- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Index

Al-Hikam 1-100

Beserta Syarah oleh Syaikh Abdullah asy-Syarqawi, Syaikh Fadhala Hairi dan Ustadz Salim Bahreisy

Author

Sayyidi Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari qs.

Reading Time

114 Minutes

Share

Facebook
WhatsApp

Index

01. Sikap Orang ‘Arif Ketika Khilaf

Hikmah 1 dalam Al-Hikam:

“Sikap Orang ‘Arif Ketika Khilaf”

من علامة الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود ازلل.

“Di antara tanda sikap mengandalkan amal ialah berkurangnya harap kepada Allah tatkala khilaf.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Amal yg dimaksud di sini ialah amal ibadah, seperti shalat dan dzikir. Ada dua kelompok orang yg mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah mereka (bukan pada Allah Ta’ala secara murni). Mereka itu adalah para ‘abid (orang yg tekun beribadah) dan para murid (orang yg menghendaki kedekatan dengan Allah Ta’ala). Golongan pertama menganggap amal ibadah sebagai satu²nya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah Ta’ala. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu²nya cara yg bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah Ta’ala, menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya.

Kedua golongan ini sama² tercela, karena tindakan dan keinginan mereka itu terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yg mereka inginkan.

Berbeda halnya dengan orang² yg mengenal Tuhan dengan baik (‘arif). Mereka tidak bergantung sedikit pun pada amal ibadah yg mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah Ta’ala semata, sedangkan mereka hanyalah objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah Ta’ala.

Dalam hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah menyebut salah satu tanda orang² yg menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yg mereka lakukan, bukan pada Allah Ta’ala secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, di saat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah Ta’ala Yang Maha Rahmat yg akan memasukkannya ke surga, menyelamatkannya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap termasuk golongan ‘abid atau murid. Namun, apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan ‘arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yg termasuk golongan ‘arif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah Ta’ala atas dirinya.

Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah (merasa melihat Tuhan), golongan ‘arif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yg melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf, karena ia telah tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah mengurangi rasa takutnya kepada Allah Ta’ala, dan ketaatan pun tidak menambah rasa harapnya kepada-Nya.

Maka dari itu, siapa yg tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqam (kedudukan) ‘arif dengan banyak melakukan olah batin (riyadhah) dan wirid.

Melalui hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah ingin mendorong para salik (peniti jalan menuju Allah Ta’ala) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah Ta’ala; termasuk bergantung pada amal ibadah. (Ulasan Syaikh Abdullah asy-Syarqawi). Wallaahu a’lam

02. Sikap Orang ‘Arif Ketika Di Anugerahi Ahwal Tajrid dan Ahwal Isytighal

Hikmah 2 dalam Al-Hikam:

“Sikap Orang ‘Arif Ketika Di Anugerahi Ahwal Tajrid dan Ahwal Isytighal”

إرادتك التجريد مع إقامة الله إياك في الأسباب من الشهوة الخفية، وإرادتك الأسباب مع إقامة الله إياك في التجريد انحطاط عن الهمة العالية.

“Keinginanmu untuk lepas dari kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah menempatkanmu di sana, termasuk syahwat yg tersamar. Dan keinginanmu untuk masuk ke dalam kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah melepaskanmu dari itu, sama saja dengan mundur dari tekad luhur.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tajrid adalah sebuah kondisi di mana seseorang tidak memiliki kesibukan duniawi. Sebaliknya, isytighal adalah sebuah kondisi di mana seseorang memiliki kesibukan duniawi. Dan yg dimaksud dengan kesibukan duniawi adalah kesibukan² yg tujuan akhirnya bersifat keduniaan, seperti bekerja atau berdagang. Keinginanmu untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah dalam menjalaninya, padahal Allah Ta’ala telah menyediakan semua sarana itu untuk kau jalani, bahkan saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan keadaan batinmu juga tidak terganggu maka keinginan semacam itu termasuk syahwat yg tersamar.

Dianggap “syahwat” karena kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih kehendakmu sendiri. Disebut “tersamar” karena sekalipun pada lahirnya keinginanmu ialah menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, namun keinginan batinmu yg sebenarnya ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu supaya orang² mendatangimu dan menjadikanmu panutan. Untuk itulah, kau pun rela meninggalkan apa yg telah menjadi kebiasaanmu, yaitu mencari penghidupan duniawi.

Orang² ‘arif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murid yg belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun pembunuh bagi diri murid itu. Karena bisa jadi, murid itu akan terdorong untuk menjauhi kewajiban² ibadah dan dzikirnya karena ia lebih suka mengharap apa yg akan diberikan oleh manusia.

Sebaliknya, keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras mencari penghidupan duniawi, padahal Allah Ta’ala telah menyediakannya untukmu dengan mudah tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan dipenuhinya semua sandang dan panganmu, dan kau pun tetap merasa tenang dan damai meski kekurangan, bahkan kau tetap bisa terus beribadah dengan tekun, maka sikap seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur. Karena, kau sekarang cenderung bergantung kepada makhluk, padahal sebelumnya kau bergantung kepada Sang Khaliq.

Sebenarnya, berbaur dengan orang² yg sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup membuat tekad luhurmu ternodai. Oleh karena itu, yg wajib bagi para salik (peniti jalan menuju Allah Ta’ala) ialah tetap diam di tempat yg telah ditetapkan dan diridhai oleh Allah Ta’ala untuknya, sampai Allah Ta’ala sendiri yg akan mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak keluar sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karena bisikan setan sehingga ia akan tercebur ke lautan keterasingan dan jauh dari Allah Ta’ala, na’udzubillaah. Wallaahu a’lam

03. Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (1)

Hikmah 3 dalam Al-Hikam:

“Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah”

سوابق الهمم لاتخرق أسوار الأقدار.

“Tekad yg kuat takkan mampu menembus dinding takdir.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tekad adalah kekuatan jiwa yg bisa mempengaruhi segala sesuatu. Orang² sufi menyebutnya dengan himmah. Tekad ini takkan berpengaruh apa², kecuali dengan takdir dan ketentuan Allah Ta’ala.

Hikmah di atas menguatkan hikmah sebelum dan sesudahnya. Seakan Syaikh Ibnu Atha’illah ingin menyatakan bahwa keinginanmu tidak akan ada gunanya bila berbeda dengan keinginan Tuhanmu. Jika tekad yg kuat saja tidak akan membuahkan hasil apa², kecuali dengan takdir dan izin Allah Ta’ala, apalagi tekad yg lemah, seperti halnya tekadmu, wahai murid. Hikmah ini ditujukan untuk mendinginkan api ketamakan yg menyala-nyala di dalam hatimu yg selalu yakin bahwa segala sesuatu itu bergantung pada usahamu sendiri dan pasti berhasil. Wallaahu a’lam

04. Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (2)

Hikmah 4 dalam Al-Hikam:

ارح نفسك من التدبير، فما قام به غيرك عنك لا تقم به لنفسك.

“Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yg telah diatur Allah tak perlu kau sibuk ikut campur.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Seseorang kerap merencanakan berbagai hal bagi dirinya sesuai dengan keinginan nafsunya. Kemudian, untuk menggapai rencana yg telah ditetapkannya itu, ia melakukan berbagai pekerjaan yg menyibukkan dirinya. Tentu saja, hal ini akan membuatnya lelah. Bahkan mungkin pula kecewa, terutama bila sebagian besar perkara yg telah direncanakannya itu tidak berhasil diwujudkan.

Dengan menggunakan lafadz “istirahat”, Syaikh Ibnu Atha’illah ingin menjelaskan kepada para murid bahwa mereka dituntut untuk meninggalkan segala perkara yg menyebabkan keletihan dan penderitaan. Kecuali, jika perencanaan atau pengaturan tersebut ditujukan untuk sekadar memenuhi tuntutan hidup dan tak sampai memberatkan. Tentu saja, hal ini tidak akan merugikan diri. Bahkan, pepatah mengatakan, “Perencanaan adalah setengah dari kehidupan.”

Urusan² yg telah diatur Allah Ta’ala hendaknya dijauhi oleh seorang murid. Ia tak perlu lagi sibuk mengurusi apa yg telah ditangani Allah Ta’ala karena tindakan semacam itu termasuk sikap “sok tahu” yg tak layak dilakukan oleh orang yg berakal. Lagi pula, tindakan itu bertentangan dengan prinsip rububiyah (kepengaturan) dan takdir Allah Ta’ala, selain juga bisa melalaikan ibadah.

Hikmah di atas ditujukan sebagai peringatan bagi para murid karena biasanya apabila seorang murid sedang menghadap Tuhannya dan sibuk dengan dzikir² dan ibadah²nya, seluruh sebab penghidupan duniawi akan terputus darinya. Saat itulah, setan datang dan mulai membisikinya, mengiming-iminginya dengan berbagai hal yg sebagian besarnya tidak akan pernah terwujud. Bisikan setan itu kemudian akan membuat si murid lalai, bahkan meninggalkan kebiasaan dzikir dan ibadah. Tips untuk menghindari hal itu ialah banyak berdzikir dan riyadhah (olah jiwa). Dengan dzikir dan riyadhah, seorang murid akan dijauhi setan dan terhindar dari kesibukan menyusun rencana ini dan itu yg membuatnya letih. Wallaahu a’lam

05. Orang ‘Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah (3)

Hikmah 5 dalam Al-Hikam:

اجتهادك فيما ضمن لك، وتقصيرك فيما طلب منك دليل على انطماس البصيرة منك.

“Kegigihanmu dalam mencari apa yg telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam melaksanakan apa yg diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Maksud dari “apa yg telah dijamin” ialah rezeki dan karunia Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَكَاَيِّنْ مِّنْ دَاۤبَّةٍ لَّا تَحْمِلُ رِزْقَهَاۖ اللّٰهُ يَرْزُقُهَا وَاِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

“Dan berapa banyak binatang yg tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yg memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 60)

Sementara itu, maksud dari “kekuranganmu dalam melaksanakan apa yg diminta darimu” ialah kekurangan dalam melaksanakan amalan² yg bisa membimbingmu menempuh jalan menuju Tuhanmu, seperti dzikir, shalat, dan wirid.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat [51]: 56)

Yg dituntut dari seorang murid ialah terus berusaha memberi makan ruh dengan dzikir² kepada Allah Ta’ala dan melakukan amalan² yg mendekatkan diri kepada-Nya; bukan memberi makan yg lainnya karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya.

Buta mata hati maknanya, hati tidak lagi bisa melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana mata dapat melihat perkara² indrawi.

Dalam hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah menggunakan lafadz “kegigihan” untuk menyatakan bahwa mencari rezeki yg dilakukan sekadarnya dan tanpa kegigihan tidak dilarang bagi seorang murid karena tidak menyebabkan buta mata hatinya. Wallaahu a’lam

06. Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu Untuk Meminta (1)

Hikmah 6 dalam Al-Hikam:

“Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu Untuk Meminta”

لايكن تأخر أمد العطاء مع الإلحاح في الدعاء موجبا ليأسك؛ فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فيما تختار لنفسك و في الوقت الذي يريد، لا في الوقت الذي تريد.

“Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu, setelah kau mengulang-ulang doamu, membuatmu putus asa. Karena Dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu; pada waktu yg di inginkan-Nya, bukan pada waktu yg kau inginkan.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala menegaskan bahwa Dia akan mengabulkan semua doa. Dia berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ

“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang² yg sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Gafir [40]: 60)

Doa yg pengabulannya ditunda, mungkin, lebih baik bagi seorang murid daripada doa yg pengabulannya disegerakan. Karena bisa jadi, penundaan doa itu ditujukan agar ia semakin bersungguh-sungguh dalam beribadah dan semakin merasa takut kepada Allah Ta’ala. Dalam situasi ini, biasanya setan akan datang dan membisikinya, “Jika benar tekadmu kuat, Tuhanmu pasti sudah mengabulkan doamu, menghilangkan sifat² kemanusiaanmu yg buruk, dan mewujudkan segala keinginanmu.” Sehingga sang murid pun tidak sadar bahwa ditundanya pengabulan doa itu adalah lebih baik baginya.

Bisa jadi pula, ditundanya pengabulan doa tersebut, disebabkan oleh sifat buruk sang murid yg terlalu banyak dan tidak bisa dihilangkan kecuali dalam waktu yg lama, sehingga mujahadah dan riyadhah yg dilakukannya masih belum berpengaruh pada pengabulan doa²nya.

Orang² ‘arif mengumpamakan alam ini dengan tanah yg dipenuhi tumbuhan berduri. Kadang durinya besar² dan banyak sehingga sulit dilalui dan bisa melukai. Kadang durinya kecil², sedikit, dan mudah dihilangkan. Demikian pula sifat² jiwa, ada yg sangat buruk dan berjumlah banyak sehingga untuk menghilangkannya membutuhkan waktu yg lama dan perjuangan yg panjang. Terkadang sifat² itu tidak terlalu buruk dan hanya sedikit sehingga tidak perlu waktu lama dan perjuangan panjang untuk membersihkannya. Ketika tujuan utama seorang murid adalah menghilangkan sifat buruk jiwa, meski itu memakan waktu yg lama dan berakhir di ujung usia, semua penderitaan dan perjuangannya selama masa itu tidaklah seberapa dibandingkan dengan tujuan utama itu. Wallaahu a’lam

07. Ditundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu Untuk Meminta (2)

Hikmah 7 dalam Al-Hikam:

لايشككنك في الوعد عدم وقوع الموعود وإن تعين زمنه لئلا يكون ذلك قدحا في بصيرتك، وإخمادا لنور سريرتك.

“Janji yg tak dipenuhi Tuhanmu pada waktunya jangan sampai membuatmu ragu. Agar keraguan itu tidak menjadi perusak pandanganmu dan pemadam cahaya qalbumu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika Allah Ta’ala menjanjikanmu melalui mimpi, ilham, atau melalui perantaraan malaikat-Nya bahwa pada masa tertentu kelak kau akan mendapatkan kemenangan atau kesejahteraan, lalu janji itu tak terwujud pada waktunya, hal itu jangan sampai membuatmu ragu akan kebenaran janji-Nya. Bisa jadi pemenuhan janji itu bergantung pada beberapa sebab dan syarat, dan hanya Allah Ta’ala yg tahu hikmah di balik itu.

Contohnya, yg terjadi pada beberapa wali Allah, yg dijanjikan bahwa kelak, di tahun sekian, mereka akan meraih kemuliaan. Namun kemudian, pada tahun yg dijanjikan itu, orang² justru banyak yg menghina dan menjatuhkan kehormatannya. Begitu juga yg terjadi pada Rasulullah Saw. di tahun Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Rasulullah Saw. dijanjikan Allah Ta’ala mendapat kemenangan. Namun ternyata, kemenangan tersebut tidak terjadi pada tahun itu, tetapi di tahun sesudahnya.

Jika seorang murid mendapat janji dari Tuhan Yang Maha Rahmat, tetapi janji itu belum terwujud, ia tidak boleh meragukan janji tersebut. Ia harus tahu diri dan tetap bersikap sopan terhadap Tuhannya serta tetap tenang menanti janji itu. Ia tidak patut sangsi dan goyah keyakinan menghadapinya. Barang siapa melakukan hal itu, berarti ia telah mengenal Tuhannya (‘arif), berpandangan sehat, dan berhati terang. Jika tidak, berarti sebaliknya, ia tidak mengenal Tuhannya, memiliki pandangan yg rusak, dan berhati gelap. Wallaahu a’lam

08. Makrifat Allah Tidak Ada Kaitannya Dengan Amalmu

Hikmah 8 dalam Al-Hikam:

“Makrifat Allah Tidak Ada Kaitannya Dengan Amalmu”

إذا فتح لك وجهة من التعرف فلا تبال معها إن قل عملك، فإنه ما فتحها لك إلا وهو يريد أن يتعرف إليك، ألم تعلم أن التعرف هو مورده عليك، والأعمال أنت مهديها إليه! وأين ما أنت مهديه إليه مما هو مورده عليك؟

“Jika Tuhan membukakan untukmu pintu makrifat, jangan kau pertanyakan amalmu yg sedikit. Karena Dia tidak akan membukakan pintu makrifat, kecuali karena ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu. Tahukah kau bahwa makrifat merupakan anugerah-Nya untukmu, sedangkan amalmu adalah persembahan untuk-Nya. Tentu, persembahanmu takkan sebanding dengan anugerah-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Dalam perjalanan menuju Tuhannya, seorang salik harus memperbanyak amal untuk menekan dorongan² nafsu syahwat sehingga ia bisa sampai kepada Allah Ta’ala. Di sisi lain, seorang salik dituntut juga untuk ber- mujahadah dalam waktu lama. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan di sela² itu ia merasa malas melakukan sebagian ibadah dan wirid yg diharuskan. Sehingga ia pun diterpa kegalauan dan frustasi, bahkan mungkin pula tergerak untuk meninggalkan semuanya. Padahal, di saat yg sama, ia telah sampai pada satu tahapan makrifatullah.

Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Atha’illah menasehatinya bahwa jika Allah Ta’ala membukakan untuknya satu dari sekian pintu makrifat —seperti merasakan kehadiran dan pengawasan Allah Ta’ala atau menyadari bahwa pelaku ibadah sesungguhnya adalah Allah Ta’ala dan menyadari dirinya hanyalah objek penampakan perbuatan-Nya— maka saat itu ia tidak perlu lagi merasa heran dan bertanya-tanya mengapa itu bisa terjadi sementara amal yg dilakukannya baru sedikit? Karena tujuan dari semua amal adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dibukakannya pintu makrifat adalah bukti bahwa Allah Ta’ala mengasihi dan menyayanginya. Bisa jadi, seseorang sedikit melakukan amal karena memang ia sedang sakit. Jika orang ini mendapatkan makrifat, misalnya dengan mengetahui bahwa sakit baginya lebih baik ketimbang sehat dan bahwa Allah Ta’ala Maha Melakukan apa yg Dikehendaki-Nya, saat itu ia tidak perlu lagi mempertanyakan sedikit amalnya.

Allah Ta’ala membukakan untukmu pintu makrifat karena Dia ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu, memberimu karunia-Nya, mendekatimu, dan menampakkan sifat² dan asma-Nya untukmu. Tentu saja makrifat adalah karunia yg lebih besar dan agung untukmu dibandingkan dengan amalan² lahirmu untuk-Nya. Hadiah dari seorang budak, walaupun bernilai tinggi, tetap hina dan kecil dibandingkan dengan hadiah dari seorang tuan walaupun itu sedikit. Hadiah dari seorang budak manfaatnya hanya akan dirasakan oleh dirinya sendiri, bukan tuannya.

Kesimpulannya, amal ibadah yg sedikit namun di iringi makrifat, lebih baik daripada amal ibadah yg banyak tanpa makrifat. Jika seorang salik mendapatkan makrifat, ia harus segera menghadapkan hatinya kepada Tuhannya agar karunia makrifat dari Tuhannya itu ditambah. Ia juga harus lebih mempedulikan makrifat tersebut ketimbang amalan² lahir yg dilakukannya. Oleh sebab itu, amalan lahir para ‘arif yg dilakukan di akhir usia mereka cenderung menurun. Mereka selalu merindukan masa² dahulu ketika mereka mendapat banyak cahaya karena banyaknya amal yg mereka lakukan. Wallaahu a’lam

09. Ruh Amal adalah Ikhlas (1)

Hikmah 9 dalam Al-Hikam:

“Ruh Amal adalah Ikhlas”

تنو عت أجناس الأعمال، لتنوع واردات الأحوال.

“Jenis amal itu bermacam-macam karena asupan hati juga beragam.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Yg dimaksud asupan hati di sini adalah makrifat Tuhan dan rahasia ruhani yg masuk ke dalam relung hati. Asupan hati ini akan mendorong munculnya sifat² dan ahwal (keadaan) terpuji. Ada yg membuahkan karisma. Ada yg mendorong kelembutan. Ada pula yg memupuk kedermawanan.

Kerapkali kau dapati sebagian murid yg rajin shalat, ada pula yg rajin puasa, dan sebagainya. Sebabnya adalah perbedaan asupan Ilahi yg mengakibatkan perbedaan kecenderungan seseorang. Setiap orang harus beramal sesuai dengan kecenderungannya jika ia belum mendapat bimbingan dari Gurunya. Sebaliknya, apabila ia telah mendapat bimbingan Guru, ia tidak boleh beramal, kecuali dengan izin Sang Guru.

Kesimpulannya, beragamnya wirid dan dzikir yg dilakukan para murid adalah akibat dari beragamnya asupan yg masuk ke hati mereka. Setiap murid harus beramal sesuai dengan asupan hatinya atau sesuai bimbingan Guru. Ia tidak boleh beramal berdasarkan asupan hati orang lain. Orang lain pun tidak boleh menentangnya hanya karena tidak melakukan apa yg dilakukannya. Wallaahu a’lam

10. Ruh Amal adalah Ikhlas (2)

Hikmah 10 dalam Al-Hikam:

الأعمال: صور قائمة، وأرواحما: وجود سرالإخلاص فيها.

“Amal itu seumpama jasad, sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Amal itu ibarat jasad yg tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yg menjadikan jasad itu hidup. Keikhlasan setiap orang berbeda-beda. Keikhlasan para ‘abid (ahli ibadah) berbentuk bersihnya amal mereka dari sifat riya’ yg nyata maupun yg tersamar dan dari niat yg didasari hawa nafsu. Mereka beramal karena Allah Ta’ala, mengharap pahala-Nya, serta ingin selamat dari azab dan siksa-Nya. Namun demikian, mereka menisbatkan amal itu pada diri mereka dan menjadikannya sebagai tempat bergantung untuk meraih apa yg mereka inginkan.

Sementara itu, bentuk keikhlasan para muhibbin (pecinta Allah) tergambar dalam niat amal mereka yg ditujukan sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka terhadap Allah Ta’ala; yg memang layak mendapatkannya. Dalam beramal, mereka tidak bertujuan mendapat pahala atau takut dari siksa-Nya.

Oleh sebab itu, Rabi’ah Al-Adawiyah berkata, “Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu atau berharap surga-Mu.”

Sementara itu, keikhlasan para ‘arif berbentuk kesaksian dan pandangan mereka bahwa Allah Ta’ala semata yg menggerakkan dan mendiamkan mereka. Mereka tidak merasa memiliki daya dan upaya dalam hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak beramal, kecuali dengan bantuan Allah Ta’ala, bukan dengan daya dan kekuatan mereka. Tingkat keikhlasan para ‘arif ini merupakan tingkat keikhlasan tertinggi.

Kemudian, dalam hikmah berikut, Syaikh Ibnu Atha’illah memberi tips bagaimana cara meraih dan menumbuhkan keikhlasan. Wallaahu a’lam

11. Kemasyhuran Sangat Membahayakan Seorang Murid

Hikmah 11 dalam Al-Hikam:

“Kemasyhuran Sangat Membahayakan Seorang Murid”

ادفن وجودك في أرض الخمول، فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه.

“Kuburlah dirimu di tanah kerendahan karena sesuatu yg tumbuh tanpa dikubur (ditanam) hasilnya kurang sempurna.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Maksud “tanah kerendahan” adalah tanah yg di sana popularitas tak tumbuh subur. Maksud “kuburlah dirimu di sana” adalah kau tidak usah menempuh sebab² popularitas, seperti dengan cara menawarkan dirimu untuk sebuah jabatan yg membuatmu terkenal. Seandainya kau terpaksa terkenal, kau harus merendah hati dan jangan mencari kedudukan tertentu. Jangan memandang jabatan yg sedang kau sandang sebagai hal yg besar. Yakinlah bahwa kebaikan akan kau dapatkan saat kau meninggalkan itu semua. Namun, jangan kau tinggalkan semua itu, kecuali atas bimbingan Gurumu atau atas izin Tuhanmu.

Syaikh Ibnu Atha’illah memberi contoh tentang hal itu dengan ungkapan, “Sesuatu yg tumbuh tanpa dikubur (benihnya) hasilnya kurang sempurna.” Maksudnya, benih yg tidak ditanam dalam² hanya akan tumbuh lemah, kering, dan tak bisa dimanfaatkan. Bahkan, mungkin benih itu akan mudah dimakan oleh burung atau binatang lain sebelum tumbuh menjadi tanaman.

Demikian pula seorang salik, jika ia mencari-cari popularitas di awal, jarang yg berhasil di akhir. Semakin ia merendahkan diri maka maqam ikhlas akan semakin cepat diraihnya. Bila sejak awal ia mendasari segala urusannya atas sikap menjauh dari makhluk, tidak mau dikenang, tidak suka popularitas, dan memilih untuk bersama Tuhannya, ia akan bersama Tuhannya. Jika Tuhan berkehendak, Dia akan memunculkannya dan menjadikannya terkenal. Jika tidak, Dia akan menutupinya dan membuatnya tidak dikenal.

Abu Al-Abbas rahimahullah berkata, “Siapa yg menginginkan popularitas, ia adalah budak popularitas. Siapa yg mencintai para penguasa, ia akan menjadi budak penguasa. Siapa yg menyembah Allah Ta’ala, baginya sama saja, terkenal ataupun tidak.” Wallaahu a’lam

12. Manfaat ‘Uzlah

Hikmah 12 dalam Al-Hikam:

“Manfaat ‘Uzlah”

ما نفع القلب شيء مثل عزلة، يدخل بها ميدان فكرة.

“Tiada yg lebih berguna bagi hati selain ‘uzlah. Dengan ‘uzlah, hati memasuki lapangan tafakkur.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

‘Uzlah (menyendiri) merupakan cara terbaik bagi seorang murid untuk membersihkan hati dari segala kelalaian dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tafakkur itu umpama sebuah lapangan. Di sana, hati berputar-putar seperti seekor kuda yg berpacu di sebuah arena pacuan. Bila seorang murid terlalu banyak bergaul dengan manusia, pandangan dan hatinya akan tertuju pada keduniaan sehingga yg kemudian tampak jelas di hadapannya hanyalah hal² yg bersifat materi dan fana. Tidak demikian jika ia ber’uzlah menjauhi pergaulan dengan manusia, hatinya akan disibukkan dengan hal² ghaib.

Dalam sebuah khabar disebutkan, “Bertafakkur sesaat lebih baik daripada ibadah tujuh puluh tahun.”

Ada seseorang yg bertanya kepada Ummu Ad-Darda’, “Amalan apa yg paling diutamakan Abu Darda’?”

