidak konsisten. Sebaliknya, hal ini menunjukkan keahlian dalam memilih para ahli di bidangnya masing-masing. Bermazhab tidaklah kaku; para pengikut mazhab fiqih bebas merujuk kepada tokoh mana pun yang dianggap memiliki argumentasi paling kuat di spesialisasi ilmunya. Hal ini membuktikan bahwa bermazhab adalah suatu pendekatan yang fleksibel dan terbuka. Wallahu a’lam.