Ummu Ad-Darda’ menjawab, “Tafakkur.” Dengan bertafakkur, seseorang bisa mendalami hakikat, mengagungkan Allah Ta’ala, dan mengutamakan segala hal yg diridhai-Nya. Dengan bertafakkur, ia bisa menganggap hina semua hal yg dibenci Allah Ta’ala sehingga terdorong untuk meninggalkannya. Dengan bertafakkur, seseorang bisa mengetahui keburukan² jiwa yg terselubung, kejahatan musuh, dan tipuan dunia. Ia juga bisa mengenali segala muslihat sehingga bisa dengan mudah menghindarinya dan selamat dari bahaya² yg ditimbulkannya.

Dengan menyendiri dan merenung, seorang murid melatih diri untuk berkhalwat, salah satu dari empat rukun tarekat (tiga rukun lainnya adalah bersikap diam, berlapar-lapar, dan bangun tengah malam). Ini, bagi murid yg menempuh jalan tarekat sendirian.

Adapun bagi murid yg berada di bawah bimbingan Guru, tentu ia harus banyak bergaul dengan Gurunya, juga dengan saudara² yg turut membantunya dalam menempuh jalan tarekat. Jika ia telah menjadi ‘arif, tak masalah baginya untuk bergaul dengan manusia mana pun karena saat itu di matanya hanya Allah Ta’ala yg terlihat. Perlu dicamkan bahwa yg menjadi tujuan utama adalah tafakkur, sedangkan ‘uzlah (menyendiri) hanya sebagai media atau faktor pendukung. Wallaahu a’lam

13. Hati Tidak Mungkin Bersinar Manakala Keduniaan Menutupinya

Hikmah 13 dalam Al-Hikam:

“Hati Tidak Mungkin Bersinar Manakala Keduniaan Menutupinya”

كيف يشرق قلب صور الأكوان منطبعة في مرآته؟ أم كيف يرحل إلى الله، وهو مكبل بشهواته؟ أم كيف يطمع أن يدخل حضرة الله، وهو لم يتطهر من جنابة غفلاته؟ أم كيف يرجو أن يفهم دقائق الأسرار، وهو لم يتب من هفواته؟

“Bagaimana mungkin qalbu akan bersinar, sedangkan bayang² dunia masih terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia belum bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertaubat dari kekeliruannya?”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bagaimana mungkin qalbu akan bersinar terang, sedangkan anasir keduniaan masih menyelimutinya dan dianggap bisa mendatangkan manfaat dan bahaya? Bahkan, anasir keduniaan itu begitu di andalkannya!

Jika hati masih terbelenggu nafsu, bagaimana mungkin bisa berjalan menuju Allah Ta’ala? Orang yg dibelenggu tentu tidak akan mampu berjalan. Bagaimana pula hati bisa melihat Allah Ta’ala, sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalaiannya?

Di sini, Syaikh Ibnu Atha’illah mengumpamakan kelalaian dengan junub. Dan seorang yg sedang junub tidak diperbolehkan memasuki masjid. Seperti itu pula orang yg dikuasai kelalaian, ia tidak akan di izinkan menemui Allah Ta’ala.

Bagaimana mungkin hati akan mewarisi ilmu kaum ‘arif, sedangkan ia belum bertaubat dari kesalahan atau maksiat yg tidak disengaja dilakukannya?

Dalam hikmah di atas, Syaikh Ibnu Atha’illah mengungkapkan kejanggalan yg dilihatnya. Menurutnya, bagaimana mungkin seseorang bisa meraih sesuatu yg di inginkannya, sedangkan ia masih melakukan hal² yg justru merintangi pencapaiannya. Hati yg bercahaya hanya dapat diraih dengan cahaya iman dan keyakinan, bukan dengan harta dan hal² lain yg bersifat duniawi. Keduniaan justru akan membuat hati menjadi gelap.

Perjalanan menuju Allah Ta’ala hanya bisa dilakukan dengan memutus belenggu nafsu dan syahwat, bukan dengan menuruti nafsu dan syahwat. Pertemuan dengan Allah Ta’ala hanya bisa terjadi bila hati telah suci. Hati yg masih belum suci atau masih dikotori oleh kelalaian akan menghalangi pertemuan dengan Allah Ta’ala. Kemampuan menguasai ilmu dan mengetahui detail² rahasia hanya bisa didapat melalui ketakwaan, bukan dengan keinginan yg besar untuk selalu melakukan maksiat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282)

Dalam sebuah khabar disebutkan, “Siapa yg beramal dengan ilmunya, maka Allah akan mewarisinya ilmu yg tidak diketahuinya.”

Keempat hal di atas sebenarnya saling mempengaruhi satu sama lain. Tampilnya gambaran keduniaan di dalam cermin hati menjadi sebab terbelenggunya hati oleh syahwat. Keterbelengguan hati dapat menyebabkan kelalaian. Kelalaian menjadi sebab segala kekeliruan, dan kekeliruan menjadi sebab butanya hati. Wallaahu a’lam

14. Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu (1)

Hikmah 14 dalam Al-Hikam:

“Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu”

الكون كله ظلمة، وإنما أناره ظهور الحق فيه، فمن رأى الكون ولم يشهده فيه، أوعنده، أوقبله، أوبعده فقد أعوزه وجود الأنوار، وحجبت عنه شموس المعارف بسحب الآثار.

“Semesta itu seluruhnya gulita. Ia hanya akan diterangi oleh wujud Allah. Siapa yg melihat semesta, namun tidak melihat-Nya di sana atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum, atau sesudah melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya² lain dan terhalang dari surya makrifat karena tertutup tebalnya awan dunia.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Di mata para ahli syuhud (orang yg menyaksikan kehadiran Allah Ta’ala dalam segala sesuatu), dunia ini tidak berwujud. Yg membuat dunia ini nampak hanyalah wujud Allah Ta’ala semata, persis seperti pancaran sinar matahari yg masuk ke dalam sebuah lentera berkaca. Tak ada wujud, kecuali wujud Yang Maha Benar. Dengan kemunculan Allah Ta’ala pada segala sesuatu, semuanya menjadi ada, sesuai dengan tabiatnya masing². Aslinya, mereka tidak berwujud dengan sendirinya.

Jika demikian, barang siapa yg melihat alam semesta ini tanpa merasakan kehadiran Allah Ta’ala di sana, berarti ia telah kehilangan nur Ilahi (cahaya Allah Ta’ala) yg membuatnya mendapat musyahadah. Di samping itu, ia juga tidak mungkin akan mendapat makrifat karena ia telah disilaukan oleh semesta ini.

Di sini Syaikh Ibnu Atha’illah menyinggung tentang bermacam-macam tingkatan ahli syuhud dalam memandang Allah Ta’ala. Di antara mereka ada yg menyaksikan Sang Pencipta terlebih dahulu sebelum menyaksikan ciptaan-Nya. Jika pandangannya jatuh pada suatu benda, ia akan menyaksikan keberadaan Yang Maha Benar dan bahwa hanya Dia yg menggerakkan dan mendiamkannya. Itu terjadi sebelum di benaknya terbersit apakah benda itu manusia ataukah domba, tinggi ataukah pendek, dan sebagainya.

Ada juga yg menyaksikan Tuhan setelah tahu bahwa benda yg disaksikannya itu adalah binatang. Ada yg menyaksikan Tuhan tepat di saat ia menyaksikan sebuah benda. Ada pula yg menyaksikan Tuhan pada benda itu.

Hikmah ini teramat sulit untuk dijabarkan karena semua pengalaman di atas tidak bisa diungkapkan melalui ucapan atau tulisan, namun hanya bisa dirasakan. Orang yg mengalami syuhud akan kehilangan kata² untuk menjelaskannya. Wallaahu a’lam

15. Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu (2)

Hikmah 15 dalam Al-Hikam:

مما يدلك على وجود قهره — سبحانه — أن حجبك عنه بما ليس بموجود معه.

“Di antara tanda kekuasaan Allah adalah Dia mampu menghalangimu dari melihat-Nya dengan sesuatu yg tidak ada.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Para ‘arif sepakat bahwa segala sesuatu selain Allah Ta’ala adalah tidak ada. Segala sesuatu selain Allah Ta’ala dianggap tidak berwujud dibandingkan dengan wujud-Nya.

Seorang ‘arif berkata, “Para muhaqqiq (peraih maqam makrifat) menolak untuk memandang selain Allah Ta’ala karena mereka telah berhasil menyaksikan kuasa dan keabadian Allah Ta’ala dalam mengatur dan meliputi segala sesuatu.”

Semua hal selain Allah Ta’ala dianggap tidak ada, namun mengapa ia menjadi penghalang bagi manusia untuk dapat menyaksikan Allah Ta’ala? Mengapa saat manusia menyaksikan alam semesta, mereka hanya melihat wujud alam semesta tanpa melihat siapa yg mewujudkannya? Padahal alam itu tidak berwujud sama sekali karena yg mewujudkannya hanyalah Allah Ta’ala. Inilah yg amat mengherankan.

Kemudian, pada hikmah berikutnya, Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan dalil² yg menegaskan bahwa seorang ‘arif tidak layak terhijab oleh semesta karena kondisi ini hanya dialami oleh orang² awam. Wallaahu a’lam

16-24. Hikmah ke 16-24

Hikmah 16-24 dlm al-Hikam:

كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَ نْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَ هُوَالَّذِي أَظْهَرَكُلَّ شَيْءٍ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Allah yg mendhahirkan segala sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُأَنْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَهُوَالَّذِي ظَهَرَبِكُلِّ شَيْءٍ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yg tampak-dhahir pada segala sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُأَنْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَهُوَالَّذِي ظَهَرَ فِي كُلِّ شَيْءٍ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yg terlihat dalam tiap sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُأَنْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَهُوَ الَّذِي ظَهَرَلِكُلِّ شَيْءٍ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yg tampak pada segala sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُأَنْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَهُوَا لظَّاهِرُقَبْلَ وُجُوْدِ كُلِّ شَيْءٍ؟

Bagaimana akan dapat dibayangkan, bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia ada dhahir sebelum adanya sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُأَنْ يَحْجُبَهُ شَيْ ءٌ وَهُوَ أَظْهَرُمِنْ كُلِّ شَيْءٍ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih tampak jelas dari segala sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ الْوَا حِدُ الَّذِ ي لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia Yang Esa nan tidak ada di sampingnya sesuatu apa pun.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَهُوَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu.

كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْءٌ وَلَوْ لَا هُ مَا كَا نَ وُجُوْدُ كُلِّ شَيْءٍ ؟

Bagaimana dapat dibayangkan bahwa Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal seandainya tidak ada Dia, niscaya tidak akan ada segala sesuatu.

Syarah Ustadz Salim Bahreisy sebagai berikut:

Demikian tampak jelas sifat² Allah di dalam (pada) tiap² sesuatu di alam ini, yg semua isi alam ini sebagai bukti kebesaran, kekuasaan, keindahan, kebijaksanaan dan kesempurnaan Dzat Allah yg tidak menyerupai sesuatu apa pun dari makhluk-Nya.

Sehingga bila masih ada manusia yg tidak mengenal Allah, maka benar² ia telah silau oleh cahaya yg sangat terang, dan telah terhijab dari sinar ma’rifat oleh awan tebal yg berupa alam sekitarnya.

Syaikh Fadhlala Haeri mensyarah:

Betapa menakjubkan, keberadaan tampak dalam ketiadaan, dan betapa segala sesuatu yg mempunyai sifat ketergantungan bisa berdiri di sisi Allah yg mempunyai sifat² kekekalan.

Al-Haqq tidak datang dari sesuatu atau di dalam sesuatu, atau di atasnya, atau di bawahnya.

Jika Dia datang dari sesuatu berarti Dia diciptakan dan dibatasi sesuai dengan jangka waktu hidupnya. Kalau Dia berada di atas sesuatu maka Dia bersemayam di atasnya, dan jika Dia dalam sesuatu maka Dia berarti terkurung di dalamnya. Dan jika Dia di bawah sesuatu maka Dia ada di bawah kekuasaannya.

Apa pun yg tampak di dunia kesaksian ini, merupakan pancaran Dzat Tuhan yg kekal dan dapat dirasakan sesuai dengan keadaan dan sensitivitas sang penerima. Jadi tidak ada makhluk yg mempunyai realitas yg kekal dan bebas, dan sesungguhnya tak ada sesuatu pun yg kekal selain Sang Maha Pencipta. Seandainya kita membandingkan yg relatif dengan yg absolut, niscaya yg relatif pasti akan hancur dan tinggallah yg absolut, selamanya!

Versi Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Hikmah 16 dalam Al-Hikam:

كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي أظهر كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي ظهر بكل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي ظهر في كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الذي ظهر لكل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الظاهر قبل وجود كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو أظهر من كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو أظهر من كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو الواحد الذي ليس معه شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، وهو أقرب إليك من كل شيء؟ كيف يتصور أن يحجبه شيء، ولولاه ما كان وجود كل شيء يا عجبا! كيف يظهر الوجود في العدم!؟ أم كيف يثبت الحادث مع من له وصف القدم!؟

“Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia yg menampakkan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak bersama segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu? Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak sebelum keberadaan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia Esa tanpa ada yg bersama-Nya? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal jika bukan karena Dia, wujud segala sesuatu tidak akan ada? Sungguh aneh, bagaimana mungkin keberadaan (wujud) bisa tampak dalam ketiadaan (‘adam)?! Atau, bagaimana bisa sesuatu yg baru bersanding dengan Yang Maha Dahulu?!”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah Ta’ala menampakkan segala sesuatu dengan cahaya wujud dari gelapnya ketiadaan. Dengan kemunculan cahaya-Nya dalam segala sesuatu, semuanya menjadi tampak. Jika wujud segala sesuatu bergantung pada cahaya-Nya, mustahil sesuatu itu menutupi-Nya sehingga membuat-Nya terselubung dan tidak tampak. Tindakan “menampakkan” meniscayakan penampakan Dzat yg melakukannya. Allah Ta’ala lah yg menampakkan segala sesuatu agar orang² yg berakal menjadikannya sebagai bukti keberadaan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda² (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur‘an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]: 53)

Menurut ahli syuhud, Allah Ta’ala tampak pada segala sesuatu dengan penampakan Dzat-Nya. Sementara itu, menurut ahli hijab, Dia tampak pada segala sesuatu dengan penampakan sifat dan asma-Nya. Segala sesuatu hanyalah objek penampakan dari makna² asma‘ dan sifat-Nya. Pada benda atau orang yg mulia, tampaklah sifat Maha Mulia (‘Aziz) milik-Nya dan pada benda atau orang yg hina, terlihatlah sifat Maha Menghinakan (Mudzill) milik-Nya.

Pada setiap makhluk hidup tampak jelas sifat Maha Menghidupkan (Muhyi) milik-Nya. Saat Allah Ta’ala mencabut nyawa, tampaklah sifat Maha Mematikan (Mumit). Saat memberi, terlihatlah sifat Maha Memberi (Mu‘thi). Saat menahan pemberian, terlihat sifat Maha Menahan (Mani). Saat memberi karunia, tampak sifat Maha Memberi Karunia (Karim). Saat mengabulkan doa, tampak sifat Maha Pengabul Doa (Mujib). Saat menimpakan bahaya atau mendatangkan manfaat, tampaklah sifat Maha Pemberi Bahaya (Dharr) dan Maha Pemberi Manfaat (Nafi’), dan sebagainya.

Bagaimana bisa Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal Dia muncul atau tampak pada segala sesuatu sehingga bisa dikenali. Karena itulah, seluruh semesta alam bersujud dan bertasbih kepada-Nya, tetapi kita tidak mendengar dan memahami tasbih mereka. Semua makhluk di alam ini, baik itu yg bernyawa maupun yg tidak, mengenali Allah Ta’ala, namun itu bergantung pada kadar penampakan Allah Ta’ala yg dilihatnya. Jika ada makhluk yg tidak mengagungkan Allah Ta’ala sesuai kadar keagungan-Nya, maka hal itu disebabkan oleh lemahnya makrifat (pengenalan) tentang-Nya, bukan karena ketiadaan makrifat sama sekali.

Bagaimana mungkin Tuhan terhalangi sesuatu, sedangkan Dia Dzahir sebelum wujud segala sesuatu? Karena asma-Nya sudah tampak sejak azali. Kemunculan Allah Ta’ala sendiri sudah merupakan sifat asli-Nya (Dzahir), tidak didapat dari luar, tidak beralasan, dan tidak diserap dari mana saja. Sementara itu, kemunculan alam semesta adalah akibat kemunculan Allah di sana dengan sifat Dzahir -Nya. Jika demikian, bagaimana mungkin semesta dapat menghalangi-Nya?

Bagaimana bisa Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Karena dalam setiap kondisi, wujud (keberadaan) lebih tampak daripada ‘adam (ketiadaan), juga karena kemunculan substansial lebih kuat daripada kemunculan aksidental. Kemunculan yg bersumber dari diri sendiri lebih kuat daripada kemunculan yg di akibatkan faktor luar. Kemunculan mutlak lebih kuat daripada kemunculan relatif. Kemunculan yg abadi lebih kuat daripada kemunculan yg fana.

Wujud Tuhan tidak diketahui akal karena kemunculan-Nya amat dahsyat. Kemunculan dahsyat itu tak akan bisa diketahui oleh orang² lemah. Seperti halnya seekor kelelawar yg hanya mampu melihat di kegelapan malam, sedangkan di siang hari ia tidak mampu melihat apa². Hal itu dikarenakan kuatnya kemunculan siang. Sementara itu, penglihatan mata kelelawar amat lemah. Ia tak sanggup melawan pancaran cahaya matahari. Kuatnya kemunculan siang dan lemahnya penglihatan itulah yg menjadi sebab kelelawar tak mampu melihat di siang hari.

Seperti itulah akal, ia amat lemah di hadapan kemunculan Ilahi yg sinar dan cahaya-Nya menyilaukan. Kuatnya kemunculan Ilahi inilah yg menjadi sebab ketersembunyian-Nya dari segala sesuatu.

Bagaimana mungkin sesuatu akan menghalangi Allah Ta’ala, padahal Dia Yang Esa dan tak ada sesuatu pun yg bersama-Nya? Karena segala sesuatu selain Allah Ta’ala tidak ada dan tidak berwujud. Dengan demikian, tak ada sesuatu pun yg dapat menghalangi-Nya karena semua wujud hakiki hanya milik Allah Ta’ala, bukan milik selain-Nya.

Bagaimana mungkin Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Karena Dia mampu meliputi dan mengaturmu. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗ ۖوَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yg dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf [50]: 16)

Menurut ahli syuhud, Dzat Allah Ta’ala amat dekat kepada kita. Adapun menurut ahli hijab, Tuhan dekat kepada kita dalam pengertian dekat ilmu, kekuasaan, dan sifat²Nya yg lain.

Bagaimana bisa Allah Ta’ala terhalangi sesuatu, padahal tanpa Dia, segala sesuatu tidak akan ada? Sampai² para musyahidun (yg merasa menyaksikan Allah Ta’ala) menjadikan Allah Ta’ala sebagai dalil untuk membuktikan keberadaan segala sesuatu.

Allah Ta’ala berfirman:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda² (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]: 53)

***

Catatan Editor: Karena ada perbedaan penomeran pada suntingan sebelumnya, maka syarah versi Syaikh Abdullah asy-Syarqawi di bawah ini akan diulang pada Hikmah berikutnya (nomor 25).

***

Sungguh aneh, bagaimana mungkin wujud (keberadaan) tidak tampak dalam ‘adam (ketiadaan)? ‘Adam adalah kegelapan, sedangkan wujud adalah cahaya. Keduanya mudah dibedakan.

Bagaimana bisa sesuatu yg baru (hadits) bersanding dengan Yang Maha Dahulu (qadim)? Bagaimana mungkin sesuatu yg baru muncul bersamaan dengan yg memiliki sifat qidam. Yg baru itu bathil, sedangkan Allah Ta’ala itu Haq (Maha Benar). Kebathilan akan sirna dengan adanya kebenaran.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا

“Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yg bathil telah lenyap.” Sungguh, yg batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra [17]: 81)

Sosok yg lahir (tampak) dan tsabit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Haq, Allah Ta’ala, bukan alam semesta. Tak ada yg berwujud, kecuali Allah Ta’ala karena Dia yg tampak dan menampakkan, yg mawjud dan berbeda dari segala penampakan lainnya.

Pertanyaan² yg bernada keheranan dalam hikmah ini pasti akan diajukan oleh mereka yg pernah merasakan pengalaman syuhud. Oleh karena itu, semakin kuat pengalaman syuhud yg dirasakan seseorang maka semakin sirnalah alam semesta ini dari pandangannya. Wallaahu a’lam

25. Wujud & Adam (Tiada)

Hikmah 25 dlm Al-Hikam:

يَا عَجَبًا كَيْفَ يَظْهَرُ الْوُ جُوْدُ فِي الْعَدَمِ أَمْ كَيْفَ يَثْبُتُ الْحَا دِ ثُ مَعَ مَنْ لَهُ وَ صْفَ الْقِدَمِ ؟

“Sungguh sangat ajaib, bagaimana tampak wujud di dalam adam (tiada). Atau bagaimana dapat bertahan sesuatu yg hancur itu, di samping Dzat yg bersifat Qidam.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Sungguh aneh, bagaimana mungkin wujud (keberadaan) tidak tampak dalam ‘adam (ketiadaan)? ‘Adam adalah kegelapan, sedangkan wujud adalah cahaya. Keduanya mudah dibedakan.

Bagaimana bisa sesuatu yg baru (hadits) bersanding dengan Yang Maha Dahulu (qadim)? Bagaimana mungkin sesuatu yg baru muncul bersamaan dengan yg memiliki sifat qidam. Yg baru itu bathil, sedangkan Allah Ta’ala itu Haq (Maha Benar). Kebathilan akan sirna dengan adanya kebenaran.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا

“Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yg bathil telah lenyap.” Sungguh, yg batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra [17]: 81)

Sosok yg lahir (tampak) dan tsabit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Haq, Allah Ta’ala, bukan alam semesta. Tak ada yg berwujud, kecuali Allah Ta’ala karena Dia yg tampak dan menampakkan, yg mawjud dan berbeda dari segala penampakan lainnya.

Pertanyaan² yg bernada keheranan dalam hikmah ini pasti akan diajukan oleh mereka yg pernah merasakan pengalaman syuhud. Oleh karena itu, semakin kuat pengalaman syuhud yg dirasakan seseorang maka semakin sirnalah alam semesta ini dari pandangannya. Wallaahu a’lam

26. Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah (1)

Hikmah 26 dalam Al-Hikam:

“Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah”

ماترك من الجحل شيئا من أراد أن يحدث في الوقت غير ما أظهره الله فيه.

“Alangkah bodohnya orang yg menghendaki sesuatu terjadi pada waktu yg tidak dikehendaki-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika hati atau tubuh seorang murid sedang berada dalam satu keadaan (ahwal) tertentu, ia harus tetap menjaga kesopanan di hadapan Allah Ta’ala dengan merelakan diri untuk tetap berada pada keadaan tersebut sampai Allah Ta’ala sendiri yg memindahkannya dari sana. Dengan satu catatan: keadaan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at.

Misalnya, jika ia sedang berada dalam keadaan terlepas dari keduniaan (tajrid), ia harus menahan diri untuk terus berada dan rela dalam keadaan tersebut sampai Allah Ta’ala sendiri yg memindahkannya ke keadaan yg lain. Jika terbersit di hatinya keinginan untuk mencari penghidupan (kasab), itu artinya ia tidak sopan kepada Tuhannya karena ia sudah menolak keadaan yg dikehendaki-Nya untuknya. Demikian pula, seorang murid dianggap tidak sopan terhadap Tuhannya, jika ia sedang berada dalam satu pekerjaan, namun ingin pindah ke pekerjaan lain, atau sedang berada dalam keadaan miskin, namun ingin menjadi kaya.

Empat puluh tahun silam, seseorang berkata kepadaku, “Bila Allah Ta’ala menempatkanku pada satu kondisi (ahwal), tidak pernah sedikit pun aku kesal. Bila Dia memindahkanku ke kondisi lain, tidak pernah sekali pun aku menolaknya.” Ungkapan ini adalah buah dari ilmu dan pengetahuan (makrifat) tentang Allah Ta’ala dan ketuhanan-Nya.

Jika seseorang membenci keadaan dirinya saat ini, lalu ia bersikukuh ingin pindah dari keadaan itu dan menghendaki keadaan lain yg berbeda dengan apa yg ditampakkan Allah Ta’ala kepadanya, itu artinya, ia tidak mengenali Tuhannya sama sekali dan sudah bersikap tidak sopan terhadap-Nya. Tentu ini adalah tindakan menentang “hukum waktu” yg di isyaratkan oleh kaum sufi. Bagi kaum sufi, menentang “hukum waktu” merupakan dosa paling besar. Wallaahu a’lam

27. Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah (2)

Hikmah 27 dalam Al-Hikam:

لا تطلب منه أن يحرجك من حالة ليستعملك فيما سواها، فلو أرادك لا ستعملك من غير إخراج.

“Jangan meminta Allah untuk mengeluarkanmu dari satu kondisi agar kau bisa dipekerjakan-Nya. Jika memang Dia menghendaki, niscaya Dia akan mempekerjakanmu tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi itu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika kau mengira bahwa keberadaanmu di satu kondisi telah menghambatmu untuk mendekatkan diri kepada-Nya, jangan meminta-Nya mengeluarkanmu dari kondisi itu karena jika Allah Ta’ala mencintaimu dan kau termasuk ahli iradah (yg dikehendaki Allah Ta’ala), Allah Ta’ala akan mempekerjakanmu dengan penuh kasih sayang, membimbingmu untuk melakukan amal² shaleh, dan menyibukkan hatimu dengan-Nya, tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi lamamu.

Jika seorang murid berada dalam satu kondisi yg tidak sesuai dengan tujuannya (namun dari sudut pandang syari’at, kondisi itu tidak terlarang), tak layak baginya untuk menghendaki keluar dari kondisi itu dan menentang “hukum waktu” —sebagaimana dijelaskan dalam hikmah di atas. Ia juga tidak layak meminta Tuhannya untuk segera mengeluarkannya dari sana agar bisa dipekerjakan-Nya pada kondisi lain karena kondisi itu adalah pilihan Allah Ta’ala dan ia tidak perlu bingung dalam hal ini.

Yg patut dilakukannya adalah tetap menjaga etika dan kesopanannya terhadap Tuhannya serta mendahulukan kehendak-Nya atas pilihannya sendiri. Jika Tuhannya melihat sikap baiknya ini, Dia akan mempekerjakannya tanpa perlu mengeluarkannya dari kondisi tersebut. Dengan demikian, ia pun beramal sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala, bukan berdasarkan kehendaknya sendiri. Tentu, itu lebih baik baginya daripada mengedepankan pilihannya sendiri. Akan lebih baik lagi baginya bila ia juga meyakini bahwa ia akan mencapai tujuannya tanpa harus keluar dari kondisi tersebut.

Lain lagi halnya jika ia berada dalam kondisi yg tidak sesuai dengan syara’. Dalam hal ini, ia harus segera keluar dari kondisi tersebut dan meminta Tuhannya agar memindahkannya ke kondisi yg lebih diridhai-Nya. Wallaahu a’lam

28. Menunda Amal Shaleh Termasuk Sikap Bodoh

Hikmah 28 dalam Al-Hikam:

“Menunda Amal Shaleh Termasuk Sikap Bodoh”

إحالتك الأعمال على وجود الفراغ — من رعونات النفس.

“Menunda amal karena menunggu waktu yg luang termasuk tanda kebodohan.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika seorang murid menunda-nunda amal yg bisa mendekatkannya kepada Tuhannya karena merasa tidak memiliki waktu luang di sela² kesibukan dunianya, tindakan itu merupakan tanda kebodohan jiwanya. Disebut bodoh karena ia telah menunda amalnya dengan menunggu waktu luang. Padahal, bisa jadi, alih² mendapatkan waktu luang untuk beramal ibadah, justru ajal yg menjemputnya tiba². Bisa jadi juga, justru kesibukannya semakin bertambah karena kesibukan dunia pasti akan terus bertumpuk sebab satu sama lain saling berkaitan.

Bahkan, andai kata ia mendapatkan waktu luang, tentu tekad dan niatnya pun sudah melemah. Oleh karena itu, sepatutnya ia segera bangkit melakukan amal² yg mendekatkan dirinya kepada Tuhannya sebelum terlambat. Pepatah mengatakan, “Waktu ibarat pedang. Jika kau tidak bisa menggunakannya, niscaya ia akan menebasmu.” Wallaahu a’lam

29. Rahasia Ilahi Bukanlah Tujuan Utama Orang ‘Arif

Hikmah 29 dalam Al-Hikam:

“Rahasia Ilahi Bukanlah Tujuan Utama Orang ‘Arif”

ماأرادت همة سالك أن تقف عند ما كشف لها إلا ونادته هوا تف الحقيقة: الذي تطلب أمامك، ولاتبرجت له ظواهر المكونات إلا ونادته حقائقها: ((إنما نحن فتنة فلا تكفر)) (البقرة: ١٠٢)

“Di saat tekad seorang salik ingin berhenti pada apa yg tersingkap baginya, suara² hakikat pun memperingatkannya, “Yg kau cari ada di depanmu!” Dan di saat pesona alam tampak menggoda, hakikat²nya pun berujar, “Kami hanyalah ujian maka jangan kau kufur!” “

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tekad seorang salik (peniti jalan menuju Allah Ta’ala) tidak akan berhenti setelah mendapatkan makrifat, rahasia, dan cahaya² Ilahi. Ia tidak akan memandang bahwa makrifat, ahwal, dan maqam yg telah diraihnya merupakan tujuan utama dan akhir dari perjalanannya. Bisikan² hakikat Ilahi akan menyeru hatinya agar tidak berhenti sampai disitu, “Karena apa yg kau cari ada di depanmu!” Apa yg dicari dan di inginkan seorang salik adalah “sampai kepada Tuhannya”, bukan sampai kepada sesuatu selain-Nya.

Saat dunia menebar pesonanya, ia akan berseru dengan suara yg tak kau dengar, “Kami hanya ujian dan cobaan maka jangan kau tertipu oleh kami dan jangan berhenti sampai di sini. Jangan jadikan dirimu budak kami sehingga kau akan terhalang dari Allah Ta’ala karena sikap semacam ini sama saja dengan kufur terhadap nikmat Tuhan Pemberi nikmat.”

Syukur atas nikmat Tuhan diwujudkan dengan cara menemui dan mendatangi Tuhan Yang Memberi nikmat, sedangkan sikap berpaling dari nikmat, namun di saat yg sama tetap menikmati nikmat tersebut, adalah cerminan sikap tidak tahu diri di hadapan Tuhan. Wallaahu a’lam

30. Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya (1)

Hikmah 30 dalam Al-Hikam:

“Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya”

طلبك منه اتهام له، وطلبك له غيبة منك عنه، وطلبك لغيره لقلت حيائك منه، وطلبك من غيره لوجود بعدك عنه.

“Meminta kepada Allah berarti menuduh-Nya. Mencari Allah berarti mengghibah-Nya. Mencari selain Allah pertanda tak punya malu kepada-Nya dan meminta kepada selain Allah pertanda jauh dari-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Dalam perjalanannya menuju Allah Ta’ala, seorang murid harus sibuk melakukan amal² shaleh yg diridhai Tuhannya. Hatinya tidak boleh sibuk mencari sesuatu yg lain karena itu tercela dan bisa memutus jalannya menuju Allah Ta’ala.

Bila kau meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia memberimu rezeki dan makanan yg dapat membantumu berjalan atau agar Dia meluaskan rezekimu, sama dengan menuduh-Nya tidak pernah memberimu rezeki. Jika kau percaya bahwa Dia Maha Mengetahui kebutuhanmu dan Maha Kuasa memberimu tanpa kau minta, tentu kau tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya.

Bila kau mencari-cari Allah Ta’ala agar kau didekatkan kepada-Nya, dihilangkan hijab antara dirimu dengan-Nya, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatimu, tindakan ini sama saja dengan melakukan ghibah terhadap-Nya (membicarakan-Nya di belakang) karena Dzat Yang Maha Hadir tidak perlu lagi dicari-cari.

Bila kau mencari selain Tuhanmu, baik itu berupa harta, kedudukan, kehormatan, maupun yg lainnya, itu membuktikan sedikitnya rasa malumu kepada-Nya. Jika kau malu kepada-Nya, tentu kau tidak akan mencari selain-Nya.

Bila kau meminta kepada selain-Nya, seperti meminta kepada seorang manusia untuk mengatasi persoalan²mu dan saat meminta itu kau lupa kepada Tuhanmu, itu menandakan bahwa kau begitu jauh dari-Nya. Jika kau dekat dengan-Nya, pasti kau akan jauh dari selain-Nya. Sekiranya kau menyadari kedekatan-Nya denganmu, niscaya kau akan menghindari makhluk²Nya. Namun, karena kejauhanmu dengan-Nya, kau merasa butuh kepada selain-Nya untuk kau jadikan tempat berlindung dan meminta.

Bagi kalangan murid, meminta kepada sang Khaliq adalah hal yg lumrah. Bahkan, meminta kepada makhluk pun adalah hal yg wajar, kecuali meminta dalam kerangka ibadah, etika, mengikuti perintah, atau menyatakan kebutuhan. Sementara itu, orang² ‘arif hanya memandang kepada Allah Ta’ala. Permintaan mereka, walaupun secara lahir tampak kepada makhluk, namun sebenarnya kepada sang Khaliq. Wallaahu a’lam

31. Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya (2)

Hikmah 31 dalam Al-Hikam:

ما من نفس تبديه إلا وله قدر فيك يمضيه.

“Pada setiap desahan napas yg kau hembuskan terdapat takdir Allah yg telah ditetapkan.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Setiap nafas yg keluar darimu telah ditakdirkan Allah Ta’ala, baik yg terkandung di dalamnya ketaatan, maksiat, nikmat, maupun petaka. Setiap nafas yg keluar darimu adalah satu dari sekian takdir Allah Ta’ala untukmu, siapa pun dirimu. Oleh karena itu, kau harus tetap menjaga kesopananmu di hadapan-Nya dan menyadari bahwa Dia selalu mengawasimu dalam setiap desahan nafasmu. Dengan begitu, di setiap nafas, kau menjadi seorang salik yg ingin meniti jalan menuju Allah Ta’ala. Inilah makna ungkapan “jalan menuju Allah Ta’ala sebanyak desahan napas seluruh makhluk.” Wallaahu a’lam

32. Empat Sikap Perilaku Hamba Saat Berhubungan dengan-Nya (3)

Hikmah 32 dalam Al-Hikam:

لاتترقب فراغ الأغيار، فإن ذلك يقطعك عن وجود المراقبة له فيما هو مقيمك فيه.

“Jangan menanti-nanti hilangnya kecenderungan² kepada dunia. Karena hal itu dapat membuatmu lupa akan adanya pengawasan Allah atas ahwal yg telah ditetapkan-Nya untukmu.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Kecenderungan² kepada dunia memang merupakan kegelapan yg dapat menghalangi hati dari melihat Tuhan. Namun demikian, jangan pula kau menanti-nanti dan bertanya-tanya kapan kecenderungan² itu bisa hilang secara total dari hatimu. Sebab, hal ini bisa membuatmu lupa bahwa kondisi (ahwal) yg telah ditetapkan untukmu saat ini, yakni berupa amal² yg bisa mengantarkanmu kepada-Nya, adalah berada dalam Pengawasan-Nya.

Yg dituntut dari dirimu ialah senantiasa istiqamah dalam menjalani kebiasaanmu dan tetap merasa diawasi Allah Ta’ala. Jangan kau sibuk dengan segala hal yg masuk ke dalam hatimu, baik berupa kegelapan maupun cahaya karena hal itu justru akan memutusmu dari kebiasaanmu.

Dianggap memutus karena jiwamu selalu dibayangi keraguan, “Kalau benar aku ini ahli iradah, tentunya kecenderungan² kepada dunia ini tidak mungkin lagi masuk ke dalam hatiku, apalagi dengan banyaknya ibadah yg sudah kulakukan selama ini.” Sehingga hatimu sibuk dengan bisikan dan gangguan ini. Mungkin ia terus membisikimu agar kau melupakan apa yg menjadi tujuanmu atau agar kau meninggalkan amal shaleh.

Biasanya, sebab kemunculan kecenderungan² kepada dunia ini adalah kotoran² keduniaan yg menghampiri hatimu. Dan ini adalah persoalan yg mau tidak mau harus kau hadapi. Wallaahu a’lam

33. Jangan Merasa Aneh dengan Kesuraman Hidup di Dunia

Hikmah 33 dalam Al-Hikam:

“Jangan Merasa Aneh dengan Kesuraman Hidup di Dunia”

لا تستغرب وقوع الأكدار ما دمت في هذا الدار فإذا ما أبرزت إلا ماهو مستحق وصفها، وواجب نعتها.

“Jangan merasa aneh dengan terjadinya penderitaan² selama kau masih hidup di dunia ini karena dunia hanya akan menampakkan apa yg mesti ditampakkannya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Di antara hal yg lazim terjadi di dunia adalah derita dan kesulitan. Dunia ini diciptakan sebagai tempat kebendaan dan gudang penderitaan agar kau menjauhkan dirimu dari sana.

Imam Jafar ash-Shadiq ra. berkata, “Siapa yg mencari apa yg belum diciptakan berarti menyiksa dirinya sendiri karena ia mencari sesuatu yg tak akan pernah didapatkannya.”

Ia lalu ditanya, “Apa gerangan yg tak akan pernah didapatkannya itu?” Ia menjawab, “Kenyamanan di dunia.”

Oleh karena itu, seorang murid yg tulus tidak boleh melirik dunia. Ia harus terus semangat dalam meniti jalannya agar mentari makrifat terbit kepadanya sehingga tipuan benda² duniawi itu hilang dari pandangannya dan penderitaan akan sirna dengan kesempatannya melihat Tuhan Yang Maha Mulia dan Pengampun. Wallaahu a’lam

34. Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul (1)

Hikmah 34 dalam Al-Hikam:

“Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul”

ما توقف مطلب أنت طالبه بربك، ولا تيسر مطلب أنت طالبه بنفسك.

“Apa yg kau minta tak akan terhalang selama kau memintanya kepada Tuhanmu. Namun, apa yg kau minta tak akan datang selama kau mengandalkan dirimu sendiri.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Permintaan yg dimaksud pada hikmah ini bersifat umum, meliputi semua permintaan, baik itu yg berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Apa yg kau minta dan inginkan tidak akan terhalang selama dalam mencarinya kau tetap memperhatikan Tuhanmu, menghadirkan-Nya dalam hatimu, dan bersandar kepada-Nya agar memudahkan permintaan dan urusanmu. Namun, permintaan itu sulit kau raih bila kau lalai dari-Nya dan bersandar kepada orang² sekitarmu atau pada kekuatanmu sendiri.

Barang siapa menyerahkan segala kebutuhannya kepada Allah Ta’ala, berlindung dan bertawakkal kepada-Nya, Allah Ta’ala akan mencukupi kebutuhannya, mendekatkan yg jauh darinya, dan memudahkan segala yg sulit baginya. Barang siapa yg mengandalkan ilmu dan akalnya serta bersandar pada kekuatan dan kemampuannya, Allah Ta’ala akan mempersulitnya dan membuatnya gagal. Apa yg di inginkan dan dibutuhkannya itu tidak akan mudah didapatkan dan sulit diwujudkan. Wallaahu a’lam

35. Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul (2)

Hikmah 35 dalam Al-Hikam:

من علامات النجح في النهايات الرجوع إلى الله في البدايات.

“Di antara tanda keberhasilan di akhir adalah kembali kepada Allah di awal.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Langkah awal seorang murid patut diperbaiki demi memperbesar kemungkinannya untuk sampai hingga akhir perjalanannya. Siapa yg memperbaiki dan meluruskan langkah awalnya dengan kembali kepada Allah Ta’ala dan tawakkal kepada-Nya serta memohon pertolongan-Nya, bukan bergantung pada amalnya yg kurang sempurna, pada akhirnya ia akan sukses dan berhasil. Ia akan sampai pada tujuan akhirnya dan tidak akan goyah di perjalanannya. Barang siapa yg tidak melakukan hal itu maka di tengah jalan ia akan berhenti dan pulang kembali ke tempat pemberangkatannya semula.

Seorang ‘arif berkata, “Siapa yg mengira bahwa ia telah sampai kepada Allah Ta’ala tanpa bantuan-Nya maka ia akan terhenti di jalan. Siapa yg memohon bantuan dirinya sendiri dalam beribadah kepada Allah Ta’ala maka ia akan bergantung pada dirinya sendiri.” Wallaahu a’lam

36. Mintalah Kepada Allah, Pasti Terkabul (3)

Hikmah 36 dalam Al-Hikam:

من أشرقت بدايته أشرقت نهايته.

“Siapa yg bersinar di awal, akan bersinar pula di akhir.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Siapa yg awalnya cerah dan bersinar, misalnya dengan mengisi waktu²nya dengan bermacam ketaatan, wirid, dan bersabar sepenuh hati dalam menjalaninya, maka akhir perjalanannya akan bersinar pula. Bersinar karena memancarnya berbagai nur dan makrifat kepadanya dan hilangnya berbagai kekeruhan jiwa yg menjadi penghalang antara dirinya dengan Tuhannya.

Demikian pula sebaliknya, siapa yg usahanya kurang di awal maka di akhir ia tidak akan mendapatkan kegemilangan. Sekiranya ia diberikan keberhasilan, keberhasilan itu lebih lemah daripada yg lain. Bisa jadi, pengertian “bersinar di awal” di sini ialah kembali kepada Allah Ta’ala dan bertawakkal kepada-Nya. Adapun makna “bersinar di akhir” ialah berhasil sampai kepada-Nya. Ini sesuai dengan hikmah sebelumnya. Wallaahu a’lam

37. Apa yang Disembunyikan Hati akan Terlihat Jejaknya Di Wajah

Hikmah 37 dalam Al-Hikam:

“Apa yang Disembunyikan Hati akan Terlihat Jejaknya Di Wajah”

ما استودع في غيب السرائر ظهر في شهادة الظواهر.

“Apa yg tersimpan di kedalaman batin akan tampak pada penampilan lahir.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Makrifat dan cahaya Ilahi yg ditetapkan Allah Ta’ala di dalam hati seseorang pasti akan muncul pada penampilan lahirnya, pada wajah dan anggota tubuh lainnya. Ini adalah tanda untuk mengenali keadaan seorang murid menuju Allah Ta’ala, karena tampilan lahir adalah cermin dari keadaan batin. Bagi orang² yg ingin berteman dan berkumpul dengan seorang murid, penampilan lahirnya ini bisa menjadi pertanda. Wallaahu a’lam

38. Perbedaan Orang yang Menjadikan Allah Sebagi Bukti Keberadaan Alam dan Orang yang Menjadikan Alam Sebagai Bukti Keberadaan Allah

Hikmah 38 dalam Al-Hikam:

“Perbedaan Orang yang Menjadikan Allah Sebagi Bukti Keberadaan Alam dan Orang yang Menjadikan Alam Sebagai Bukti Keberadaan Allah”

شتان بين من يستدل به، أو يستدل عليه: المستدل به عرف الحق لأهله؛ فأثبت الأمر من وجود أصله، والاستدلال عليه من عدم الوصول إليه، وإلا فمتى غاب حتى يستدل عليه، ومتى بعد؛ حتى تكون الآثار هي التي توصل إليه؟

“Betapa jauh bedanya antara orang yg berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam dan orang yg berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah. Orang yg menyatakan bahwa “adanya Allah menunjukkan adanya alam” adalah orang yg telah mengenal al-Haqq (Allah) dengan kepatutan-Nya. Karena itulah, ia menetapkan keberadaan alam ini dari keberadaan pangkal (Dzat) yg membuatnya ada. Sementara itu, yg berdalil bahwa “adanya alam menunjukkan adanya Allah” adalah orang yg belum sampai kepada-Nya. Sebab, sejak kapan Allah itu ghaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan wujud alam dan kapan Allah itu jauh sehingga semesta ini harus menjadi pengantar menuju-Nya?”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Orang² yg dekat kepada Allah Ta’ala ada dua golongan, yaitu murad (yg dikehendaki Allah Ta’ala) atau majdzub (yg ditarik Allah Ta’ala untuk didekatkan kepada-Nya) dan murid (yg menghendaki Allah Ta’ala) atau salik (yg meniti jalan menuju Allah Ta’ala). Para murad atau majdzub adalah ahli syuhud.

Adapun para murid atau salik, perjalanan mereka menuju Tuhan masih terhalang akibat pandangan mereka terhadap dunia dan alam semesta. Di mata mereka, semesta teramat lahir, sedangkan Allah Ta’ala itu ghaib. Mereka tidak melihat-Nya, karena itu mereka berdalil bahwa wujud alam semesta ini membuktikan wujud Allah Ta’ala.

Sementara itu, para murad atau majdzub, mereka langsung didekati Allah Ta’ala dengan Wajah-Nya Yang Mulia. Allah akan mengenalkan Diri-Nya kepada mereka. Karena itu, mereka pun akan mengenali-Nya. Semua makhluk dan alam semesta akan hilang dari pandangan mereka karena mereka berdalil bahwa wujud Allah Ta’ala adalah bukti dari wujud semesta. Mereka itulah kaum ‘arif. Mereka termasuk orang² yg didekatkan Allah Ta’ala kepada-Nya.

Namun, karena sikap istiqamah mereka terhadap kondisi mereka, tanda didekatkannya mereka kepada Allah Ta’ala (jadzab) tidak tampak pada diri mereka. Oleh sebab itu, ada yg mengatakan, “Akhir perjalanan seorang salik adalah awal perjalanan seorang majdzub.”

Manusia yg paling kuat jadzab -nya adalah para Nabi dan Rasul. Inilah perbedaan antara dua kelompok tersebut.

Orang yg menggunakan Allah Ta’ala sebagai dalil wujud alam akan mengenal Allah Ta’ala sebagai wujud yg wajib. Dengan kata lain, wujud itu milik Allah Ta’ala semata. Adapun benda² yg hadits (baru), aslinya tidak berwujud. Oleh karena itu, mereka menetapkan bahwa semua yg hadits berasal dari wujud asal, yaitu Allah Ta’ala. Mereka menganggap bahwa wujud makhluk bersumber dari wujud Khaliq yg tampak pada diri makhluk. Jika tidak, makhluk itu tidak akan ada. Demikian menurut pandangan ahli syuhud.

Berbeda halnya dengan orang yg menggunakan alam untuk membuktikan wujud Allah Ta’ala. Ia menggunakan sesuatu yg tidak diketahui (majhul) sebagai dalil untuk membuktikan perkara yg sudah diketahui (ma‘lum), menggunakan ketiadaan (‘adam) untuk membuktikan keberadaan (wujud), atau menggunakan perkara yg tersembunyi (khafiyy) untuk membuktikan hal yg lahir dan nyata. Hal itu dikarenakan adanya hijab pada diri orang tersebut sehingga ia lebih suka menelusuri sebab² daripada mencari Sang Pembuat Sebab.

Sejak kapan Allah Ta’ala ghaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan sesuatu yg hadir? Sejak kapan Allah Ta’ala jauh sehingga alam semesta inilah yg akan mendekatkan kita kepada-Nya, padahal alam semesta ini tadinya tidak berwujud? Demikian pertanyaan yg diajukan para ahli syuhud.

Sementara itu, orang² mahjub (yg terhalang dari-Nya) menjadikan alam semesta sebagai bukti wujud Allah Ta’ala. Mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu kaum awam dan para salik yg belum mencapai maqam ahli syuhud. Wallaahu a’lam

39. Memberi Sesuai Kemampuan

Hikmah 39 dlm al-Hikam:

لِيُنْفِقْ ذُوْسَعَةٍ مِنْ سَعَيِهِ ) الْوَاصِلُو نَ إِلَيْهِ , (وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ) السَّائِرُوْنَ إِلَيْهِ . )

Hendaklah orang yg diberi keluasan rezeki (yaitu orang yg telah sampai kepada Allah) memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yg disempitkan rezekinya (yaitu orang yg tengah menuju kepada Allah) hendaklah memberi nafkah dari harta yg diberikan Allah kepadanya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

“Hendaklah orang yg diberi keluasan rezeki memberi nafkah menurut kemampuannya.”

Ini adalah gambaran tentang kondisi orang² yg telah sampai kepada Allah. Yakni orang² yg telah terbebas dari penjara pandangan keduniaan, dan telah sampai kepada alam tauhid dan kesempurnaan alam batin. Karena itulah, mereka di anugerahi rezeki berupa ilmu dan rahasia Ilahi serta pandangan yg luas dan jauh ke depan. Sehingga, mereka pun dibebaskan untuk membantu orang lain, dengan mengajarkan ilmu dan pemahaman mereka, sekehendak hati mereka.

Sementara itu, orang yg disempitkan rezekinya adalah orang² yg sedang menuju kepada Allah. Mereka tidak diberi keluasan rezeki berupa ilmu dan pemahaman. Mereka masih terkungkung dalam ruang sempit khayalan dan imajinasi. Sekalipun demikian, mereka masih diperbolehkan menafkahkan karunia Allah berupa ilmu dan pemahaman yg sedikit itu kepada orang lain. Namun dengan catatan: sebatas apa yg Allah ajarkan kepada mereka. Wallaahu a’lam

40. Nur Pemberian Allah

Hikmah 40 dlm al-Hikam:

اِهْتَدَ ى الرَّاحِلُونَ إِلَيْهِ بِأَ نْوَارِ التَّوَجُّهِ , وَالْوَاصِلُو نَ لَهُمْ أَنْوَارُ الْمُوَاجَهَةِ , فَالْأَ وَّلُو نَ لِلْأَ نْوَارِ وَهَؤُلَاءِ الْأَ نْوَارُلَهُمْ , لِأَ نَّهُمْ لِهََِْ لَالِشَيْءٍدُوْنَهُ , (قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْ ضِهِمْ يَلْعَبُونَ)

Orang² shalih (yg menuju kepada Allah) telah mendapatkan hidayat dengan nur (pelita) ibadah yg merupakan amalan untuk taqarrub (mendekat) kepada Allah, sedang orang² yg telah sampai, mereka tertarik oleh nur yg langsung dari Tuhan bukan sebagai hasil ibadah, tetapi semata² karunia rahmat Allah. Maka orang² shalih menuju ke alam nur, sedangkan yg telah sampai itu telah bersih dari segala sesuatu selain Allah.

Firman Allah Ta’ala:

قُلِ اللَّهُ ۖ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِى خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

“Katakanlah: “Allah-lah (yg menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. Al-An’am (6): 91)

Hakikat tauhid itu bila telah melihat pengaruh² sesuatu selain Allah, dan inilah yg bernama haqqul yaqin, dan melihat, merasa adanya pengaruh dari sesuatu selain Allah itu hanya permainan belaka, dan itu bersifat penipuan atau munafik.

Jangan menganggap/melihat ada sesuatu selain Allah yg dapat kau harap, kau takuti, atau berkuasa, sebab semua harapan kepada sesuatu selain Allah berarti syirik, terang atau samar, besar atau kecil dalam pengertian syirik hampir tiada berbeda.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Cahaya yg didapat golongan pertama ialah cahaya yg didapat dari ibadah dan riyadhah (olah batin) yg dijadikannya sebagai jalan menuju Allah karena biasanya perjuangan akan membuahkan cahaya di dalam hati. Dengan cahaya itu, mereka akan berjalan menuju Allah. 

Adapun untuk golongan kedua, justru cahaya Allah lah yg mendatangi mereka sehingga mereka akan mudah mengenali Allah tanpa perjuangan dan susah payah. 

Golongan pertama akan menjadi budak cahaya dan amat membutuhkannya untuk sampai kepada tujuan dan keinginan mereka. Sementara itu, golongan kedua akan dengan sendirinya didatangi cahaya itu sehingga ia tidak perlu bersusah payah dalam mendapatkannya. 

Adapun maksud firman ”Katakan ‘Allah’” ialah menghadaplah kepada-Nya semata dan jangan cenderung kepada cahaya² atau hal² selain-Nya. Kemudian, maksud ”biarkan mereka bermain² dalam kesibukannya” ialah bahwa tindakan memurnikan tauhid, setelah menyingkirkan kebendaan, merupakan sikap yg didasari haqqul yaqin (keyakinan yg kokoh), sedangkan melihat kepada selain Allah hanyalah permainan dan leha². Tentu itu adalah sifat orang² mahjub (terhalang). Wallaahu a’lam

41. Hijab Menutupi Diri dan Alam Ghaib

Hikmah 41 dlm al-Hikam:

تَشَوُّفُكَ إِلَى مَا بَطَنَ فِيْكَ مِنَ الْعُيُوْبِ خَيْرٌ مِنْ تَشَوُّ فِكَ إِلَى مَاحُجِبَ عَنْكَ مِنَ الْغُيُوْبِ.

“Upayamu untuk mengetahui aib² (al-uyuub) yg masih ada di dalam dirimu (jiwa), itu lebih baik daripada upayamu untuk membuka hijab ghaib bagimu.”

Ustadz Salim Bahreisy mensyarah:

Kata orang arif bijaksana, ”Jadilah hamba Allah yg selalu ingin mencapai istiqamah, dan jangan menjadi hamba yg menuntut karomah. Istiqamah berarti menunaikan kewajiban, sedang menuntut karomah berarti menuntut maqam (kedudukan di hadapan Allah), padahal karomah yg Allah anugrahkan kepada seorang suci itu sebagai buah daripada istiqamah yg bersangkutan.

Istiqamah berarti tetap dalam Ubudiyah, tidak melemah nur iman keyakinannya kepada Allah, ke-Tuhan-an Allah, Kekuasaan-Nya, Al-Hakim-Nya, baik ketika dalam keadaan sehat atau sakit, senang atau susah, kaya maupun miskin.

Syaikh Fadhlala Haeri mensyarah:

Salik yg berakal cerdas adalah dia yg mengamati dan memperbaiki kesalahan², kekurangan², tabir², kekotoran, dan kesamaran  (al-uyuub) yg dimilikinya. Kesalahan² jiwa yg nyata disebabkan oleh keinginan, cinta, harapan, dan seluruh ketidak-seimbangan dalam lahir dan batin. Sakitnya qalbu (hati) dikarenakan keinginan² batin terhadap penghargaan, kebencian, keserakahan, ketidak-ikhlasan, dan tabir² lainnya, yg mencabut kebebasan qalbu dari ketergantungan kepada makhluk. Alam ghaib terhijab dari kita justru karena kesalahan², hijab² dan kesalahan akal budi dan hati kita.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Contoh kekurangan diri ialah sifat riya’, tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka jabatan, dan haus akan kedudukan. Maknanya, kau harus mengarahkan tekadmu untuk menghapus semua keburukan itu dengan riyadhah dan mujahadah, serta berusaha untuk terbebas darinya. Upaya ini biasanya harus di bawah bimbingan seorang Guru. Langkah di atas lebih baik daripada usahamu dalam menelusuri takdir yg terselubung, pelajaran yg tersembunyi, rahasia² Ilahi, ilmu laduni atau karomah. Biasanya, itu semua ditujukan demi kepuasan dirimu, bukan demi mencari ridha Tuhanmu. 

Oleh karena itu, jangan kau cari semua itu dengan amalan²mu. Jangan sibukkan hatimu dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karomah tersebut karena hal itu justru akan mengurangi ibadahmu. 

Oleh sebab itu, orang² berkata, ”Jadilah pencari istiqamah, jangan menjadi pencari karomah.” Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karomah, padahal Tuhanmu menuntutmu untuk istiqamah. Untuk itu, menunaikan hak Tuhanmu lebih baik ketimbang kau menunaikan keinginanmu sendiri. Wallaahu a’lam

42. Tidak Ada Sesuatu pun yg Menghijabi Allah, Manusialah yg Terhijab dari Allah

Hikmah 42 dlm al-Hikam:

“Tidak Ada Sesuatu pun yg Menghijabi Allah, Manusialah yg Terhijab dari Allah”

اَلْحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَإِ نَّمَا الْمَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِ , إِذْلَوْ حَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ مَاحَجَبَهُ , وَلَوْ كَا نَ لَهُ سَاتِرٌ لَكَا نَ لِوُجُو دِهِ حَا صِرٌ , وَكُلُّ حَا صِرٍ لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قَا هِرٌ وَ هُوَ الْقَاهِرُ فَوْ قَ عِبَا دِهِ .

Yang Maha Haq (Allah) tidaklah terhijab. Yg terhijab adalah pandanganmu sehingga kau tak bisa melihat-Nya karena jika Dia dikatakan terhijab, itu artinya, sesuatu menutupi-Nya. Jika Dia tertutupi sesuatu, itu artinya, wujud-Nya terbatas. Segala sesuatu yg terbatas adalah lemah, padahal, “Dia adalah Maha Kuasa (qâhir) atas segala sesuatu.” (QS. Al-An’am (6): 18)

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Terhijab bukanlah sifat Allah Ta’ala. Yg memiliki sifat terhijab hanyalah dirimu sendiri. Jika kau ingin sampai kepada-Nya, kau harus mencari dan mengobati semua kekuranganmu, niscaya kau akan sampai kepada-Nya dan melihat-Nya dengan mata batinmu. 

Hikmah di atas menepis anggapan yg menyatakan bahwa tidak mustahil Allah terhalang oleh hijab karena hijab biasa digunakan oleh para pembesar atau raja untuk memperlihatkan keagungan dan kemuliaannya. Jawaban terhadap anggapan ini adalah, sekiranya Allah terhijab oleh sesuatu, seperti halnya para pembesar dan raja, niscaya Allah terkurung di dalam hijab itu, terpenjara dan terbatas ruang geraknya. Tentu hal itu tidak mungkin terjadi pada Allah Ta’ala, berdasarkan firman-Nya:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِۦ ۚ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ

“Dan Dialah yg berkuasa atas sekalian hamba²Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am (6): 18)

43. Perintah Agama Tentang Sifat² Manusia

Hikmah 43 dlm al-Hikam:

“Perintah Agama Tentang Sifat² Manusia”

اُخْرُجْ مِنْ أَوْ صَافِ بَشَرِ يَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُنَا قِضٍ لِعُبُوْدِيَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِ الْحَقِّ مُجِيْبًا وَمِنْ حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا.

Keluarkanlah sifat² kemanusiaanmu yg berlawanan dengan kehambaanmu agar engkau mudah menyambut panggilan Yang Maha Benar (Allah) dan menjadi  dekat kehadirat-Nya.

Sifat² manusia yg berhubungan dengan faham agama terbagi dua: Lahir yaitu yg dilakukan dengan anggota jasmani, dan Batin yaitu yg berlaku dalam hati (ruhani). Yg berhubungan dengan anggota lahir juga terbagi dua: Yg  sesuai dengan perintah bernama taat dan yg menyalahi perintah bernama maksiat. Demikian pula yg berhubungan dengan hati terbagi dua: Yg sesuai dengan hakikat (kebenaran) bernama iman dan ilmu, dan yg berlawanan dengan hakikat kebenaran bernama nifaq dan kebodohan.

Sifat² yg jelek (rendah) yaitu: Hasud, iri hati, dengki, sombong, mengadu domba, merampok dan gila pangkat, sangat cinta pada dunia, tamak, rakus, dan lain² sebagainya.

Dan dari sifat² jelek ini akan timbul cabang²nya yg berupa permusuhan kebencian, merendah terhadap orang kaya, menghina orang miskin, bermuka dua, sempit dada, hilang kepercayaan terhadap jaminan Allah, kejam, tidak punya malu dan lain² sebagainya.

Apabila seseorang telah dapat mengusir dan membersihkan diri dari sifat² yg rendah, yg bertentangan dengan kehambaan itu, maka pasti ia akan sanggup menerima dan menyambut tuntunan Allah Ta’ala baik yg langsung dalam ayat² Al-Qur’an atau yg berupa tuntunan dan contoh yg diberikan oleh Rasulullah Saw. Dan dengan demikian berarti ia telah mendekat kehadirat Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Keluarkanlah dari dirimu sifat² kemanusiaan yg tercela dengan riyadhah dan mujahadah; baik itu sifat² tercela yg lahir (seperti suka melakukan ghibah, mengadu domba, membunuh, dan merampas), maupun yg batin (seperti sombong, ujub, riya,‘ sum’ah [ingin terkenal], dengki, gila kehormatan, gila harta, dan sebagainya). 

Jauhkan dirimu dari sifat² yg bertentangan dengan predikat kehambaanmu agar kau mudah menjawab seruan Yang Haq. Ketika kau berhasil mengeluarkan sifat² tercelamu dan menyisakan sifat² baikmu (seperti tawadhu’ [rendah hati] karena Allah, khusyuk di hadapan-Nya, mengagungkan perintah-Nya, menjaga hukum²-Nya, takut kepada-Nya, dan ikhlas dalam menyembah-Nya), maka di saat datang seruan kepadamu, ”Wahai hamba-Ku!” kau pun akan dengan mudahnya menjawab, ”Labbaik, Tuhanku!” Kau pun akan tulus dan ikhlas dalam menjawab seruan itu karena sifat² yg bertentangan dengan kehambaanmu itu telah hilang darimu. Kau pun akan dekat dengan-Nya sehingga Dia akan menjagamu dari dosa (mahfuz) dan memudahkan segala amalmu yg kelak akan kau nikmati hasilnya. 

Ada perbedaan makna antara mahfuz (terjaga dari dosa) dengan lafadz ma’shum (terlindungi dari dosa). Bedanya adalah, ma’shum sama sekali tidak pernah menyentuh dosa, sedangkan mahfuz terkadang melakukan kesalahan dan kekeliruan, tetapi tidak selamanya demikian. Saat keliru, seorang yg mahfuz akan langsung bertaubat. 

Ketahuilah, di mata ahli tarekat, menjauhi sifat buruk dan memiliki sifat mulia merupakan hakikat dan tujuan dari suluk. Hal itu tidak akan bisa diraih, kecuali oleh orang yg diberi taufik dan bimbingan Allah untuk mengenali dirinya sendiri dan mengetahui sifat² buruknya. Karena siapa yg sudah mengenali dirinya dan sifat² buruknya, ia akan waspada dan berusaha menghindari sifat² buruknya. Jika tidak demikian, secara tidak disadarinya, ia akan terjerumus ke dalam hal² yg dibenci Tuhannya. Wallaahu a’lam

44. Pangkal Setiap Kelalaian Dan Maksiat Adalah Merasa Puas Diri (1)

Hikmah 44 dlm al-Hikam:

“Pangkal Setiap Kelalaian Dan Maksiat Adalah Merasa Puas Diri”

أَصْلُ كُلِّ مَعْصِيَةٍ وَغَفْلَةٍ وَشَهْوَةٍالرِّضَاعَنِ النَّفْسِ , وَأَصْلُ كُلِّ طَاعَةٍ وَيَقَظَةٍ وَعِفَّةٍ عَدَمُ الرِّضَامِنْكَ عَنْهَا.

Pokok dari semua maksiat dan kelalaian serta syahwat itu, karena ingin memuaskan nafsu. Sedangkan pokok dari segala ketaatan, kesadaran dan kesopanan akhlak budi, ialah karena ada pengekangan (penahanan) terhadap hawa nafsu.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِالسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yg diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf (12): 53)

Abu Hafsh berkata:

Siapa yg tidak menuduh hawa nafsunya sepanjang masa, dan tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak menariknya ke jalan kebaikannya, maka ia telah tertipu. Dan siapa yg memandang padanya dengan merasa sudah baik, berarti telah membinasakannya.

Syaikh Junayd al-Baghdadi qs. berkata:

Jangan mempercayai hawa nafsumu, meskipun telah lama taat kepadamu, untuk berbuat ibadah kepada Tuhanmu.

Al-Bushiry dalam Burdahnya berkata:

Tentang selalu hawa nafsu dan setan dan jangan menurutkan keduanya itu memberi nasehat kepadamu untuk berbuat kebaikan, tetap engkau harus curiga dan berhati-hati.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Maksiat berarti menentang semua perintah dan larangan Allah. Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti ketergantungan terhadap sesuatu yg menyibukkan diri dan membuat lupa dari Allah Ta’ala.

Menurut orang² ‘arif, sebab dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutup-nutupi aib dan kesalahannya sehingga yg buruk akan dijadikannya baik. Siapa yg puas dengan keadaan dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yg menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai dari Allah. Sehingga, hatinya tidak lagi mampu mengawasi dan mengendalikan bisikan² syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yg dikuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus pada maksiat. 

Adapun ketaatan berarti melaksanakan segala perintah dan larangan Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang kehadiran Tuhan dan hal² yg diridhai-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad dan kebersihannya dari syahwat. 

Pangkal dari segala ketaatan dan kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri. Jika seseorang tidak puas dengan keadaan dirinya sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala yg datang dan menyerang. 

Dengan sikap waspada dan sadar ini, ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini bisikan² hatinya. Saat itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya. Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan Allah dan mentaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah. 

Sikap puas terhadap keadaan diri sendiri adalah sikap orang² yg mempelajari ilmu lahir yg tidak mau mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Atha‘illah melarang kita untuk berteman dengan orang² semacam itu. Wallaahu a’lam

45. Pangkal Setiap Kelalaian Dan Maksiat Adalah Merasa Puas Diri (2)

Hikmah 45 dlm al-Hikam:

وَلأَنْ تَصْحَبَ جَا هِلًا لَا يَرْ ضَى عَنْ نَفْسِهِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَصْحَبَ عَا لِمًا يَرْ ضَى عَنْ نَفْسِهِ , فَأَ يُّ عِلْمٍ لِعَا لِمٍ  يَرْ ضَى عَنْ نَفْسِهِ وَأَ يُّ جَهْلٍ لِجَا هِلٍ لَا يَرْ ضَى عَنْ نَفْسِهِ ؟

Berteman dengan orang bodoh yg tidak puas dengan keadaan dirinya, lebih baik bagimu daripada berteman dengan orang berilmu yg puas dengan keadaan dirinya. Di mana letak berilmunya orang berilmu yg puas dengan dirinya itu? Di mana pula letak bodohnya orang bodoh yg tidak puas terhadap dirinya itu?

Orang yg tidak ridho dengan nafsunya akan selalu menganggap dirinya belum baik dan akhlaknya masih jelek. Orang seperti ini baik untuk dijadikan sahabat, karena sangat banyak manfaatnya bagimu, kebodohannya tidak akan membahayakan dirimu.

Bagaimana akan dinamakan bodoh, seseorang yg telah dapat menahan dan mengekang hawa nafsunya, sehingga membuktikan bahwa semua amal perbuatannya hanya semata² untuk keridhaan Allah dan bersih dari dorongan hawa nafsu. Sebaliknya, apalah arti suatu ilmu yg tidak dapat menahan atau memimpin hawa nafsu dari kebinatangan dan kejahatannya.

Dalam sebuah hadits ada keterangan: “Seorang akan mengikuti pendirian sahabat karibnya, karena itu hendaknya seseorang itu memperhatikan, siapakah yg harus diambil sebagai sahabat.”

Seorang penyair berkata: “Barang siapa bergaul dengan orang² yg baik, akan hidup mulia. Dan yg bergaul dengan orang² yg rendah akhlaqnya pasti tidak mulia.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Orang bodoh ialah orang yg tidak memiliki ilmu lahir. Tidak puas dengan keadaan diri sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina atau menyadari kekurangannya. 

Tidaklah baik berteman dengan seseorang yg puas dengan keadaan dirinya sendiri walaupun ia seorang yang alim (orang berilmu). Bagaimanapun, pertemanan dapat mendatangkan pengaruh yg besar padamu. Ketika kau berteman dengan alim yg sudah berpuas diri, kau bisa mendapatkan sifat buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam melembutkan jiwamu. Kebodohan yg membuat orang alim puas diri itulah yg berbahaya bagimu. Seakan ia bukan orang yg berilmu karena rela dengan aib yg dimiliki dirinya. 

Sebaliknya, berteman dengan orang bodoh yg tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik dan lebih bermanfaat bagimu. Biasanya, tabiat seseorang di dapat dari tabiat orang lain; nafsu selalu terdorong untuk mengikuti orang yg di anggap baik kondisinya. Oleh karena itu, kebodohan orang bodoh tidak akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya – yg membuatnya tidak puas terhadap keadaan dirinya – justru amat berguna bagimu. Seakan ia bukan orang bodoh karena mengetahui kekurangan dirinya sampai tidak merasa puas terhadap dirinya. Dengan demikian, orang bodoh yg tahu kekurangan dirinya bisa disebut orang yg memiliki ilmu. Oleh karena itu, bergaul dengan orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik bagimu. Wallaahu a’lam

46. Mata Hati & Penyaksian kepada-Nya

Hikmah 46 dlm al-Hikam:

شُعَا عُ الْبَصِيْرَ ةِ يُشْهِدُ كَ قُرْبَهُ مِنْكَ , وَعَيْنُ الْبَصِيرَ ةِ يُشْهِدُ كَ  عَدَ مَكَ لِوُجُوْدِهِ , وَحَقُّ الْبَصِيرَ ةِ يُشْهِدُ كَ وُجُوْدَهُ لَا عَدَمَكَ وَلَا وُجُوْدَكَ.

Sinar mata hati membuatmu menyaksikan kedekatan-Nya denganmu. Penglihatan mata hati membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena keberadaan-Nya. Hakikat mata hati membuatmu menyaksikan keberadaan-Nya, bukan ketiadaanmu dan bukan pula keberadaanmu.

Salik dalam perjalanannya menuju Allah Ta’ala akan ada Nur dari Allah tiga macam:

1. Syu’aa ‘ul-bashirah yaitu cahaya akal.

2. Ainul-bashirah yaitu cahaya ilmu.

3. Haqqul-bashirah yaitu cahaya Ilahi.

Dan semua nur tersebut akan menimbulkan macam² buah dan faedah yg penting.

Maka orang² yg menggunakan akal mereka, masih merasa adanya dirinya dan dekatnya kepada Tuhan [yakni, Allah selalu meliputi dan mengurung mereka]. Sedang orang² yg menggunakan nurul ilmi merasa dirinya tidak ada jika dibanding dengan adanya Allah. Sedang ahli hakikat hanya melihat kepada Allah dan tidak melihat apapun di samping-Nya. Bukannya mereka tidak melihat adanya alam sekitarnya, tetapi karena alam sekitarnya itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhajat kepada Allah, maka adanya alam ini tidak menarik perhatian mereka, karena itu mereka menganggap bagaikan tidak ada.

Sebagian ulama ahli tarekat berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai hakikatnya tawadhu’ kecuali sudah bersinarnya hati dengan nur musyahadah. Dan ketika hati sudah bersinar maka nafsunya akan lebur dan bisa menetapi kebenaran dan akhlak yg baik.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Sinar mata hati sering disebut dengan cahaya akal dan ’ilmul yaqin. Penglihatan mata hati sering disebut dengan cahaya ilmu dan ‘ainul yaqin. Hakikat mata hati sering disebut dengan cahaya kebenaran dan haqqul yaqin

Cahaya² Ilahi tersebut akan menyinari hati seorang salik. Setiap cahaya tersebut memiliki buah dan manfaatnya sendiri². 

Seseorang berkata, ”Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat tawadhu’, kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah dari hatinya.” Saat itu, nafsunya akan larut dan tunduk pada sang Khaliq dan bersikap rendah hati di hadapan makhluk. 

Melalui hikmah ini, Syaikh Ibnu Atha‘illah as-Sakandari qs. menjelaskan bahwa orang yg terbuka dengan cahaya pertama akan merasa kedekatan Allah. Ia akan selalu sadar pengawasan Allah dan malu kepada-Nya. Ia merasa bahwa pandangan Allah tidak pernah luput darinya, baik itu di saat ia melaksanakan perintah-Nya maupun di saat menjauhi larangan-Nya. 

Orang yg terbuka dengan cahaya kedua akan merasa ketiadaan segala yg wujud karena“ wujud Tuhan Yang Maha Haq. Ia akan melihat bahwa alam semesta ini tidak ada dan tidak memperdulikannya lagi karena wujud alam semesta ini hanyalah akibat dari wujud Yang Maha Mawjud. Wujud hakiki hanyalah milik Allah Ta’ala. Dalam pandangannya, tak ada lagi yg dijadikan sandaran atau ternpat berkeluh kesah, kecuali Allah. Ia hanya akan bertawakal kepada-Nya, ridha, dan memasrahkan diri kepada-Nya. 

Sementara itu, orang yg terbuka dengan cahaya ketiga akan memiliki dzat dan jiwa yg suci. Ia akan merasa kefana’an secara total. Kefana’an yg abadi karena luluh dengan wujud Tuhannya. Rahasia² Ilahi pun terkuak di hadapannya. Jika ia naik dari kefana’an total itu, ia akan menempati maqam keabadian. 

Penulis Al-‘Awarif berkata, ”Orang yg abadi di satu maqam tidak akan dihalangi Allah dari makhluk dan tidak akan dihalangi makhluk dari Allah, sedangkan orang yg fana’ akan terhalangi oleh Yang Maha Haq dari makhluk.” Wallaahu a’lam

47. Allah Maha Esa, Selalu

Hikmah 47 dlm al-Hikam:

كَانَ اللهُ وَلَا شَيْ ءَ مَعَهُ , وَهُوَ الْآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ.

telah ada Allah, dan (sebelum adanya makhluk) telah ada Allah, dan tiada sesuatu di samping-Nya, dan DIA kini sebagaimana ada-Nya semula.

Keadaan seperti ini adalah keadaan orang yg sudah berada di maqam fana’, dia tiada melihat sesuatu kecuali Allah Ta’ala. Bagaikan seseorang di dalam gedungnya, kemudian ia mengisi rumah dengan perabot dan boneka atau patung, lalu ditanya: ‘Siapakah yg ada di dalam gedung itu?’ Jawabnya: ‘Hanya dia seorang’, yakni semua boneka dan patung itu tidak dapat disebut sebagai temannya. Demikian pun orang ahli hakikat tidak melihat adanya sesuatu yg dapat disebut selain Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Ini adalah kondisi orang yg menduduki maqam kefana’an. Ia tidak lagi melihat selain Tuhannya (musyahid). Dalam pandangannya, Tuhan masih tetap sebagaimana ada-Nya semula. 

Seorang musyahid meyakini bahwa wujud hakiki hanya milik Allah Ta’ala, sedangkan selain-Nya tidak memiliki wujud. Sifat wujud itulah yg melekat pada Allah Ta’ala sekarang dan sebelum musyahid itu mengetahuinya. Ketidaktahuan musyahid tentang Tuhan sebelum itu tak lain karena adanya hijab. Wallaahu a’lam

48. Al-Karim Tumpuan Segala Hajat

Hikmah 48 dlm al-Hikam:

لَاتَتَعَدَّبِيَّةُ هِمَّتِكَ إِلَى غَيْرِهِ فَالْكَرِيْمُ لَا تَتَخَطَّاهُ الْآمَالُ.

“Al-Karim Tumpuan Segala Hajat”

“Jangan melampaui/melanggar niat dan tujuanmu [hasrat dan harapanmu] kepada lain-Nya. Maka Tuhan yg Maha Pemurah itu tidak dapat di lampaui oleh sesuatu harapan (angan²) hamba.”

Sebaiknya bagi orang yg mengharapkan berhasil hajatnya, jangan meminta kapada selain Allah Ta’ala (makhluk), karena itu bertentangan dengan sifat ubudiyah. Itu kalau permintaan itu disandarkan/bergantung pada makhluk, dan lupa pada Allah ketika berdoa. Apabila permintaan pada makhluk (manusia) menjadi perantara untuk meminta kepada Allah, dan selalu memandang Allah-lah Dzat yg memberi. Permintaan seperti ini masih diperbolehkan.

Perasaan yg luhur enggan membuka kebutuhan [hajat]-nya kepada orang yg tidak dermawan, dan tidak ada yg dermawan pada hakikat yg sebenarnya kecuali Allah Ta’ala.

Syaikh Junayd al-Baghdadi qs. berkata: ”Dermawan [Al-Karim] itu ialah yg memberi kebutuhan seseorang sebelum diminta.”

Ada pula pendapat: ”Dermawan [Al-Karim] ialah yg tidak pernah mengecewakan harapan orang yg berharap.”

Dermawan [Al-Karim] yaitu apabila berkuasa memaafkan, dan bila berjanji menepati, dan bila memberi lebih memuaskan dari harapan, dan tidak memperdulikan tentang berapa banyak pemberiaannya, dan kepada siapa ia memberikannya.

Al-Karim adalah salahsatu dari Asma’ul Husna. Asma’ ini memberi pengertian yg istimewa tentang Allah.

Al-Karim berarti:

1. Allah Maha pemurah.

2. Allah memberi tanpa diminta.

3. Allah memberi sebelum diminta.

4. Allah memberi apabila diminta.

5. Allah memberi bukan karena permintaan tetapi cukup sekedar harapan, cita² dan angan² hamba²Nya. Allah tidak mengecewakan harapan hambanya.

6. Allah memberi lebih baik daripada apa yg diminta dan diharapkan oleh para hamba-Nya.

7. Allah Yang Maha Pemurah tidak dikira berapa banyak yg diberikan-Nya dan kepada siapa Dia memberi.

8. Paling penting, demi kebaikan hamba-Nya sendiri, Allah memberi dengan bijaksana, dengan cara yg paling baik, masa yg paling sesuai dan paling bermanfaat kepada si hamba yg menerimanya.

Sekiranya para hamba mengenali Al-Karim niscaya permintaan, harapan dan angan²nya tidak tertuju kepada yg lain melainkan kepada-Nya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jangan sampai kau menuju kepada selain Allah dalam memenuhi kebutuhanmu. Akan tetapi, ungkapkan hajatmu kepada-Nya dan mintalah dari-Nya. Tekad yg tinggi selalu mencari pemenuhan kebutuhannya kepada sosok yg mulia; dan tak ada yg benar² mulia, kecuali Allah Ta’ala. Setiap orang yg mulia, jika sudah menetapkan sesuatu, pasti akan memenuhinya; jika berjanji, akan menepatinya; jika memberi, akan menambahkan pemberiannya melebihi harapan. Dia tidak peduli berapa banyak dan kepada siapa dia memberi. Dia tidak mengurangi dan tidak pernah mengecewakan siapa pun yg berlindung kepadanya. Dia akan mencukupinya dengan segala pertolongan. Sifat² ini tidak dimiliki selain oleh Allah Ta’ala. Karena itu, selayaknya harapan dan asa para pengharap tidak boleh melewatinya dan menuju kepada selain-Nya. 

Ketahuilah bahwa meminta kepada makhluk dianggap bertentangan dengan ubudiyah (penghambaan di hadapan-Nya) bila didasari oleh rasa bergantung pada makhluk dan lalai untuk meminta kepada Allah. Lain halnya bila permintaan tersebut di iringi dengan keyakinan bahwa makhluk yg dimintainya itu hanyalah wasilah (perantara), tetapi yg sebenarnya memberi adalah Allah sebagai satu²nya tempat bergantung. Ini tidak bertentangan dengan ubudiyah. Wallaahu a’lam

49. Jangan Mengadu Kepada Selain Allah

Hikmah 49 dlm Al-Hikam:

“Jangan Mengadu Kepada Selain Allah”

لاَ تـَرْفَعَنَّ اِلىَ غيرِهِ حاَجَةً هُوَ مُورِدُهاَ عَليْكَ فكَيْفَ يَرْفَعُ غيرَهُ ماكانَ هُوَ لهُ واضِعاً مَنْ لاَيَسْتَطِيعُ ان يَرْفَعَ حاَجةً عن نَفْسِهِ فَكيْفَ يَسْتَطِيعُ اَنْ يَكونَ لهاَ عَن غيرِهِ راَفِعاً

“Jangan mengadu dan meminta sesuatu kebutuhan/hajat selain kepada Allah, sebab DIA sendiri yg memberi dan menurunkan kebutuhan itu kepadamu. Maka bagaimanakah sesuatu selain Allah akan dapat menyingkirkan sesuatu yg diletakkan oleh Allah. Barangsiapa yg tidak dapat menyingkirkan bencana yg menimpa dirinya sendiri, maka bagaimanakah ia akan dapat menyingkirkan bencana yg ada pada orang lain.”

Adanya sesuatu bencana [musibah] itu menyebabkan engkau berhajat [butuh] kepada bantuan [pertolongan], maka dalam tiap kebutuhan [hajat] jangan mengharap selain kepada Allah, sebab segala sesuatu selain Allah itu juga berhajat seperti engkau. Sebab barangsiapa yg menyandarkan [menggantungkan nasib] pada sesuatu selain Allah, berarti ia tertipu oleh sesuatu bayangan fatamorgana, sebab tidak ada yg tetap selain Allah yg selalu tetap karunia dan nikmat serta rahmat-Nya kepadamu.

Syaikh Atho’ al-Khurasani berkata: “Saya bertemu dengan Wahab bin Munabbih di suatu jalan, maka saya berkata, ‘Ceritakanlah kepadaku suatu hadits yg dapat saya ingat, tetapi persingkatlah.’

Maka berkata Wahab, “Allah telah mewahyukan kepada Nabi Dawud as.: Wahai Dawud, demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, tidak ada seorang hamba-Ku yg minta tolong kepada-Ku, tidak pada selainnya, dan Aku ketahui yg demikian dari niatnya, kemudian orang itu akan ditipu oleh penduduk langit yg tujuh dan bumi yg tujuh, melainkan pasti Aku akan menghindarkannya dari semua itu, sebaliknya demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, tidak ada seorang yg berlindung kepada seorang makhluk-Ku, tidak kepada-Ku dan Aku ketahui yg demikian dari niatnya, melainkan Aku putuskan rahmat yg dari langit, dan Aku longsorkan bumi di bawahnya, dan tidak Aku pedulikan dalam lembah dan jurang yg mana ia binasa.”

Syakih Muhammad bin Husain bin Hamdan berkata: “Ketika saya di majlis Yazid bin Harun, saya bertanya kepada seseorang yg duduk disampingku, ‘Siapakah namamu?’ Jawabnya. ‘Said’. Saya bertanya, ‘Siapakah gelarmu?’ Jawabnya, ‘Abu Usman’. Lalu saya bertanya tentang keadaannya. Jawabnya, ‘Kini telah habis belanjaku. Lalu saya tanya, ‘Dan siapakah yg engkau harapkan untuk kebutuhanmu itu?’ Jawabnya. ‘Yazid bin Harun. Maka saya berkata kepadanya, ‘Jika demikian, maka ia tidak menyampaikan hajatmu, dan tidak akan membantu meringankan kebutuhanmu.’

Dia bertanya, ‘Dari mana engkau mengetahui hal itu?’ Jawabku, ‘Saya telah membaca dalam sebuah kitab: Bahwasanya Allah telah berfirman: Demi kemuliaan-Ku dan kebesaran-Ku, dan kemurahan-Ku dan ketinggian kedudukan-Ku, di atas Arsy. Aku akan mematahkan harapan orang yg mengharap kepada selain-Ku dengan kekecewaan, dan akan Aku singkirkan ia dari dekat-Ku, dan Aku putuskan dari hubungan-Ku. Mengapa ia berharap selain Aku dalam kesukaran, padahal kesukaran itu di tangan-Ku, dan Aku dapat menyingkirkannya, dan mengharap kepada selain Aku serta mengetuk pintu lain padahal kunci pintu² itu tertutup, hanya pintu-Ku yg terbuka bagi siapa yg berdoa kepada-Ku. Siapakah yg pernah mengharapkan Aku untuk menghalaukan kesukarannya lalu Aku kecewakan? Siapakah yg pernah mengharapkan Aku karena besar dosanya, lalu Aku putuskan harapannya? Atau siapakah yg pernah mengetuk pintu-Ku, lalu tidak Aku bukakan? Aku telah mengadakan hubungan yg langsung antara-Ku dengan angan² dan harapan semua makhluk-Ku, maka mengapakah engkau bersandar kepada selain-Ku. Dan Aku telah menyediakan semua harapan hamba-Ku, tetapi tidak puas dengan perlindungan-Ku, dan Aku telah memenuhi langit-Ku dengan makhluk yg tidak jemu bertasbih kepada-Ku dari para Malaikat, dan Aku perintahkan mereka supaya tidak menutup pintu antara-Ku dengan para hamba-Ku, tetapi mereka tidak percaya kepada firman-Ku. Tidakkah engkau mengetahui bahwa barangsiapa yg ditimpa oleh bencana yg Aku turunkan, tidak ada yg dapat menyingkirkan selain Aku, maka mengapakah Aku melihat ia dengan segala angan² dan harapannya selalu berpaling dari pada-Ku, mengapakah ia tertipu oleh selain-Ku. Aku telah memberi kepadanya dengan kemurahan-Ku apa² yg tidak ia minta, kemudian Aku yg mencabut dari padanya lalu ia tidak minta kepada-Ku untuk mengembalikannya, dan ia minta kepada selain-Ku. Apakah Aku yg memberi sebelum di minta, kemudian jika dimintai lalu tidak memberi kepada peminta?

Apakah Aku bakhil [kikir], sehingga dianggap bakhil oleh hamba-Ku. Tidakkah dunia dan akhirat itu semua milik-Ku? Tidakkah semua rahmat dan karunia itu di tangan-Ku? Tidakkah dermawan dan kemurahan itu sifat-Ku? Tidakkah hanya Aku tempat semua harapan? Maka siapakah yg dapat memutuskan dari pada-Ku. Dan apa pula yg diharapkan oleh orang² yg mengharap, andaikata Aku berkata kepada semua penduduk langit dan bumi: Mintalah kepada-Ku, kemudian Aku memberi kepada masing² orang pikiran apa yg terpikir pada semuanya, lalu Aku beri semua itu tidak akan mengurangi kekayaan-Ku walau pun sekecil debu? Maka bagaimana akan berkurang kekayaan yg lengkap, sedang Aku yg mengawasinya?

Alangkah sial [celaka] orang yg putus dari rahmat-Ku, alangkah kecewa orang yg maksiat kepada-Ku dan tidak memperhatikan Aku, dan tetap melakukan yg haram dan tiada malu kepada-Ku’. Maka orang itu berkata: ‘Ulangilah keteranganmu itu, lalu ia menulisnya.’

Kemudian ia berkata: “Demi Allah, setelah ini saya tidak usah menulis suatu keterangan yg lain’.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Jika ada musibah yg menimpamu, jangan kau meminta kepada selain Allah untuk menghilangkannya karena yg menurunkan musibah itu adalah Allah. Ingat, Allahlah Yang Unggul dan tak ada yg bisa mengalahkan-Nya. 

Orang yg tak bisa mengangkat musibahnya sendiri mustahil mampu mengangkat musibah yg menimpa orang lain. 

Kesimpulannya, siapa pun selain Allah, sekalipun itu seorang raja, tidak akan mampu mengangkat musibah orang lain. Selain itu, ia pun tentu lebih mencintai dirinya sendiri daripada orang lain. Demikian pula, jika memang benar ia mampu memberi manfaat kepada orang lain, tentu ia akan mendatangkan manfaat kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Namun kenyataannya, ia tidak mampu mendatangkan itu. Perlu di ingat, tak ada kelemahan melebihi kelemahan dalam memberi manfaat kepada diri sendiri.

Oleh karena itu, teramat sempit akalmu jika dalam hajat dan musibahmu kau bergantung pada orang yg juga butuh pertolongan seperti dirimu. Wallaahu a’lam

50. Husnudzan Terhadap Allah

Hikmah 50 dlm al-Hikam:

“Husnudzan Terhadap Allah”

اِن لَمْ تُحْسِنْ ظَنـَّكَ بِهِ لاَجْلِ حُسنِ وَصْفِهِ فَحَسِّنْ ظَنـَّكَ بهِ لِوُجوُدِ مُعَامَلتِهِ مَعَكَ فَهَلْ عَوَّدَكَ الاَّ حَسَناً اَسدىَ اِليكَ الاَّ مَنَناً

“Jika engkau tidak bisa berbaik sangka [husnudzan] terhadap Allah Ta’ala karena Sifat² Allah yg baik itu, berbaik sangkalah kepada Allah karena karunia pemberian-Nya kepadamu. Tidakkah selalu ia memberi nikmat dan karunia-Nya kepadamu?”

Manusia dalam hal husnudzan kepada Allah itu ada dua golongan:

1. Golongan khas-shah, yaitu orang yg berhusnudzan kepada Allah karena melihat Sifat² Allah yg bagus dan tinggi.

2. ‘Ammah, yaitu orang yg berhusnudzan kepada Allah karena macam²nya nikmat Allah dan anugrah dari Allah yg tidak bisa terhitung.

Apabila engkau tidak dapat berbaik sangka terhadap Allah, karena Allah itu bersifat: Rabbul ‘Alamiin [Tuhan yg mencipta, melengkapi, memelihara dan menjamin seisi alam, Ar-Rahman, Ar-Rahim: Pemurah, Penyayang]. Maka sudah selayaknya engkau harus berbaik sangka kepada Allah, karena tiada henti²nya nikmat dan karunia Allah atas dirimu dan anak keluargamu. Yakni sejak engkau berupa sperma hingga matimu. Dan sebaik-baik khusnudzan [baik sangka] terhadap Allah di waktu menerima nikmat Allah yg berupa ujian [musibah], bagaikan ayah yg menyambut anak yg disayang, demi untuk kebaikan anak itu sendiri.

Allah berfirman:

وَعَسٰىٓ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسٰىٓ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2): 216)

فَعَسٰىٓ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Maka mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, sedang Allah telah menjadikan padanya kebaikan yg banyak.” (QS. An-Nisa’ (4): 19)

Jabir ra. berkata: “Rasulullah Saw.  bersabda:

‘Barangsiapa yg dapat melakukan khusnudzan [baik sangka] kepada Allah, sehingga ia tidak akan mati kecuali tetap dalam khusnudzan terhadap Allah, maka hendaklah ia melakukannya’.” Kemudian ia membaca ayat:

وَذٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِى ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدٰىكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِّنَ الْخٰسِرِينَ

“Dan yg demikian itu adalah prasangkamu yg telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang² yg merugi.” (QS. Fussilat (41): 23)

Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya berbaik sangka kepada Allah itu, sebaik-sebaik melakukan ibadah kepada Allah.”

Ibnu Mas’ud ra. bersumpah: “Demi Allah tidak ada orang yg berbaik sangka terhadap Allah, melainkan pasti Allah akan memberikan kepadanya apa yg ia sangka, sebab kebaikan itu semuanya di tangan Allah, maka apabila Allah telah memberi khusnudzan, berarti Allah akan memberi apa yg disangkanya itu. Maka Allah yg memberinya khusnudzan [baik sangka] berarti akan melaksanakannya.”

Abu Said al-Khudry ra. berkata: “Rasulullah Saw. menjenguk orang sakit, maka Rasulullah Saw. bertanya kepada orang yg sakit itu, ‘Bagaimanakah persangkaanmu terhadap Tuhanmu?’ Jawabnya, ‘Wahai Rasulullah, aku khusnudzan [baik sangka]’. Maka bersabda Rasulullah Saw., ‘Sangkalah sesukamu kepada Allah, maka Allah selalu akan memberi apa yg disangkakan oleh orang mukmin’.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Dalam hikmah ini, Syaikh Ibnu Atha‘illah mengisyaratkan bahwa dalam berbaik sangka kepada Allah, manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan khusus dan golongan awam. 

Golongan khusus berbaik sangka kepada Allah atas Sifat²Nya yg baik. Sementara itu, golongan umum berbaik sangka kepada Allah atas perlakuan-Nya yg baik terhadap diri mereka, berupa karunia dan nikmat yg telah diberikan-Nya kepada mereka. 

Ada perbedaan yg mencolok antara dua maqam tersebut. Syaikh Ibnu Atha‘illah seakan berkata, ”Wahai murid, kau harus berbaik sangka kepada Allah secara mutlak, baik itu atas manfaat yg telah diberikan-Nya maupun bahaya yg telah dijauhkan-Nya darimu. Kau tidak boleh berpaling kepada selain-Nya. Jika kau tak sanggup berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang khusus, kau bisa berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang awam.

Sikap berbaik sangkamu kepada Allah atas kebaikan Sifat²Nya akan menumbuhkan cinta dan tawakkal yg benar kepada-Nya. Baik sangkamu kepada-Nya atas perlakuan-Nya yg baik terhadapmu akan membuahkan syukur atas nikmat dan rahmat-Nya. Wallaahu a’lam

51. Aneh Dan Ajaib

Hikmah 51 dlm al-Hikam:

“Aneh Dan Ajaib”

الْعَجَبُ كُلُّ العًَجَبِ مِمّاَ لاَ انْفِكاَكَ لهُ عَنْهُ وَيَطلُبُ ما لاَ بَقاَءَ لهُ مَعَهُ فاِنـّهَاَ لاَ تَعْمَى الاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعمىَ الْقُلوْبُ الَّتىِ فِى الصُّدُورِ

Keanehan yg sangat mengherankan [ajaib] terhadap orang yg lari dari Allah yg sangat dibutuhkan, dan tidak dapat lepas daripadanya, dan berusaha mencari apa yg tidak akan kekal padanya. Sesungguhnya bukan mata kepala yg buta, tetapi yg buta ialah mata hati yg di dalam dada.

Hikmah 46, menceritakan tentang tingkatan makrifat yg dicapai melalui penyaksian mata hati. Makrifat melalui mata hati diperoleh dengan cara bertauhid. Hikmah 47, menggambarkan tentang tauhid yg tertinggi. Tingkatan yg tertinggi itu tidak mudah dicapai. Jalan untuk mencapainya adalah dengan menghapuskan semua jenis syirik, yg lahir dan yg batin/samar. Hikmah 48 hingga 50 menceritakan tentang syirik yg samar, yaitu hati bukan bergantung kepada Allah saja tetapi pada makhluk yg sama, ia juga berharap kepada makhluk, lantaran kurang keyakinannya kepada Allah, atau karena menyangka makhluk bisa melakukan sesuatu yg memberi bekas kepada perjalanan takdir Ilahi.

Syirik yg demikian dirumuskan oleh Hikmah 51 ini dengan mengatakan bahwa itu semua terjadi akibat buta mata hati. Sekiranya mata hati dapat melihat tentu dilihatnya bahwa dalam keadaan apa saja dia tidak terlepas dari qudrat dan Iradat Allah Ta’ala Dia tidak akan dapat melepaskan dirinya dari Allah. Allah mempunyai segala sifat² iftiqar yg menyebabkan semua makhluk-Nya tidak ada jalan melainkan bergantung kepada-Nya.

Seseorang yg melarikan diri dari panggilan Tuhan untuk beribadah semata-mata karena ingin memuaskan hawa nafsu dan syahwatnya, suatu fakta butanya mata hatinya, sebab ia telah mengutamakan bayangan dari pada hakikat, mengutamakan yg sementara dan meninggalkan keabadian, mengutamakan yg dapat binasa dari pada yg tetap kekal untuk selama-lamanya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Sungguh mengherankan! Orang yg ingin menghindari Allah dengan tidak melakukan apa yg sudah ditetapkan-Nya untuknya dan lebih suka mencari dunia dan perkara² selain-Nya karena mengikuti hawa nafsu. 

Tindakan seperti ini bersumber dari kebutaan mata hati dan kebodohannya tentang Tuhannya karena ia menukar sesuatu yg teramat baik dengan sesuatu yg hina. Ia juga lebih mengutamakan yg fana daripada yg kekal dan tak bisa dihindarinya. Sekiranya ia memiliki mata hati yg tajam, niscaya ia takkan melakukan hal itu. Wallaahu a’lam

52. Pindahlah Dari Alam (Makhluk) Kepada Pencipta Alam (1)

Hikmah 52 dlm al-Hikam:

“Pindahlah Dari Alam (Makhluk) Kepada Pencipta Alam”

لاَتـَرْحَلْ منْ كوْنٍ الىَ كَونٍ فَتَكُونَ كَحِماَر سلرَّحىٰ يَسِيْرُ وَالمكانُ الَّذِىْ ارْتَحَلَ اليهِ هُوَالَّذي ارْتـَحلَ مِنهُ ولٰكِنْ ارْحَلْ من الاَكوَانِ الى المُكَوِّنِ. وَاِنَّ الىٰ رَبِّكَ المُنْتَهٰى

Jangan berpindah dari satu alam (makhluk) ke alam (makhluk) yg lain, berarti sama dengan himar [keledai] yg berputar di sekitar penggilingan, ia berjalan menuju ke tempat tujuan, tiba² itu pula tempat yg ia mula² berjalan dari padanya, tetapi hendaklah engkau pergi dari semua alam menuju kepada Pencipta alam; Sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan.

Keadaan orang yg tidak dapat melepaskan dirinya dari syirik adalah umpama seekor keledai yg terikat dan berputar menggerakkan batu penggiling. Walaupun jauh jarak yg dijalaninya, namun dia senantiasa kembali ke tempat yg sama. Jika ia mau bebas perlulah ia melepaskan ikatannya dan keluar dari bulatan yg sempit.

Orang yg mau membebaskan dirinya dari syirik secara keseluruhan, hendaklah membebaskan perhatian hatinya dari semua perkara kecuali Allah.

Keluar dari bulatan alam dan masuk kepada Wujud Mutlak.

Jangan berpindah dari syirik yg terang ke alam syirik yg samar. Amal kebaikan yg di nodai oleh riya’, sum’ah [mengharap pujian orang], tidak dianggap oleh syari’ah [tidak di terima oleh Allah]. Dan apabila telah bersih dari semua itu, kemudian beramal karena terdorong oleh menginginkan kedudukan atau kekayaan atau karamah dunia atau akhirat, semua itu masih termasuk alam hawa nafsu, dan belum mencapai tujuan ikhlas yg bersih dari segala tujuan selain hanya kepada Allah, yakni tanpa pamrih. Karena itu selama berpindah dari alam ke alam tidak berbeda, bagaikan keledai yg berputar di sekitar penggilingan, tetapi seharusnya sekali berangkat dari alam ini, langsung menuju kepada Pencipta alam.

Karena itu Nabi Isa as. pernah berkata kepada sahabat hawariyyin: “Semua yg ada padamu dari berbagai nikmat kesenangan itu langsung dari karunia Allah kepadamu, maka manakah kiranya yg lebih besar harganya [nilainya]? Apakah pemberian-Nya ataukah yg memberi?”

”Wa Inna ila Rabbikal-muntaha”. Sesungguhnya kepada Tuhanmu itulah puncak segala tujuan. Sebab barangsiapa yg telah mendapatkan Allah, berarti telah mencapai segala sesuatu, baik urusan dunia mau pun urusan akhirat. Wallaahu a’lam

53. Pindahlah Dari Alam (Makhluk) Kepada Pencipta Alam (2)

Hikmah 53 dlm al-Hikam:

وَانْظـُرْ الٰى قَولهِ صلَي اللهُ عليهِ وَسَلَّمَ : فمَنْ كاَنَتْ هِجْرَتُهُ الىَ اللهِ وَرَسُوله فَهِجْرَتهُ الى اللهِ وَرَسُولهِ. ومن كاَنَتْ هِجْرَتُهُ الىَ دُنْياَ يُصِيبُهاَ اَوِامْرَأَةٍ يَتزَوَّجُهاَ فَهِجرَتهُ الٰي ما هاَجَرَ اِليهِ. فاَفْهَم قولَهُ عَلَيهِ الصَّلاةُ والسَّلامُ وَتأمَّلْ هٰذاَ الاَمرَاِنْ كُنْتَ ذاَفهْمٍ

Dan perhatikan sabda Nabi Saw.: ‘Maka barangsiapa yg berhijrah menuju kepada Allah dan Rasul-Nya [menurut perintah Allah dan Rasul-Nya], maka hijrahnya akan diterima oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yg berhijrah karena kekayaan dunia, dia akan mendapatkannya, atau karena perempuan yg akan dinikahi, maka hijrahnya terhenti pada apa yg ia hijrah kepadanya. Camkanlah sabda Nabi Saw.  ini dan perhatikanlah persoalan ini jika engkau mempunyai kecerdasan faham.

Hikmah ini adalah lanjutan dari Kalam Hikmah yg lalu. Keluar dari satu hal kepada hal yg lain adalah hijrah juga namanya.

Dan yg utama dalam hadits ini ialah sabda Nabi Saw., bahwa hijrah yg tidak dengan niat ikhlas kepada Allah akan terhenti pada tujuan yg sangat rendah dan tidak berarti, dan tidak akan mencapai keridhaan Allah. Seseorang minta nasehat kepada Syaikh Abu Yazid al-Busthami qs., maka berkata Syaikh Abu Yazid, “Jika Allah menawarkan kepadamu akan diberi kekayaan dari Arsy sampai ke bumi, maka katakanlah, Bukan itu ya Allah, tetapi hanya Engkau ya Allah tujuanku.”

Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “Andaikan aku di suruh memilih antara masuk surga Jannatul-Firdaus dengan shalat dua rakaat, niscaya saya pilih shalat dua rakaat. Sebab di dalam surga, saya dengan bagianku, dan dalam shalat aku dengan Tuhanku.”

Asy-Syibli ra. berkata: “Berhati-hatilah  dari ujian Allah, walaupun dalam perintah, “Kulu wasyarabu” [makan dan minumlah]. Sebab dalam pemberian nikmat itu ada ujian untuk diketahui, siapakah yg silau dan lupa kepada-Nya setelah menerima nikmat, dan siapa yg tetap pada-Nya sebelum dan sesudah menerima nikmat.”
Seorang penyair berkata: “Dia shalat dan puasa karena sesuatu yg diharapkan, sehingga setelah tercapai urusannya, dia tidak shalat dan puasa.”

54. Memilih Sahabat (1)

Hikmah 54 dlm al-Hikam:

“Memilih Sahabat”

لاَتصْحَبْ من لاَيُنْهِضُكَ حالهُ ولاَ يَدُلُّكَ علَى اللهِ مقاَلهُ

Jangan bersahabat dengan seseorang yg tidak membangkitkan semangat taat kepada Allah, amal kelakuannya dan kata²nya tidak membimbing engkau ke jalan Allah.

Dalam hadits:

“Seseorang akan mengikuti pendirian (kelakuan) temannya, maka lihatlah saudaramu dengan siapakah harus didekati sebagai teman.”

Sufyan ats-Tsaury berkata: “Barangsiapa yg bergaul dengan orang banyak harus mengikuti mereka, dan barangsiapa mengikuti mereka, harus menjilat pada mereka, dan barangsiapa yg menjilat kepada mereka, maka ia binasa seperti mereka.”

Sahl bin Abdullah berkata: Berhati-hatilah [jangan] bersahabat dengan tiga macam manusia:

1. Pejabat pemerintah yg dzalim [kejam]. 2. Ahli quraa’ yg pejilat.

3. Sufi gadungan [yg bodoh tentang hakikat tasawuf].

Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw berkata: “Sejahat-jahat teman yg memaksa engkau bermuka-muka [menjilat] dan memaksa engkau minta maaf, atau selalu mencari alasan.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Seorang murid dilarang berteman dengan orang semacam itu sekalipun orang itu adalah ahli ibadah atau ahli zuhud karena dianggap tidak ada gunanya. Sebaliknya, kau disarankan berteman dengan orang yg membuatmu bersemangat dan ucapannya membimbingmu ke jalan Allah. 

Misalnya, orang yg tekadnya tinggi yg senantiasa bergantung kepada Allah, jauh dari makhluk, atau dalam setiap kebutuhannya tidak bertumpu kecuali kepada Allah dan dalam setiap perkara tidak bertawakal kepada selain-Nya sehingga di matanya seluruh manusia tak berarti apa², tidak bisa mendatangkan bahaya ataupun manfaat. Bahkan, ia menganggap dirinya sendiri rendah dan tak berguna, tidak mampu berbuat sesuatu, dan tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Dalam setiap amalnya, ia tetap berjalan pada jalur syara’, tanpa melebih-lebihkannya atau menguranginya. Inilah sifat orang² ‘arif yg mengenal Allah. 

Menemani orang² seperti itu, walaupun ibadahnya sedikit dan amalan sunnahnya tidak banyak, amat dianjurkan bagi seorang murid karena banyak mendatangkan manfaat, baik dari sisi agama maupun dunia sebab manusia selalu mengikuti tabiat manusia lain.

Adapun orang² yg tidak memiliki sifat² di atas, kita hanya diperbolehkan bergaul dengan mereka secara lahir, tidak lebih, karena tidak ada gunanya bergaul dengan mereka. Jika mereka sederajat denganmu, pergaulanmu dengan mereka tidak akan mendatangkan bahaya apa² bagimu. Namun, jika derajat mereka berada di bawahmu, Syaikh Ibnu Atha‘illah memberikan nasihatnya melalui hikmah berikut. Wallaahu a’lam

55. Memilih Sahabat (2)

Hikmah 55 dlm Al-Hikam:

رُبَّمَا كُنْتَ مُسِيـْءـاً فأراكَ الاِحْساَنَ مِنْكَ صُحْبَتَكَ كمن هُوَ اَسْوَءُ حالاًمِنْكَ

Bisa jadi, perbuatan burukmu tampak baik di matamu karena persahabatanmu dengan orang yg lebih buruk daripada dirimu.

Bersahabat dengan yg lebih rendah budi pekerti [iman]-nya itu, sangat berbahaya, sebab persahabatan itu pengaruh mempengaruhi, percaya mempercayai, sehingga dengan demikian sulit sekali untuk dapat melihat atau mengoreksi kesalahan sahabat yg kita sayangi bahkan kesetiaan sahabat akan membela kita dalam kekeliruan, kesalahan dan dosa, yg dengan itu kamu pasti akan binasa karenanya. Sedang seseorang tidak dapat mengoreksi diri sendiri, kecuali dengan kacamata orang lain, tetapi jika justru kacamata orang lain itu pula mengelabui kita, maka bahayalah yg pasti menimpa kepada kita.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Artinya, berteman dengan orang yg kualitas kebaikannya berada di bawahmu amat berbahaya karena bisa menyamarkan aib dan kekuranganmu. Akibatnya, kau akan selalu berbaik sangka terhadap dirimu sendiri. Kau bangga dengan amalmu dan merasa puas dengan kondisimu sehingga kau rela hati dan selalu melihat kebaikan²mu. Itu adalah pangkal segala keburukan. 

Boleh saja kau berteman dengan orang yg keadaannya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah asalkan orang itu sederajat denganmu agar pertemananmu dengannya tidak membahayakanmu. 

Di sini Syaikh lbnu Atha’illah ingin menjelaskan bahwa pertemanan dengan orang² ‘arif terbagi menjadi dua: pertemanan yg didasari keinginan dan pertemanan yg mengharap berkah. 

Pertemanan yg didasari keinginan ialah pertemanan yg harus memenuhi syarat²nya. Kesimpulannya, keberadaan seorang murid dengan Syaikh atau Gurunya seperti seonggok mayat di tangan para pemandi mayat. 

Adapun pertemanan untuk mengharap berkah ialah pertemanan yg tujuannya masuk ke satu kaum dan berpakaian dengan pakaian mereka, serta tunduk pada peraturan mereka. Di sini tidak perlu ada syarat² pertemanan. Yg paling penting adalah bagaimana ia berpegang pada batasan² syara’. Diharapkan dari pertemanannya dengan kaum itu, ia akan mendapatkan berkah mereka dan bisa sampai ke maqam yg telah mereka raih. Wallaahu a’lam

56. Zahid Dan Roghib

Hikmah 56 dlm Al-Hikam:

“Zahid Dan Roghib”

ماَقـَلَّ عَملٌ بَرَزَ من قلْبٍ زاَهِدٍ ولاكَثـُرَ عملٌ بَرَزَ من قلبٍ رَاغِبٍ

“Tidak dapat dianggap kecil/sedikit amal perbuatan yg dilakukan dengan hati yg zuhud, dan tidak dapat dianggap banyak amal yg dilakukan oleh seseorang yg cinta dunia.”

Kita telah diajarkan keluar dari alam kepada Pencipta alam, berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Kita diajar supaya memilih sahabat yg dapat membangkitkan semangat untuk berjuang pada jalan Allah dan berbuat taat kepada-Nya. Hikmah ini memberi gambaran apakah hijrah ruhani itu akan berhasil atau gagal. Alat untuk menilainya ialah dunia. Bagaimana kedudukan dunia di dalam hati akan mempengaruhi perjalanan keruhanian.

Ukuran amal itu menurut hati orang yg beramal, apabila amal itu dilakukan orang yg zuhud (hatinya tidak tergantung pada dunia), walaupun kelihatan sedikit akan tetapi hakikatnya banyak. Karena zahid itu amalnya bisa selamat dari penyakit yg menjadikan amalnya tertolak, seperti riya’ mencari kepentingan dunia, tidak karena Allah, dll. Sebaliknya amal orang yg roghib (cinta/rakus dunia) amalnya tidak selamat dari penyakit² tersebut.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata: “Tumpahkan semua hasrat keinginanmu itu kepada usaha untuk diterimanya amal perbuatanmu, sebab tidak dapat dianggap kecil/sedikit amal perbuatan yg diterima oleh Allah.”

Allah berfirman: “Innamaa yataqobbalullaahu minal muttaqiina” [Sesungguhnya Allah hanya menerima amal perbuatan dari orang yg bertakwa], ikhlas baginya, dan tepat menurut ajaran-Nya.

Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: “Dua raka’at yg dilakukan oleh seorang ‘alim yg mengerti dan ikhlas [tidak tamak/rakus kepada dunia], lebih baik dari ibadah orang² ahli ibadah sepanjang masa tapi masih cinta dunia.”

Abu Sulaiman ad-Darani ra. bertanya kepada Ma’ruf al-Karkhi ra.: “Mengapakah orang² itu kuat taat sampai sedemikian rupa banyaknya? Jawabnya, ‘Karena mereka telah membersihkan hati mereka dari pada cinta dunia, andaikata masih ada sedikit cinta dunia, tidak akan diterima dari mereka amal perbuatan itu’.”

Seorang sholeh mengeluh kepada Abu Abdillah al-Qurasyi ra., bahwa ia telah berbuat berbagai amal kebaikan, tetapi belum bisa merasakan kelezatan amal kebaikan itu dalam hatinya. Jawab Abu Abdullah al-Qurasyi ra., ”Karena engkau masih memelihara putri iblis, yaitu kesenangan dunia, dan lazimnya seorang ayah itu selalu berziarah kepada putrinya.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Seorang zahid adalah orang yg tidak bergantung pada dunia. Amalnya, walaupun secara kasat mata tampak sedikit, secara maknawi amatlah banyak karena terbebas dari cacat dan kekurangan yg membuat amal itu tidak diterima, seperti berniat riya’, pura² di hadapan manusia, mengharap keuntungan duniawi, atau tanpa kehadiran hati di hadapan Tuhan. 

Sementara itu, amal yg bersumber dari hati yg tamak terhadap dunia, walaupun secara kasat mata amal itu terlihat banyak, secara maknawi amal itu dianggap sedikit karena tidak terbebas dari hal² yg mengotori dan mengurangi nilainya. 

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., ”Dua raka’at (shalat sunnah) dari seorang zahid yg ‘alim lebih baik daripada ibadah para ‘abid dan mujtahid sepanjang hidup mereka.”

57. Kedudukan Amal, Ahwal Dan Maqam Inzal

Hikmah 57 dlm Al-Hikam:

“Kedudukan Amal, Ahwal Dan Maqam Inzal”

حُسْنُ الاَعماَلِ نَتَاءِجُ حُسْنِ الاَحوالِ وَحُسنُ الاَحوَالِ منَ التـَّحَققِ فىِ مقاَماَتِ الاِنْزالِ

Baiknya amal perbuatan itu, sebagai hasil dari baiknya Ahwal, dan baiknya Ahwal itu sebagai hasil dari kesungguhan istiqamah pada maqam inzal (apa yg diperintah oleh Allah).

Hikmah yg lalu mengaitkan nilai amal dengan zuhud hati terhadap dunia. Hati yg menerima cahaya Nur Ilahi akan mendapat pengalaman keruhanian yg dinamakan ahwal (hal²). Ahwal yg menetap pada hati dinamakan maqam.

Maqam Inzal yaitu: pengetahuan/ilmu yg berhubungan dengan Ketuhanan Allah Ta’ala, yg oleh Allah diberikan kepada hati hambanya, supaya hamba tidak mengaku-aku, tidak karena surga atau takut neraka.

Jadi baiknya Amal itu muncul dari baiknya Ahwal, baiknya Ahwal itu muncul dari maqom inzal/ilmu yg diberikan oleh Allah.

Amal yg baik itu hanya yg diterima oleh Tuhan, dan itu pasti karena baik dalam segi keikhlasan kepada Allah, dan tidak mungkin ikhlas kecuali jika ia mengerti benar² kedudukan dirinya terhadap Tuhannya.

Imam Al-Ghazali berkata: “Tiap tingkat dalam kepercayaan/keyakinan itu mempunyai ilmu, dan Hal [perasaan] dan amal perbuatan;

Ilmu-yaqin [keyakinan yg didapat dari pengertian teori pelajaran]. Ainul-yaqin [keyakinan yg didapat dari fakta² lahir setelah terungkap/terbuka]. Haqqul-yaqin [keyakinan yg benar² langsung dari Allah, dan tidak dapat diragukan sedikitpun, yaitu keyakinan yg hakiki.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Amal terbaik adalah amal yg terbebas dari faktor² yg membuat sebuah amal tidak diterima, seperti riya’ dan mengharap keuntungan duniawi. Amal yg lebih baik lagi adalah amal yg dikerjakan dengan hati yg senantiasa hadir di hadapan Allah dan tidak peduli dengan bisikan² setan. 

Ahwal (keadaan batin) terbaik adalah ahwal yg tergambar dalam bentuk sikap zuhud terhadap dunia dan ikhlas kepada Allah. Misalnya, dengan meniatkan amal untuk ‘ubudiyah kepada-Nya semata, bukan untuk mencari pahala. Ahwal ini didapat dari kemapanan maqam² yg diturunkan ke dalam hati yg bentuknya berupa makrifat ilahiah yg menyebabkan seseorang mengabaikan segala keinginan, baik itu keinginan masuk surga maupun keinginan selamat dari neraka. 

Jika seorang murid berhasil meraih itu, ia akan merasa melihat Tuhannya dengan hatinya. Dengan begitu, dalam amalnya, ia tidak berharap selain Allah. Buahnya, amalnya akan terbebas dari segala faktor yg membuat amal tidak diterima. Hikmah ini merupakan dalil dan penegas hikmah sebelumnya. 

Karena sifat² terpuji, biasanya, tidak tumbuh kecuali dari banyaknya dzikir, Syaikh Ibnu Atha’illah menyampaikan demikian. Wallaahu a’lam

58. Dzikir adalah Jalan Terdekat Menuju Allah

Hikmah 58 dlm al-Hikam:

“Dzikir adalah Jalan Terdekat Menuju Allah”

لاَتتـْرُكِ الذِكْرَ لِعَدَمِ حُضوُرِكَ مَعَ اللهِ فيهِ لاَنَّ غفلَتَكَ عن وُجُودِ ذِكرِهِ أَشَدُّ من غَفلَتِكَ فى وُجوُدِ ذِكرِهِ فعَساَهُ أَنْ يَرْفَعَكَ من ذِكرٍ مع وجودِغَفلَةٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ يَقظةٍ ، ومن ذكرٍ معَ وُجودِ يَقظةٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ حُضوُرٍ، ومن ذكرٍ معَ وُجودِ حُضوُرٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ غـَيْبَةٍ عمَّا سِوىَ المَذكـُورِ وَماَ ذٰلكَ على اللهِ بِعَزِيزِ

“Jangan meninggalkan dzikir, karena engkau belum bisa selalu ingat kepada Allah di waktu berdzikir, sebab kelalaianmu terhadap Allah ketika tidak berdzikir itu lebih berbahaya dari pada kelalaianmu terhadap Allah ketika kamu berdzikir.” Semoga Allah menaikkan derajatmu dari dzikir dengan kelalaian, kepada dzikir yg disertai ingat terhadap Allah, kemudian naik pula dari dzikir dengan kesadaran ingat, kepada dzikir yg disertai rasa hadir, dan dari dzikir yg disertai rasa hadir kepada dzikir hingga lupa terhadap segala sesuatu selain Allah. Dan yg demikian itu bagi Allah tidak berat [tidak sulit].”

Empat keadaan yg berkaitan dengan dzikir:

1. Berdzikir dalam keadaan hati tidak ingat kepada Allah.

2. Berdzikir dalam keadaan hati yg ingat kepada Allah.

3. Berdzikir dengan disertai rasa kehadiran Allah di dalam hati.

4. Berdzikir dalam keadaan fana’ dari makhluk, lenyap segala sesuatu dari hati, hanya Allah saja yg ada.

Seorang salik tidak boleh meninggalkan dzikir, disebabkan karena hatinya belum bisa ingat/menghadap kepada Allah, akan tetapi ia harus tetap selalu berdzikir walaupun hatinya masih belum bisa khudhur (hadir di hadirat Allah).

Karena orang yg meninggalkan dzikir itu jauh dengan Allah, hati dan lisannya. Berbeda dengan orang yg mau berdzikir, meskipun hatinya masih jauh dengan Allah karena belum bisa mengingat Allah waktu berdzikir, tapi lisannya dekat dengan Allah.

Karena tidaklah sulit bagi Allah untuk mengubah suasana hati hamba-Nya yg berdzikir dari suasana yg kurang baik kepada yg lebih baik hingga mencapai yg terbaik. Menaikkan satu tingkat [derajat] kelain tingkat [derajat], dzikir adalah satu²nya jalan yg terdekat menuju kepada Allah, bahkan sangat mudah dan ringan.

Syaikh Abul Qasim al-Qusyairi qs. berkata: “Dzikir itu simbol wilayah (kewalian), dan pelita penerangan untuk sampai ke Hadirat Allah, dan tanda sehatnya permulaannya, dan menunjukkan jernihnya akhir puncaknya, dan tiada suatu amal yg menyamai dzikir, sebab segala amal perbuatan itu ditujukan untuk berdzikir, maka dzikir itu bagaikan jiwa dari segala amal. Sedang kelebihan dzikir dan keutamaannya tidak dapat dibatasi.”

Allah Ta’ala berfirman:

فَاذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِى وَلَا تَكْفُرُونِ

Karena itu, berdzikirlah (ingatlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku berdzikir (ingat pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah (2): 152)

Dalam hadits Qudsi, Rasulullah Saw. bersabda, Allah Ta’ala berfirman:

“Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku. Jika ia berdzikir (mengingat) dalam dirinya. Aku pun berdzikir padanya dalam dzat-Ku dan jika ia berdzikir pada-Ku di keramaian, maka Aku pun berdzikir padanya dalam keramaian yg lebih baik dari pada kelompoknya, dan jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya berjalan cepat.”

Abdullah bin Abbas ra. berkata: “Tidak ada suatu kewajiban yg diwajibkan oleh Allah pada hamba-Nya melainkan ada batas²nya, kemudian bagi orang² yg berudzur dimaafkan jika ia tidak dapat melakukannya, kecuali dzikir, maka tidak ada batas dan tidak ada udzur yg dapat diterima untuk tidak berdzikir, kecuali jika berubah akal [gila].

Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيٰمًا وَقُعُودًا وَعَلٰى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بٰطِلًا سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang² yg berdzikir (mengingat) Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia², Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali-‘Imran (3): 191)

Firman Allah: “Wahai orang² yg beriman, berdzikirlah [ingatlah] kamu kepada Allah dengan dzikir sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.”

Yakni pagi, siang, sore, malam, di darat, di laut, di udara, dalam perjalanan [musafir], berdiam diri pada semua tempat dan waktu, bagi yg kaya, miskin, sehat, sakit, terang²an atau sembunyi dengan lisan atau hati dan pada tiap keadaan.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Biasakan selalu berdzikir karena dzikir adalah jalan terdekat menuju Allah dan tanda wujud kekuasaan-Nya. Siapa yg diberi kesempatan berdzikir berarti ia telah diberi sebagian kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, jangan tinggalkan dzikir. Jangan kau tinggalkan dzikir lantaran merasa tidak bisa berkonsentrasi saat dzikir akibat terlalu di sibukkan dengan bisikan² setan dan hal² duniawi. Kelalaianmu untuk berdzikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu saat berdzikir. Karena meninggalkan dzikir sama saja menjauhkan diri dari Allah, baik secara hati maupun lisan. Berbeda halnya dengan lalai saat berdzikir, meski hatimu jauh dari-Nya, lisanmu tetap dekat dengan-Nya. Oleh karena itu, kau tetap harus berdzikir kepada Allah walaupun hatimu lalai saat dzikir. 

Semoga Allah menuntunmu dari dzikir yg disertai kelalaian menuju dzikir yg disertai kesadaran dan konsentrasi; dari dzikir yg disertai kesadaran hati menuju dzikir yg mengantarkan hati masuk ke hadirat Ilahi, sehingga kau merasa melihat-Nya saat berdzikir dan tidak lalai dari-Nya; dari dzikir yg disertai kehadiran hati, menuju dzikir yg meniadakan segala hal selain Allah, termasuk dzikir itu sendiri sehingga tanpa disadarinya, ia keluar dari dzikirnya. Pada saat itulah, Tuhannya akan menjadi lisan yg digunakannya untuk berbicara. Saat bergerak pun, tangan Tuhannyalah yg bergerak. Saat mendengar, Tuhannyalah yg menjadi pendengarannya. 

Mungkin, kondisi seperti itu tampak tidak masuk di akal, tetapi itu benar² terjadi. Kondisi seperti itu hanya bisa diketahui dan dirasakan oleh para salik. Sekalipun demikian, para ulama sepakat untuk mempercayai dan meyakininya. Oleh karena itu, jangan sekali-kali mendustakannya sehingga kau akan binasa bersama orang² yg binasa. 

Dalam hikmah ini, Syaikh Ibnu Atha‘illah juga melarang seorang murid untuk putus asa dan merasa tidak mungkin sampai pada maqam semacam itu. Maka dari itu, ia pun menyitir firman Allah, ”Dan yg demikian itu bagi Allah tidaklah sukar, ” (QS. Ibrahim (14): 20) karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Seorang murid hanya wajib melaksanakan sebab², sedangkan hasilnya menjadi urusan Allah. Wallaahu a’lam

59. Tanda Hati Yang Mati

Hikmah 59 dlm Al-Hikam:

“Tanda Hati Yang Mati”

مِنْ علاَماَتِ مَوْتِ القلبِ عَدَمُ الحُزنِ على ماَ فاَتكَ منَ المُواَفَقاَتِ وَتركُ النَّدَمِ علىَ ما فَعلتهُ من الزَّلاَّتِ.

Sebagian dari pada tanda matinya hati, yaitu jika tidak merasa sedih [susah] karena tertinggalnya suatu amal [perbuatan] kebaikan [kewajiban], juga tidak menyesal jika terjadi berbuat pelanggaran dosa.

Pada hikmah sebelumnya diterangkan supaya jangan meninggalkan dzikir walaupun hati belum bisa hadir ketika berdzikir. Begitu juga dengan ibadah dan amal kebaikan. Janganlah meninggalkan ibadah lantaran hati tidak khusyuk ketika beribadah dan jangan meninggalkan amal kebaikan lantaran hati belum ikhlas dalam melakukannya. Khusyuk dan ikhlas adalah sifat hati yg sempurna. Dzikir, ibadah dan amal kebaikan adalah cara² untuk membentuk hati agar menjadi sempurna. Hati yg belum mencapai tahap kesempurnaan dikatakan hati itu berpenyakit. Jika penyakit itu dibiarkan, tidak diambil langkah mengobatinya, pada satu masa, hati itu mungkin akan mati. Matinya hati berbeda dengan mati tubuh badan. Orang yg mati tubuh badan ditanam di dalam tanah. Orang yg mati hatinya, tubuh badannya masih sehat dan dia masih berjalan ke sana kemari dimuka bumi ini.

Manusia menjadi istimewa karena memiliki hati ruhani. Hati mempunyai nilai yg mulia yg tidak dimiliki oleh akal fikiran. Semua anggota dan akal fikiran menuju kepada alam benda sementara hati ruhani menuju kepada Pencipta alam benda. Hati mempunyai persediaan untuk beriman kepada Tuhan. Hati yg menghubungkan manusia dengan Pencipta. Hubungan dengan Pencipta memisahkan manusia dari daerah kehewanan dan mengangkat derajat mereka menjadi makhluk yg mulia. Hati yg cerdas, sehat dan dalam keasliannya yg murni, berhubung erat dengan Tuhannya. Hati itu membimbing akal fikiran agar akal fikiran dapat berfikir tentang Tuhan dan makhluk Tuhan. Hati itu membimbing juga kepada anggota tubuh badan agar mereka tunduk kepada perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Hati yg bisa mengalahkan akal fikiran dan anggota tubuh badannya serta mengarahkan mereka berbuat taat kepada Allah adalah hati yg sehat.

Dalam suatu hadits Rasulullah Saw.  bersabda:

“Barangsiapa yg merasa senang oleh amal kebaikannya, dan merasa sedih/menyesal atas perbuatan dosanya, maka ia seorang mukmin.”

Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: ”Ketika kami dalam majelis Rasulullah Saw., tiba² datang seseorang yg turun dari kudanya dan mendekati Rasulullah Saw.  sambil berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya telah melelahkan kudaku selama sembilan hari, maka saya jalankan terus menerus selama enam hari, tidak tidur di waktu malam dan puasa pada siang hari, hingga lelah benar kuda ini, demi hanya untuk menanyakan kepadamu dua masalah yg telah merisaukan hatiku hingga tidak dapat tidur’. Rasulullah Saw.  bertanya, ‘Siapakah engkau?’ Jawab orang itu, ‘Zaidul-Khoir’ Berkata Rasulullah Saw., ‘ Wahai Zaidul-Khoir, bertanyalah kemungkinan sesuatu yg sulit, yg belum pernah ditanyainya’ . Berkata Zaidul-Khoir, ‘Saya akan bertanya kepadamu tanda² orang yg disukai dan yg dimurkai?’ Jawab Rasulullah Saw., ‘Untung, untung, bagaimanakah keadaanmu saat ini wahai Zaid?’ Jawab Zaid, ‘Saya saat ini, suka kepada amal kebaikan dan orang² melakukan amal kebaikan, bahkan suka akan tersebarnya amal kebaikan itu, dan bila aku ketinggalan merasa menyesal dan rindu pada kebaikan itu, dan bila aku berbuat amal sedikit atau banyak, tetap saya yakin pahalanya’. Jawab Rasulullah Saw., ‘Ya itulah dia, andaikan Allah tidak suka kepadamu, tentu engkau disiapkan untuk melakukan yg lain daripada itu, dan tidak peduli di jurang yg mana engkau akan binasa’. Berkata Zaid, ‘Cukup wahai Rasulullah, lalu ia kembali ke atas kudanya, kemudian ia berangkat pulang’.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Tanda hidupnya hati ialah memancarnya cahaya Ilahi dari hatimu meskipun kau belum mendapatkan cahaya itu karena tebalnya hijabmu. 

Kesedihanmu atas ketaatan yg terlewatkan dan penyesalanmu atas kesalahan yg telah kau lakukan atau kebahagiaanmu atas amal² baikmu dan kesedihanmu atas amal² burukmu membuktikan bahwa kau termasuk ahli iradah (orang yg dikehendaki dan dicintai Allah). Oleh karena itu, giatlah dalam beramal shaleh dan jangan malas!

Wallaahu a’lam

60. Dosa Dan Khusnudzan (1)

Hikmah 60 dlm Al-Hikam:

“Dosa Dan Khusnudzan”

لاَ يُعظَمُ الذنبُ عِندَكَ عظمَةً تَصُدُّكَ عَنْ حُسنِ الظنِّ بِاللهِ ، فَاِنَّ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ اِسْتَسغَرَ فىِ جَنْبِ كرَمِحِ ذ َنْبُهُ

Jangan sampai dosa yg kau anggap besar menghalangimu untuk berbaik sangka kepada Allah Ta’ala. Siapa yg mengenal Tuhannya akan menganggap dosanya kecil jika dibandingkan dengan kemurahan-Nya.

Merasa besarnya suatu dosa itu baik, jika menimbulkan rasa akan bertaubat dan niat untuk tidak mengulanginya untuk selama-lamanya. Tetapi jika merasa besarnya dosa itu akan menyebabkan putus dari rahmat Allah, merasa seakan-akan rahmat dan ampunan Allah tidak akan didapatnya, maka perasaan itu lebih berbahaya baginya dari dosa yg telah dilakukannya, sebab putus asa dari rahmat Allah itu dosa besar dan itu perasaan orang² kafir.

Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: “Seorang mukmin melihat dosanya bagaikan gunung yg akan menimpanya, sedang orang munafiq melihat dosanya bagaikan lalat yg hinggap di ujung hidungnya, maka diusirlah ia dengan tangannya.”

Rasulullah Saw. telah bersabda: “Demi Allah yg jiwaku ada di tangan-Nya, andaikan kamu tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan mematikan kamu, dan mendatangkan suatu kaum yg berbuat dosa lalu istighfar (minta ampun) dan di ampunkan bagi mereka itu.”

Rasulullah Saw. bersabda: “Andaikan perbuatan dosa itu tidak lebih baik bagi seorang mukmin dari pada ujub (mau di agung²kan karena amal kebaikannya), maka Allah tidak akan membiarkan seorang mukmin berbuat dosa untuk selamanya.”

Sebab ujub itu menjauhkan seorang hamba dari Allah, sedang dosa itu menarik hamba mendekat kepada Allah. Dan ujub, merasa besar diri, sedang dosa merasa kecil dan rendah diri di sisi Allah.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Jangan kau anggap dosa yg kau lakukan itu besar dan tidak mungkin di ampuni sehingga membuatmu putus asa dari rahmat Tuhanmu. Anggapan semacam itu termasuk sikap tercela dan dapat merusak keimanan. Sikap itu bahkan lebih buruk daripada dosa yg kau lakukan. 

Hal itu mencerminkan ketidaktahuanmu tentang Tuhanmu dan memperlihatkan bahwa kau mengandalkan diri sendiri di hadapan Tuhanmu. Siapa yg mengenal Tuhannya dengan baik tentu akan mengetahui dosa apa saja yg tidak ada ampunan dan maafnya. 

Lain halnya jika anggapan itu mendorong pelakunya untuk bertobat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ini adalah anggapan yg terpuji dan merupakan tanda keimanan seorang hamba. 

Ada yg berkata: “Semakin ketaatan seseorang dianggap kecil maka ia semakin besar di sisi Allah. Semakin maksiat dianggap besar maka ia akan semakin kecil di sisi-Nya.”

Wallaahu a’lam

61. Dosa Dan Khusnudzan (2)

Hikmah 61 dlm Al-Hikam:

لاصغيرة اذاقابلك عدله ولاكبيرة اذاواجهك فضله

Tidak ada dosa kecil jika kau dihadapkan pada keadilan-Nya dan tidak ada dosa besar jika kau dihadapkan pada karunia-Nya.

Yg dinamakan Adil yaitu: pelaksanaan hukum Allah di dalam kerajan-Nya yg tidak ada yg menentangnya. Apabila sifat adilnya Allah itu dilaksanakan pada orang yg di benci Allah, maka batal semua kebaikannya, dan dosa kecilnya akan menjadi dosa besar.

Yg dinamakan Fadhol yaitu: pemberian Allah kepada hamba-Nya yg tidak ada balasannya. Apabila sifat Fadholnya Allah diberikan pada hamba yg dicintai-Nya, dosa dan kesalahan yg besar akan di anggap kecil oleh Allah.

Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada dosa besar jika disertai dengan istighfar (minta ampun), dan tidak dapat di anggap dosa kecil jika dikerjakan terus menerus.”

Yahya bin Mu’adz ra. dalam berdoa ia berkata: “Tuhanku, jika Engkau kasihan kepadaku, Engkau ampunkanlah semua dosaku, tetapi jika Engkau murka kepadaku, tidaklah Engkau terima amal kebaikanku.”

Syaikh Abu Hasan as-Syadzili ra. berkata dalam doanya: “Ya Rabbi, semoga amal jelekku Engkau jadikan seperti amal jeleknya orang yg engkau cintai, dan amal kebaikanku jangan engkau jadikan seperti kebaikannya orang yg engkau benci.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Ketika keadilan Allah berbicara, semua dosa adalah besar. Keadilan Allah adalah kuasa-Nya untuk melakukan apa saja, tanpa ada yg bisa menahan dan melarang-Nya. Jika sifat adil Allah muncul di hadapan orang yg dibenci-Nya, kebaikan² orang itu akan diabaikan dan dosa² kecilnya akan dipandang besar. 

Adapun karunia Allah adalah pemberian-Nya tanpa berharap balasan dan ganti. Jika karunia itu diberikan kepadamu, dosamu akan menjadi kecil. Jika sifat murah hati-Nya muncul di hadapan orang yg dicintai-Nya, semua kesalahan dan keburukannya akan di abaikan, sedangkan dosa besarnya akan dipandang kecil. Wallaahu a’lam

62. Amal Yang Bernilai di Sisi Allah

Hikmah 62 dlm Al-Hikam:

“Amal Yang Bernilai di Sisi Allah”

لاَ عمَلَ اَرْجٰى للِْقبُولِ من عملٍ يَغيْبُ عَنكَ شُهُودُهُ وَيُحتَقَرُّ عَنْكَ وُجوُدُهُ

Tidak ada amal kebaikan yg dapat diharapkan diterima oleh Allah, melebihi dari amal yg terlupa olehmu adanya dan kecil dalam pandanganmu kejadiannya.

Amal kebaikan yg pasti diterima oleh Allah, yaitu jika merasa bahwa amal itu semata-mata terjadi karena taufik dan hidayah dari Allah, kemudian ia tidak membanggakan diri dengan amal itu, dan tidak merasa seakan-akan sudah cukup baik dengan adanya amal itu.

Karena amal itu telah ditujukan kepada keridhoan Allah, maka tidak usah di ingat² lagi. Sebab barangsiapa yg merasa sudah beramal, sesungguhnya jarang sekali yg tidak merasa ujub/arogan dengan amalnya itu. Dan itu suatu bahaya bagi amal itu.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

”Amal yg tidak kau sadari” adalah amalmu yg kau yakini dibimbing dan dilakukan oleh Allah. Tanpa Allah, niscaya amal itu tidak akan kau lakukan. 

”Amal yg tidak berarti di matamu” ialah amal yg tidak kau jadikan sandaran untuk meraih sebuah keinginan, seperti keinginan untuk bisa sampai kepada Allah dan dekat dengan-Nya atau keinginan mendapatkan derajat dan kedudukan tinggi. Bahkan, kau masih memandang amal itu kurang sempurna dan tidak terbebas dari cacat yg membuatnya sulit diterima Allah. Wallaahu a’lam

63. Warid (1)

Hikmah 63 dlm Al-Hikam:

“Warid”

اِنَّماَ اَوْرَدَ عليكََ الوَارِدِ لِتَكُونَ بِهِ عليهِ واَرِداً

Sesungguhnya Tuhan memberikan kepadamu warid (yaitu ilmu pengertian atau perasaan dalam hati, sehingga mengenal dan merasa benar² akan kebesaran karunia Allah), hanya semata-mata supaya engkau mendekat dan masuk kehadirat Allah.

Warid itu kadang diartikan dengan pemberian Allah pada hamba-Nya berupa ilmu laduni dan pemahaman tentang Ketuhanan Allah, yg menjadikan terang hatinya. Kadang diartikan ber-tajalli-nya Allah pada hati hamba, meskipun si hamba tidak bisa merasakan karena terlalu tebalnya sifat kemanusiaannya. Dan juga bisa disamakan dengan Ahwal. Jadi warid dengan hal itu sama artinya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Yg dimaksud dengan ”ilham” adalah ilmu dan cahaya pengetahuan yg datang dari Allah, cahaya yg membuat hati lapang dan bersinar terang. Dengannya, hati bisa melihat kebenaran sebagai kebenaran dan melihat kebathilan sebagai kebathilan. Ilham ini juga merupakan penampakan Ilahi yg masuk ke dalam hati meski seorang hamba tidak merasakannya karena keburukan sifat² kemanusiaannya. Terkadang, ilham disebut juga dengan hal (keadaan batin). Semuanya datang kepadamu agar kau bisa menuju ke hadirat Ilahi. Namun, untuk sampai ke hadirat Allah, hati harus bersih dan suci dari segala kekotoran. Wallaahu a’lam

64. Warid (2)

Hikmah 64 dlm Al-Hikam:

اَورَدَ عليْكَ الوَارِدَ لِيَتَسَلَّمَكَ مِنْ يَدِ الاَغْياَرِ وَلِيُحَرِّرَكَ مِنْ رَقَ الاَثاَرِ

Allah memberikan warid itu untuk menyelamatkanmu dari cengkeraman materi, dan membebaskanmu dari perbudakan hawa nafsu.

Aghyaar dan atsaar yaitu: kepentingan duniawi dan kesenangan hawa nafsu. Keduanya bagaikan orang yg ghosob (mengambil) dirimu karena kamu senang dan bergantung pada keduanya.  Lalu Allah mendatangkan warid kepadamu untuk menyelamatkan kamu dari tangan orang yg ghosob dan membebaskan kamu dari orang yg memperbudak kamu (aghyaar dan atsaar). Sehingga makhluk tidak punya bagian dan persekutuan dalam dirimu. Sehingga kamu pantas menghadap kehadirat Ilahi.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Materi dan hawa nafsu akan merampas kebebasanmu bila kau begitu mencintai dan bergantung padanya. Oleh karena itu, Allah memberimu ilham yg dapat menyelamatkanmu dari cengkeraman materi dan membebaskanmu dari perbudakan hawa nafsu. Dengan begitu, tak akan ada lagi kesempatan bagi makhluk untuk menguasaimu sehingga kau hanya pasrah kepada Allah dan layak untuk hadir ke hadapan-Nya. Wallaahu a’lam

65. Warid (3)

Hikmah 65 dlm Al-Hikam:

اَورَدَ عليْكَ الوَارِدَ لِيُخْرِجَكَ مِنْ سِجْنِ وُجُودِكَ اِلٰى فَضاَءِ شُهُودِكَ

Allah memberikan kepadamu warid untuk mengeluarkanmu dari penjara wujudmu dan membawamu ke angkasa penyaksianmu.

Dalam tiga pelajaran berkenaan dengan warid (karunia Tuhan) yg pertama diberikan kepadamu, supaya engkau ringan melakukan taat beribadah dan mendekat kehadirat Allah Ta’ala, tetapi kemungkinan kurang ikhlas, maka diturunkan warid yg kedua untuk melepaskanmu dari tujuan kepada sesuatu selain Allah, sedang warid yg ketiga untuk melepaskan dirimu dari sifat² dan wujud yg sempit kepada alam yg luas, melihat kebesaran Tuhan yg tidak terbatas sehingga lupa kepada diri dan hanya ingat kepada Allah Ta’ala semata-mata.

Syaikh Abul Qasim an-Nashrabady berkata: “Penjaramu yaitu dirimu sendiri (hawa nafsumu), kalau kamu bisa keluar dari dirimu, maka kamu akan enak selamanya.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Makna ”penjara wujud” ialah kungkungan sifat²mu yg menghambatmu menyaksikan Tuhanmu, ibarat penjara yg membatasi gerak para narapidana. 

Maksud ”angkasa penyaksian” adalah kesempatanmu menyaksikan Tuhanmu. Ia di umpamakan dengan ruang angkasa yg tiada batas dan tanpa ada yg menghalangi pandangan mata. 

Hikmah ini menegaskan bahwa pemilik warid itu hanya satu. Demikian pula buahnya, yaitu datang ke hadirat-Nya. Hikmah ini juga bisa di artikan bahwa Allah selalu melimpahkan untukmu warid agar kau sampai kepada-Nya. Dengan warid yg datang kepadamu, kau pun sibuk melakukan bermacam ketaatan dan mujahadah. Namun, di saat sifat² burukmu masih bercokol di hatimu, yg menyebabkan kau tidak ikhlas dalam beribadah, Dia akan mengirimkan warid lain yg akan menyelamatkanmu dari hal itu dan membuatmu ikhlas. 

Ketika kau ikhlas, mungkin kau akan mengandalkan keikhlasanmu itu sebagai jaminan di terimanya amalmu dan sampainya dirimu di hadapan Tuhan dengan keikhlasanmu itu. Tentu, tindakan ini adalah salah. Oleh karena itu, warid berikutnya akan datang. Dengan warid itu, kau tidak lagi melihat dirimu sendiri dan hanya melihat Tuhanmu dengan mata batinmu. Wallaahu a’lam

66. Nur, Bashirah Dan Hati

Hikmah 66 dlm Al-Hikam:

“Nur, Bashirah Dan Hati”

الاَنْواَرُ مطَايَا القُلوُبِ والاَسرَارِ

“Nur (cahaya) iman dan nur keyakinan itu sebagai kendaraan yg mengantarkan hati manusia dan asror (rahasia) ke hadirat Allah.”

Nur Ilahiyah yg diberikan Allah kepada hamba-Nya itu biasanya hasil sebab dzikir dan latihan² ruhani. Nur itu yg menjadi kendaraan hati dan sirr yg menyampaikan pada tujuannya, yaitu masuk dan taqarrub kehadirat Allah Ta’ala. Nur ini juga disebut Nur Warid.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Yg dimaksud dengan ”cahaya” di sini ialah cahaya Ilahi yg masuk ke dalam hati murid. Biasanya, cahaya ini didapat dengan dzikir dan riyadhah. “Kendaraan hati” dapat membawa hati menuju Allah hingga sampai ke hadirat-Nya dan mendekati-Nya. Adapun “rahasia jiwa” menurut kaum Sufi ialah kedalaman hati, bukan mata hati. Wallaahu a’lam

67. Cahaya adalah Tentara Hati dan Kegelapan adalah Tentara Nafsu (1)

Hikmah 67 dlm Al-Hikam:

“Cahaya adalah Tentara Hati dan Kegelapan adalah Tentara Nafsu”

النّوُرُ جُندُ القـُلوب، كَماَ أَنَّ الظُّلمَةَ جُندُ النَّفْسٍ ، فَاِذاَ أرَادَ اللهُ أَنْ يَنصُرَعَبْدَهُ، أمَدَّهُ بِجُنوُدِ الاَنْواَرِ وَقطَعَ عَنْهُ عَدَدَ الظُلمِ والاَغيَارِ

Nur (cahaya) tauhid itu sebagai pasukan (tentara) yg membantu hati, sebagaimana gelapnya syirik itu sebagai pasukan (tentara) yg membantu hawa nafsu. Maka apabila Allah menolong hamba-Nya, maka dibantunya dengan pasukan (tentara) nur Ilahi dan dihentikan bantuan kegelapan dan kepalsuan.

Nur (cahaya) terang yg berupa tauhid, iman dan keyakinan itu sebagai pasukan (tentara) pembela dan pembantu hati, sebaliknya kegelapan syirik dan keraguan itu sebagai pasukan (tentara) pembantu hawa nafsu. Sesungguhnya nur tauhid dan gelapnya syirik keduanya akan selalu berperang, Apabila Allah menolong hambanya, maka Allah akan melenyapkan kegelapan syirik dan mengganti dengan nur tauhid. Seperti contoh, ketika hatimu ingin mengerjakan kebaikan sedangkan nafsumu mengajak pada perkara sebaliknya, maka keduanya akan berperang untuk saling mengalahkan. Ketika seperti itu, bagi hamba tidak ada jalan lain kecuali meminta pertolongan dan berserah diri kepada Allah. Dan disinilah terlihat jelas pengertian:

“Barangsiapa yg diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yg dapat menyesatkannya.”

“Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yg dapat menunjukinya.”

“Barangsiapa yg diberi petunjuk (hidayah) oleh Allah, maka ialah yg mendapat petunjuk (hidayah), dan barangsiapa yg disesatkan oleh Allah, maka tidak akan engkau mendapatkan pelindung atau pemimpin untuknya.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Dengan iringan tentara kalbu (cahaya), hati bisa sampai ke hadirat Allah dengan mudah dan selamat, sebagaimana seorang raja yg di iringi bala tentaranya menuju tujuannya, yaitu mengalahkan musuh. Inilah pengertian yg dapat kita petik dari hikmah di atas. 

“Kegelapan”, yg merupakan tabiat seorang hamba, dianggap sebagai bala bantuan dan prajurit nafsu yg mengiringi seorang hamba sampai kepada tujuan, yaitu meraih keduniaan. 

Perang antara hati dan nafsu akan terus berlangsung sepanjang waktu. Jika Allah ingin membantu hamba-Nya mengalahkan nafsunya, Dia akan mengirimkan bala bantuan-Nya berupa cahaya. Jika hamba itu mendapat bantuan-Nya, ia akan menyadari keburukan syahwat yg menghambatnya untuk sampai kepada Allah. Selain itu, Allah juga akan membinasakan prajurit kegelapan dan tipuan dunia yg akan membantu nafsu. 

Sebaliknya, jika Allah ingin menghinakan seorang hamba, Dia akan memberinya prajurit kegelapan. Hati yg cenderung kepada amal shaleh (misalnya, ingin berpuasa) dan nafsu yg cenderung kepada syahwat (misalnya, ingin berbuka) akan bertempur dan saling membunuh. Saat itu, cahaya dan rahmat Allah akan segera membantu hati, sedangkan kegelapan akan menolong nafsu. Saat kedua barisan pasukan itu bertemu dan pertempuran semakin sengit, tak ada jalan lain bagi seorang hamba kecuali ia harus takut kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Seperti itulah yg terjadi dalam setiap amal shaleh yg dikerjakannya hingga ia berhasil sampai ke hadirat Allah. Saat itu, kekuasaan nafsu akan terputus dan kalah. Wallaahu a’lam

68. Cahaya adalah Tentara Hati dan Kegelapan adalah Tentara Nafsu (2)

Hikmah 68 dlm Al-Hikam:

النُّورُ لهُ الكشفُ والبَصِيرَة ُلهُ الحكمُ والقـَلبُ لهُ الاِقباَلُ والاَدْبارُ

Nur yg diberikan Allah di dalam hati itu bisa membuka arti sesuatu yg samar/rahasia. Dan bashirah (mata hati) bisa menentukan hukum sesuatu sesuai apa yg dilihatnya, sedangkan hati yg melaksanakan atau meninggalkan sesuatu, sesuai apa yg telah dilihat oleh bashirah.

Nur Ilahi itu bisa membuka perkara yg samar dan rahasia seperti baiknya taat dan hinanya maksiat, rahasianya qodar dan lain², dan bashirah itu juga mempunyai hukum yakni bisa melihat seperti hal tersebut. Lalu kedua kasyaf itu terkadang kurang sempurna, sehingga hamba yg di karuniai kasyaf tidak boleh mengerjakan dan menceritakan hal² tersebut sebelum meminta fatwa pada hatinya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Cahaya yg dipancarkan Allah ke dalam hati seorang murid bisa menyibak berbagai makna dan hal ghaib, seperti baiknya ketaatan dan buruknya maksiat. Mata hati bisa melihatnya. Dalam melihat makna dan hal ghaib ini, mata hati membutuhkan cahaya, seperti halnya mata biasa yg membutuhkan bantuan cahaya lentera atau matahari ketika akan melihat sesuatu. Cahaya yg dibutuhkan mata hati itu adalah cahaya batin. 

Selanjutnya, yg dilihat oleh mata hati itu akan diterima atau ditolak oleh hati. Jika mata hati melihat baiknya ketaatan, hati akan menerima dan mencintainya, lalu di ikuti oleh seluruh anggota tubuh. Bila mata hati melihat buruknya maksiat, hati akan menolak dan menjauhinya, kemudian di ikuti oleh anggota tubuh yg lain. 

Hikmah ini juga bisa di artikan bahwa cahaya bisa menyingkap misteri ghaib, seperti rahasia takdir, atau memprediksikan apa yg akan terjadi di dunia. Setelah itu, mata hati berperan melihatnya dan hati memastikannya. Terkadang penyingkapan dan penglihatan tersebut tidak sempurna. 

Oleh karena itu, seorang mukasyif (yg mampu menyingkap misteri ghaib) harus memastikan terlebih dahulu apa yg disingkapkan di hadapannya itu. Ia tidak boleh beramal hanya berdasarkan apa yg disingkapkan untuknya. Ia juga tidak boleh memprediksikan sesuatu sebelum bertanya kepada hatinya, apakah hatinya itu menerima atau menolaknya. Itulah sebabnya prediksi sebagian wali ada yg tidak terjadi. Ya, karena ia tidak memastikan terlebih dahulu apa yg disingkapkan di hadapannya itu. Wallaahu a’lam

69. Ingatlah, Ketaatan Itu Anugrah Dari Allah (1)

Hikmah 69 dlm Al-Hikam:

“Ingatlah, Ketaatan Itu Anugrah Dari Allah”

لاَ تـُفـْرِ حُكَ الطَّاعَةُ، لاَنَّهاَ بَرَزَتْ منكَ، وَافرَحْ بِهاَ لاَنَّهاَ بَرَزَتْ مِنَ اللهِ ِليكَ. قـُلْ بِفَضلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فبذٰ لكَ فَليَفْرَحُوا هُوَ خيرٌ مِمَّا يجمَعُونَ

Jangan merasa gembira atas perbuatan taat, karena engkau merasa telah dapat melaksanakannya, tetapi bergembiralah atas perbuatan taat itu, karena ia sebagai karunia, taufik dan hidayag dari Allah Ta’ala kepadamu, ‘Katakanlah, dengan merasa mendapatkan karunia dan rahmat Allah, maka dengan itu hendaknya mereka bergembira. Itulah yg lebih baik dari apa yg dapat mereka kumpulkan.’ (QS. Yunus: 58)

Gembira atas perbuatan taat itu jika karena merasa mendapat kehormatan karunia dan rahmat Allah sehingga dapat melakukan taat, maka itu lebih baik. Sebaliknya jika gembira karena merasa diri sudah kuat dan sanggup melaksanakan taat, maka ini menimbulkan ujub, sombong dan kebanggaan, padahal yg demikian itulah yang akan membinasakan amal taat. Allah Ta’ala telah memperingatkan hambanya yg sombong dan ujub (mengagungkan diri) dengan firmannya dalam hadits Qudsi, Rasulullah Saw. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman, ‘Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa yg mengambil salah satu dari kedua hal tersebut dari-Ku, maka Aku akan melemparkannya ke dalam neraka’.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Jangan merasa senang jika kau mampu melakukan sebuah ketaatan. Sikap seperti itu adalah sikap tercela, terlarang, dan dapat membatalkan ketaatan. Yg semestinya membuatmu senang bukanlah kemampuanmu melakukan ketaatan, tetapi karena Allah telah menganugrahkan ketaatan itu kepadamu. Inilah sikap yg terpuji dan diharapkan dari seorang hamba. Inilah bentuk kesyukuran seorang hamba atas karunia tersebut. 

Syaikh Ibnu Atha‘illah mendasari hikmah itu atas firman Allah:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yg mereka kumpulkan.” (QS. Yunus (10): 58)

Ketaatan yg bisa dilakukan seorang hamba merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang Allah kepadanya. Oleh karena itu, ia patut berbahagia atas hal itu, bukan atas upayanya menjalankan ketaatan itu. Wallaahu a’lam

70. Ingatlah, Ketaatan Itu Anugrah Dari Allah (2)

Hikmah 70 dlm Al-Hikam:

قطَعَ السَّاءـرينَ لهُ، والواَصِلينَ مِنْ رُوءْيَةِ أعْمالهِمْ ، وَشُهُودِ أحْوالهِمْ. أمَّاالسّاءـرُونَ فَلاَِ َنَّهُمْ لَمْ يَتحَقــَّقوا الصِّدْقَ مَعَ اللهِ فِيهاَ. أمَّ الواَصِلوُنَ فَلاَِ َنَّهُمْ غيبهُمْ بِشُهُودِهِ عَنْهاَ

Allah membuat orang² yang tengah menuju kepada-Nya (sa’irun) dan orang² yg telah sampai kepada-Nya (washilun) tidak mampu melihat amal dan keadaan (ahwal) mereka. Karena para sa’irun belum benar2 ikhlas dalam amal mereka dan karena para washilun terlalu sibuk melihat Tuhan mereka.

Sehingga apabila ada amal perbuatan diri sendiri, maka itu hanya karunia, taufik dan rahmat Allah Ta’ala semata-mata. Tanda bahwa Allah telah memberi taufik dan hidayah pada seorang hamba, apabila disibukkan hamba itu dengan amal perbuatan taat, tetapi diputuskan dari pada ujub dan arogan dengan amal perbuatan itu, karena merasa belum tepat mengerjakannya, atau karena merasa bahwa perbuatan itu semata-mata karunia Allah, sedang ia sendiri merasa tiada berdaya untuk melaksanakan andaikan tiada karunia dan rahmat Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah menghalangi pandangan para sa’irun dan washilun sehingga mereka tidak bisa melihat atau memperhatikan amal lahir dan ahwal hati mereka. Sekalipun sama² dihalangi, penyebabnya berbeda. Pandangan para sa’irun dihalangi lantaran Allah melihat hati mereka kurang hadir di hadapan-Nya saat beramal. Sementara itu, pandangan para washilun dihalangi lantaran mereka sibuk melihat Allah sehingga mereka tidak mampu melihat selain dzat-Nya. 

Allah telah memberikan karunia-Nya kepada dua kelompok itu. Dia membebaskan keduanya dari ketergantungan terhadap amal dan ahwal mereka. Akan tetapi, Allah memberikan karunia-Nya kepada para salik dengan terpaksa, sedangkan kepada para sa’irun dengan sukarela. Tentu saja kedudukan yg kedua lebih tinggi daripada yg pertama. 

Oleh sebab itu, Al-Washiti bertanya kepada para sahabat Abu Utsman tentang apa gerangan yg diperintahkan oleh Syaikh mereka. Mereka menjawab, ”Ia memerintahkan kami untuk senantiasa taat dan melihat atau memperhatikan kekurangan di dalam ketaatan yg kami lakukan itu.” 

Kemudian Al-Washiti berkata, ”Jika demikian, berarti dia telah memerintahkan kalian untuk mengamalkan ajaran² kaum Majusi. Maukah kalian kuperintahkan untuk mengabaikan hal itu dan lebih melihat kepada sumber alirannya langsung?” Maksudnya adalah agar mereka meninggikan tekad mereka menuju maqam orang² ‘arif, bukan merendahkan apa yg mereka alami karena hal itu juga termasuk kebaikan. Wallaahu a’lam

71. Tamak Akan Melahirkan Kehinaan (1)

Hikmah 71 dlm Al-Hikam:

“Tamak Akan Melahirkan Kehinaan”

ماَ سَبَقتْ اَغْصاَنَ ذ ُلِّ ِاِلاَّ على بِذْرِ طَمَعٍ

Tidak akan berkembang biak berbagai cabang kehinaan itu, kecuali di atas bibit tamak (kerakusan).

Sifat tamak bagian dari besarnya aib yg mencela sifat kehambaan. Tamak (rakus) itu adalah bibit dari segala macam kehinaan dan kerendahan.

Sifat tamak (rakus) itu adalah sumber dari segala penyakit hati, karena tamak itu hanya bergantung pada manusia, minta tolong pada manusia, bersandar pada manusia, mengabdi pada manusia, yg demikian itu temasuk kehinaan, sebab ragu² dengan takdirnya Allah Ta’ala.

Abu Bakar al-Warraq al-Hakim berkata: “Andaikata sifat tamak itu dapat ditanya, ‘Siapakah ayahmu?’ Pasti jawabnya, ‘Ragu terhadap takdir Allah’. Dan bila ditanya, ‘Apakah pekerjaanmu?’ Jawabnya, ‘Merendahkan diri dan mencari kehinaan’. Dan bila ditanya, ‘Apakah tujuanmu?’ Jawabnya, ‘Memiskinkan seseorang.”

Suatu hikayat mengatakan: “Ketika Sayyidina Ali bin Abu Thalib kw. baru masuk ke masjid Jami’ di Bashrah, didapatinya banyak orang yg memberi ceramah di dalamnya. Maka ia menguji mereka dengan beberapa pertanyaan dan yg ternyata tidak dapat menjawab dengan tepat, maka mereka di usir dan tidak di izinkan memberi ceramah di masjid itu, dan ketika sampai ke majelis Hasan al-Basri, ia bertanya, ‘Wahai para pemuda! Aku akan bertanya kepadamu sesuatu hal, jika engkau dapat menjawab, aku izinkan engkau terus mengajar di sini, tetapi jika engkau tidak dapat menjawab, aku usir engkau sebagaimana teman²mu yg lain, telah aku usir itu’.

Jawab Hasan al-Basri, ‘Tanyakan sekehendakmu’.

Sayyidina Ali bertanya, ‘Apakah yg mengokohkan agama?’

Jawab Hasan, ‘Wara’ (menjaga diri sendiri untuk menjauhi segala yg bersifat syubhat dan haram).

Lalu Sayyidina Ali bertanya lagi, ‘Apakah yg dapat merusak agama?’

Jawab Hasan, ‘Tamak (rakus)’.

Imam Ali berkata kepadanya, ‘Duduklah! Engkau boleh tetap mengajar di sini, orang seperti engkaulah yg layak berbicara di hadapan manusia. Wara’ (menjauhi) ketamakan adalah wara’-nya orang² khusus (khawwash). Sikap ini menunjukkan kokohnya keyakinan, sempurnanya tawakkal, dan tenangnya hati terhadap Allah. Berbeda dengan wara’-nya orang² biasa (awam) yg baru sebatas meninggalkan perkara² syubhat’.”

Seorang Guru berkata: “Dahulu ketika dalam permulaan bidayahku di Iskandariyah, pada suatu hari ketika aku akan membeli suatu keperluan dari seseorang yg mengenal aku, timbul dalam perasaan hatiku; mungkin ia tidak akan menerima uangku ini, tiba² terdengar suara yg berbunyi, ‘Keselamatan dalam agama hanya dalam memutuskan harapan dari sesama makhluk’.”

Wara’ dalam agama itu menunjukkan adanya keyakinan dan sempurnanya bersandar diri kepada Allah Ta’ala. Wara’ yaitu jika sudah merasa tiada hubungan antara dia dengan makhluk, baik dalam pemberian, penerimaan atau penolakan, dan semua itu hanya terlihat langsung dari Allah Ta’ala.

Sahl bin Abdullah berkata: “Di dalam iman tidak ada pandangan sebab perantara, karena itu hanya dalam Islam sebelum mencapai iman.”

Semua hamba pasti akan makan rezeki-Nya, hanya berbeda-beda, ada yg makan dengan kehinaan, yaitu peminta-minta. Ada yg makan rezeki-Nya dengan bekerja keras, yaitu para buruh, ada yg makan rezeki-Nya dengan cara menunggu, yaitu para pedagang yg menunggu sampai ada yg membeli barang²nya. Adapun yg makan rezeki-Nya dengan rasa mulia, yaitu orang² sufi yg merasa tidak ada perantara dengan Tuhan.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Syaikh Ibnu Atha’illah mengumpamakan kehinaan dengan sebuah pohon. Dahan²nya adalah perumpamaan bagi berbagai jenis kehinaan. Ia juga mengumpamakan ketamakan dengan sebuah benih. Seakan Syaikh Ibnu Atha‘illah berkata, “Jangan kau tanam benih ketamakan di hatimu sehingga akan tumbuh menjadi pohon kehinaan yg dahan dan rantingnya akan bercabang-cabang.” 

Ketamakan merupakan sikap tercela yg dapat merusak ‘ubudiyah. Bahkan, ia adalah pangkal segala kesalahan. Ketamakan menandakan ketergantungan dan penghambaan manusia terhadap manusia. Di sinilah letak kehinaan dan kenistaan sikap ketamakan. Sebabnya adalah keraguan terhadap sesuatu yg telah ditakdirkan Allah. Wallaahu a’lam

72. Tamak Akan Melahirkan Kehinaan (2)

Hikmah 72 dlm Al-Hikam:

ماَ قاَدَكَ شىءٌ مثـل الوَهْمِ

Tiada sesuatu yg dapat menuntun/memimpin engkau (pada kehinaan) seperti angan² (bayangan yg kosong).

Wahm ialah tiap² angan² terhadap sesuatu selain dari Allah, yg berarti angan² yg tidak mungkin terjadi. Dan biasanya nafsu itu lebih tunduk pada wahm/angan², dari pada pada akalnya. Sebagai contoh: manusia itu biasanya lari apabila melihat ular, karena dia berangan-angan ular itu akan menggigit dirinya. Apabila dia (nafsunya) tunduk pada akalnya, tentu dia tidak lari. Karena apa² yg sudah ditentukan Allah pasti wujud, dan sebaliknya.

Ingatlah, tidak ada orang yg bisa selamat dari sifat tamak, kecuali orang yg khusus yaitu orang² yg ahli Qana’ah dan berserah diri pada Allah, yg hatinya sama sekali tidak bergantung pada makhluk (manusia).

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Angan² adalah sesuatu yg teramat buruk. Selain karena merupakan penyebab ketamakan manusia, juga karena angan² sebenarnya adalah perkara yg tidak ada. Ia hanyalah khayalan dan perkiraan. Namun anehnya, jiwa selalu lebih tunduk kepadanya daripada kepada akal. 

Tidakkah kau melihat bahwa tabiat manusia selalu merasa takut kepada ular karena ia menyangka bahwa ular itu berbahaya. Bahkan, ia takut bila melihat seutas tali yg melingkar sebab ia mirip dengan ular. Sekiranya tabiat tunduk kepada akal, tentu ia tidak akan merasa takut karena segala hal yg ditakdirkan pasti akan terjadi dan yang tidak ditakdirkan pasti tidak akan terjadi.

Oleh sebab itu, tak seorang pun yg selamat dari ketamakan terhadap makhluk dan apa yg ada di tangan mereka, kecuali para ahli wara’ dari kalangan khawwash. Mereka adalah orang² yg selalu qana’ah dan tawakkal. Di hati mereka tiada lagi hubungan antar makhluk. Mereka tidak lagi memperdulikan rezeki. Wallaahu a’lam

73. Tamak Akan Melahirkan Kehinaan (3)

Hikmah 73 dlm Al-Hikam:

أنْتَ حُرُّمِمَّا اَنتَ عَنْهُ أيِسٌ وَعَبْد ٌ لمَا اَنتَ لهُ طاَمعُ

Engkau bebas merdeka dari segala sesuatu yg tidak engkau butuhkan, dan engkau tetap menjadi hamba kepada apa yg engkau inginkan.

Hikmah ini menunjukkan hinanya tamak, dan baiknya qana’ah.

Andaikan tidak ada keinginan² yg palsu dan sifat tamak, pasti orang akan bebas merdeka tidak akan diperbudak oleh sesuatu yg tidak berharga.

العبد حرّماقنع ٭ والحرُّعبد ٌماطمع

Budak itu merdeka/bebas selagi dia menerima pembagian dari Allah (qana’ah) *orang merdeka itu menjadi budak selagi dia tamak.

Qana’ah yaitu: tenangnya hati karena tidak adanya sesuatu yg sudah biasa ada. Dan qana’ah itu awal dari pada sifat zuhud.

Suatu hikayat:

Burung elang (rajawali) yg terbang tinggi di angkasa raya, sulit orang akan dapat menangkapnya, tetapi ia melihat sepotong daging yg tergantung pada perangkap, maka ia turun dari angkasa oleh karena sifat tamaknya (rakusnya), maka terjebaklah ia dari perangkap itu sehingga ia menjadi permainan anak² kecil.

Fateh al-Maushily ketika ditanya tentang ibarat orang yg menurutkan nafsu syahwat dan sifat tamaknya (rakusnya), sedang tidak jauh dari tempat itu ada dua anak sedang makan roti, yg satu hanya makan roti, sedang yg kedua makan roti dengan keju, lalu yg makan roti ingin yg keju, maka ia berkata kepada temannya:

“Berilah kepadaku keju.” Jawab temannya: “Jika engkau suka jadi anjingku, aku beri keju.”

Jawab anak yg meminta: ‘Baiklah.’

Maka di ikatlah lehernya dengan tali sebagai anjing dan dituntun.

Berkata Fateh kepada orang yg bertanya: “Andaikata anak itu tidak tamak (rakus) pada keju, niscaya ia tidak menjadi anjing.”

Suatu kejadian, ada seorang murid didatangi oleh Gurunya, maka ia ingin menjamu Gurunya, maka ia keluarkan roti tanpa lauk pauk, dan tergerak dalam hati si murid sekiranya ada lauk pauknya tentu lebih sempurna. Dan setelah selesai Sang Guru makan apa yg di hidangkan itu, berdirilah Sang Guru dan mengajak si murid keluar tiba² ia dibawa ke penjara untuk ditunjukkan berbagai macam orang yg dihukum, baik yg dirajam atau dipotong tangannya dan lain², lalu berkatalah Sang Guru kepada muridnya:

Semua orang² yg engkau lihat itu, yaitu orang yg tidak sabar makan roti saja tanpa lauk pauk.

Ada seorang yg baru dikeluarkan dari penjara, yg masih terikat kakinya dengan rantai, ia meminta-minta sepotong roti kepada seseorang, maka berkatalah orang tempatnya meminta:

Andaikata sejak dulu engkau mau menerima sepotong roti, maka tidak akan terikat kakimu itu.

Dalam hikayat lain dikisahkan:

Ada seseorang melihat seorang hakim sedang makan buah yg jatuh ke sungai, maka orang itu berkata, ‘Wahai bapak hakim, sekiranya engkau mau bekerja pada Baginda Raja tentu engkau tidak sampai makan buah yg jatuh ke dalam sungai.

Lalu dijawab oleh sang hakim:

Andaikan engkau suka menerima makanan ini, tidak perlu menjadi budaknya Raja.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Ini adalah dalil lain yg menunjukkan betapa buruknya ketamakan dan terpujinya keengganan terhadap para makhluk dan sikap qana’ah terhadap rezeki yg sudah dibagi. 

Ketamakan pada sesuatu sama saja dengan penghambaan terhadap sesuatu itu. Sementara itu, keengganan terhadap sesuatu adalah bentuk kebebasan dari sesuatu itu. Keengganan itu membuktikan ketidaktertarikan dan ketidakbutuhan hati terhadap sesuatu itu. Orang yg tamak akan menjadi budak, sedangkan orang yg enggan (terhadap sesuatu) akan menjadi orang yg merdeka. 

Oleh sebab itu, dikatakan, ”Seorang budak akan merdeka selama ia puas. Seorang yg merdeka akan menjadi budak selama ia tamak.” 

Sifat qana’ah adalah sikap tenang saat hilangnya sesuatu yg biasa ada. Ini adalah awal langkah zuhud. Wallaahu a’lam

74. Nikmat dan Musibah Adalah Jalan Menuju Allah (1)

Hikmah 74 dlm Al-Hikam:

“Nikmat dan Musibah Adalah Jalan Menuju Allah”

مَنْ لَمْ يُقبِلْ على اللهِ بِمُلاَ طفاَتِ الاِحْساَنِ قـُيِّدَ اليْهِ بِسلاَسِلِ الاِمتِحاَنِ

Barangsiapa yg tidak suka menghadap kepada Allah dengan halusnya pemberian karunia Allah, maka akan diseret supaya ingat kepada Allah dengan rantai ujian (musibah).

Ada dua perkara yg menjadikan seorang hamba itu bisa taat dan menghadap kepada Allah, yaitu:

1. Datangnya nikmat dari Allah pada dirinya, sehingga dia mau bersyukur dan menghadap taat kepada Allah.

2. Datangnya macam² musibah dan bencana pada dirinya atau hartanya, lalu ia bisa sadar dan kembali kepada Allah.

Terkadang musibah itu juga bisa menjadi sebab ia meninggalkan bergantung pada dunia dan hanya bergantung pada Allah. Karena yg di inginkan Allah pada hambanya yaitu kembalinya hamba kepada Allah dengan cara menurut (ridho) atau dipaksa.

Barangsiapa yg tidak suka sadar dan dzikir (ingat) kepada Allah ketika sehat dan murah rezeki, maka akan dipaksa supaya dzikir (ingat) kepada Allah dengan tibanya musibah (bencana). Maka dalam kedua hal itu Allah berkenan akan menuangkan nikmat karunia yg sebesar-besarnya kepada hamba-Nya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Orang yg tidak mendekat kepada Allah meski telah diberi berbagai kenikmatan akan dipaksa mendekat kepada Allah melalui berbagai macam musibah. Artinya, kedekatan seorang hamba kepada Allah terjadi melalui dua proses. 

Pertama, dengan diturunkannya nikmat kepadanya sehingga dia bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut dan bersiap melayani-Nya.

Kedua, dengan diturunkannya musibah yg menimpa tubuh atau hartanya sehingga dia akan berlindung kepada Allah dan meminta-Nya agar mengangkat musibah itu. Mungkin, itu akan menjadi sebab dia meninggalkan keduniaan dan hanya mau bergantung kepada Allah. Allah menghendaki para hamba-Nya kembali kepada-Nya, baik secara sukarela maupun terpaksa. Wallaahu a’lam

75. Nikmat dan Musibah Adalah Jalan Menuju Allah (2)

Hikmah 75 dlm Al-Hikam:

مَنْ لَمْ يَشكُرِ النِّعَمِ فَقدْ تـَعَرَّضَ لِزَوَالِهاَ ومن شَكرَهاَ فقد قـَيَّدَ بِعِقاَلهاَ

Barangsiapa yg tidak mensyukuri nikmat Tuhan, maka berarti berusaha untuk menghilangkan nikmat itu, dan barangsiapa mensyukuri nikmat berarti telah mengikat nikmat itu dengan ikatan yg kuat.

Mensyukuri nikmat itu berarti menetapkan dan menambah nikmat itu, firman Allah Ta’ala:

“Lain syakartum la adziydannakum.”

(Kalau kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat bagimu).

Bersyukur itu ada kalanya dengan hati, yaitu sadar kalau kenikmatan itu semua datang dari Allah, firman Allah Ta’ala:

“Wamaa bikum min ni’matin faminallahi.”

(Tiada terjadi suatu nikmat bagimu, maka itu dari Allah).

Ada kalanya dengan lisan, yaitu dengan menceritakan nikmat itu pada orang lain. Firman Allah Ta’ala:

“Wa ammaa bini’mati Rabbika fahaddits.”

(Adapun terhadap nikmat pemberian Tuhanmu, maka pergunakanlah/ceritakan dan sebarkan).

Dan ada kalanya dengan anggota badan, yaitu dengan taat kepada Allah sehingga jangan sampai anggota tubuh digunakan untuk melakukan perkara yg tidak diridhoi Allah.

Nu’man bin Basyir ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yg tidak mensyukuri nikmat yg sedikit, maka tidak akan dapat mensyukuri nikmat yg banyak, dan barangsiapa yg tidak berterima kasih kepada sesama manusia berarti tidak dapat bersyukur (berterima kasih) kepada Allah.”

Syukur ialah merasa dalam hati, dan menyebut dengan lidah, dan mengerjakan dengan anggota badan.

Syaikh Junaid al-Baghdadi qs. berkata:

“Ketika aku berusia tujuh tahun dan hadir dalam majelis As-Sari as-Saqathi, tiba² aku ditanya:

Apakah arti syukur?

Jawabku: Syukur ialah tidak menggunakan suatu nikmat yg diberikakan Allah untuk berbuat maksiat.

As-Sari berkata:

Aku khawatir kalau bagianmu dari karunia Allah hanya dalam lidahmu belaka.

Al-Junaid berkata:

Maka karena kalimat yg dikeluarkan oleh As-Sary itu aku selalu menangis, khawatir kalau benar apa yg dikatakan oleh As-Sary itu.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Syukur nikmat akan membuat nikmat itu abadi dan semakin bertambah. Allah Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim (14): 7)

Sementara itu, kufur nikmat akan menyebabkan nikmat itu hilang. Allah Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yg ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d (13): 11)

Artinya, jika mereka mengubah ketaatan mereka, yaitu dengan tidak mensyukuri nikmat yg diberikan-Nya, Allah tidak akan memberi mereka kebaikan dan kemurahan-Nya. 

Syukur nikmat bisa diwujudkan dengan hati, yaitu kita sadar bahwa semua nikmat berasal dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, ”Dan apa saja nikmat yg ada pada kamu maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. An-Nahl (16): 53)

Bisa pula diwujudkan dengan lisan, yaitu dengan membicarakan nikmat tersebut. Allah Ta’ala berfirman, ”Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu siarkan ( bicarakan).” (QS. Adh-Dhuha (93): 11)

Bisa juga dilakukan dengan anggota tubuh, misalnya dengan menggunakannya di jalan ketaatan kepada Allah dan menjauhkannya dari hal yg tidak diridhai-Nya. Wallaahu a’lam

76. Karunia Atau Istidraj?

Hikmah 76 dlm Al-Hikam:

Karunia Atau Istidraj?

خـَفْ مِنْ وُجُودِ اِحْساَنِهِ اِلَيْكَ وَدَوامِ اِساَءَتِكَ مَعَهُ اَنْ يكونَ ذٰلِكَ اِسْتِدْراَجاًلكَ، سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْسُ لاَيَعْلموُنَ

Berhati-hatilah bila kebaikan Allah selalu kau dapatkan bersamaan dengan maksiat yg terus kau lakukan! Berhati-hatilah! Bisa jadi, itu adalah awal kehancuranmu yg berangsur-angsur. Allah Ta’ala berfirman, “Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur ( ke arah kebinasaan) dengan cara yg tidak mereka ketahui.” (QS. Al-A’raf (7): 182)

Hikmah ini menjadi jawaban soal dari hikmah sebelumnya, yakni: kita tahu banyak yg tidak mensyukuri nikmat, tetapi nikmatnya tidak hilang bahkan bertambah. Itu semua istidraj dari Allah Ta’ala.

Istidraj, ialah mengulur, memberi terus menerus supaya bertambah lupa kemudian dibinasakan, juga berarti memperdaya.

Firman Allah Ta’ala:

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتّٰىٓ إِذَا فَرِحُوا بِمَآ أُوتُوٓا أَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُّبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yg telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu² kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yg telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am (6): 44)

Demikianlah sebuah ibarat istidraj, tiap² seseorang berbuat dosa ditambah dengan nikmat, dan dilupakan untuk meminta ampun (istighfar) atas kesalahannya itu.

Ada yg berpendapat bahwa setiap kali mereka membuat kesalahan baru, maka Allah akan menambah nikmat untuk mereka dan membuat mereka lupa memohon ampunan atas kesalahan itu. 

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Kita sering melihat banyak manusia yg tidak bersyukur atas nikmat Allah, namun nikmat itu tidak hilang dari mereka. Bisa jadi, hal itu merupakan proses penarikan nikmat yg dilakukan secara berangsur-angsur oleh Allah. Karena prosesnya yg berangsur-angsur itu, mereka pun tidak menyadarinya. Namun, berikutnya Allah akan merampas seluruh nikmat itu dari mereka secara tiba².

Ada yg mengatakan, maksud ayat itu ialah, Allah akan terus memberi mereka nikmat dan membuat mereka lupa bersyukur. Jika mereka sudah bergelimang kenikmatan dan terhalang dari Pemberi nikmat, seluruh kenikmatan itu akan direnggut dari mereka secara tiba². Wallaahu a’lam

77. Sanksi yg Ditangguhkan Bisa Jadi merupakan Istidraj

Hikmah 77 dlm Al-Hikam:

“Sanksi yg Ditangguhkan Bisa Jadi merupakan Istidraj (Sanksi yg Ditimpakan secara Berangsur-angsur dan Tanpa Disadari)”

مِنْ جَهْلِ المُرِيدُ اَنْ يَنسِىء الاََدَبَ، فَتُوءَخِرُ العُقـُوْبَة ُ عَنْهُ فَيَقوُلُ، لَوْكاَنَ هٰذَا سُوْءَ اَدَبٍ لَقطَعَ الاِمداد وَاَوجب الاِبعادُ، فقد يقطعُ المَدَدُ عنهُ مِنْ حيثُ لاَ يَشْعُرُ ولَولَمْ يَكُنْ الاَ منعَ المَزِيدِ وقدْ يُقاَمُ مقاَمَ البُعْدِ وهُوَ لاَيَدْرِي ولَولَمْ يَكُنْ الاَّ اَنْيُخَلِّيَكَ وَماَتُرِيْدُ

Di antara tanda kebodohan seorang murid adalah jika bersikap tidak sopan, tetapi hukuman untuknya ditangguhkan, ia justru berkata, “Jika ini adalah sikap tidak sopan, tentu aku sudah tidak ditolong lagi dan dijauhi.” Bisa jadi, ia memang sudah tidak ditolong lagi. Namun, ia tidak menyadarinya karena mungkin bentuknya hanya berupa tidak ditambahnya pertolongan. Bisa jadi pula sebenarnya ia telah dijauhi. Namun, ia tidak menyadarinya karena mungkin bentuknya hanya berupa pembiaran dirinya dengan keinginannya.

Putusnya bantuan dari Allah adalah awal dari hijab. Jadi apabila murid sudah mulai terhijab sehingga ibadahnya tidak bisa khudhur kepada Allah, itu menjadi sebab gugurnya murid dari perhatian Allah, dan akan datang hijab dalam hatinya.

Syaikh Abul Qasim Junaid al-Baghdadi qs. berkata: “Ketika aku sedang menunggu jenazah bersama orang² banyak yg akan di shalatkan di masjid As-Syuniziyah, tiba² ada seorang pengemis miskin meminta-minta, maka dalam hatiku berkata, ‘Andaikan orang itu bekerja sedikit² supaya tidak meminta-minta, tentu akan lebih baik baginya’. Dan ketika pada malam harinya, aku akan mengerjakan wirid yg biasa aku kerjakan pada tiap malam, terasa sangat berat dan tidak dapat berbuat apa², sambil duduk akhirnya tertidurlah mataku. Tiba² aku bermimpi, orang² datang membawa orang miskin itu di atas talam (baki), dan orang² itu berkata kepadaku, ‘Makanlah daging orang ini sebab engkau telah meng-ghibah padanya’. Maka langsung aku terbangun dan sadar, dan aku tidak merasa ghibah padanya, hanya tergerak dalam hati, tetapi aku diperintahkan meminta halal kepada orang itu, maka tiap hari aku berusaha mencari orang itu, akhirnya bertemu di tepian sungai sedang mengambil daun²an yg rontok untuk dimakan dan ketika aku memberi salam kepadanya, langsung ia berkata, ‘Apakah kamu akan mengulangi lagi wahai Abul Qasim?’ Jawabku, ‘Tidak’. Maka ia berkata, ‘Semoga Allah mengampuni kami dan kamu’.”

Tanda² seseorang mendapat taufik itu ada tiga:

1.Mudah mengerjakan amal kebaikan, padahal ia tidak berniat dan bukan tujuannya.

2.Berusaha untuk berbuat maksiat, tetapi selalu terhindar dari padanya.

3.Selalu terbuka baginya kebutuhan dan hajat kepada Allah Ta’ala.

Sedangkan tanda² seseorang yg dihinakan oleh Allah juga ada tiga:

1.Sulit melakukan ibadah dan taat, padahal ia sudah berusaha sungguh².

2.Mudah terjerumus ke dalam maksiat, padahal ia berusaha menghindarkannya.

3.Tertutupnya pintu kebutuhan atau hajat kepada Allah, sehingga merasa tidak perlu berdoa dalam segala hal.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Tuhan telah mendidik aku sebaik-baik didikan dan menyuruhku melakukan akhlak yg sebaik-baiknya.”

Dalam satu ayat:

Ambillah hati mereka dengan suka memaafkan, dan anjurkan perbuatan² yg baik dan mudah, abaikanlah orang² yg masih bodoh, (jangan dituntut) mereka yg masih bodoh itu.

Seorang sufi kehilangan anak, hingga tiga hari tidak mendapat beritanya, maka ada orang yg berkata kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak minta kepada Allah, supaya mengembalikan anak itu kepadamu?’ Jawab sang sufi, ‘Tantanganku terhadap putusan Allah itu akan lebih berat bagiku dari pada hilangnya anak.’

Syaikh Abu Sulaiman ad-Darany qs. berkata: “Allah telah mewahyukan kepada Nabi Dawud as., ‘Sesungguhnya Aku menjadikan syahwat hanya untuk orang² yg lemah dari para hamba-Ku, karena itu waspadalah jangan sampai hatimu tertawan oleh syahwat itu, sebab seringan-ringan siksa untuknya ialah Aku cabut manisnya rasa cinta kepada-Ku dari dalam hatinya.”

Dan dalam bagian lain Allah berfirman kepada Nabi Dawud as., “Wahai Dawud! Berpeganglah pada ajaran-Ku, dan tahanlah nafsumu untuk ketenangan dirimu, jangan sampai engkau tertipu daripadanya, niscaya engkau terhijab dari cinta-Ku, putuskan syahwatmu untuk Aku, sebab Aku hanya memberikan syahwat itu untuk hamba-Ku yg lemah, untuk apakah orang² yg kuat akan memuaskan syahwat. Padahal ia akan mengurangi kelezatan bermunajat kepada-Ku, sebab Aku tidak merelakan dunia ini untuk kekasih-Ku, bahkan Aku bersihkan ia dari padanya.

Wahai Dawud! Jangan engkau mengadakan antara-Ku dengan engkau suatu alam yg dapat menghijab engkau karena mabuk pada alam itu daripada cinta kepada-Ku, mereka hanya perampok di tengah jalan terhadap hamba-Ku yg baru berjalan. Usahakanlah untuk meninggalkan syahwat dengan banyak puasa.

Wahai Dawud! Cintailah Aku dengan memusuhi hawa nafsumu, dan tahanlah dari syahwatnya, niscaya engkau melihat kepada-Ku, dan engkau akan dapat melihat yg terbuka antara-Ku dengan engkau’.”

Syaikh Ibrahim bin Adham ra. berkata: ”Seseorang tidak akan mencapai derajat orang² shaleh, kalau tidak melalui enam rintangan:

1. Menutup pintu kemuliaan, membuka pintu kehinaan.

2. Menutup pintu nikmat, membuka pintu kesulitan.

3. Menutup pintu istirahat, membuka pintu perjuangan.

4. Menutup pintu tidur, membuka pintu jaga.

5. Menutup pintu kekayaan, membuka pintu kemiskinan.

6. Menutup pintu harapan, membuka pintu siaga menghadapi maut.”

Syaikh Ibrahim al-Khawwash ra. berkata: ”Ketika aku di tengah perjalanan tiba² merasa lapar, sehingga sampai di kota Array, maka aku berkata dalam hati, ‘Di sini aku banyak sahabat, maka jika aku bertemu tentu mereka akan menjamuku, maka ketika aku telah masuk ke dalam kota, tiba² aku melihat perbuatan² mungkar (maksiat), dan aku merasa berkewajiban mencegah kemungkaran. Tiba² aku ditangkap dan dipukuli oleh orang².’ Sehingga aku bertanya-tanya dalam hati, ‘Mengapa aku dipukuli oleh semua orang padahal aku ini lapar.’ Tiba2 di ingatkan dalam hatiku, ‘Engkau mendapat hukuman itu karena engkau mengharap dijamu oleh sahabat²mu’.”

Firman Allah dalam salah satu wahyu-Nya (kepada Nabi Dawud as.): ”Sesungguhnya seringan-ringan siksa-Ku terhadap orang alim jika ia mengutamakan syahwatnya daripada cinta-Ku, maka Aku haramkan daripada merasakan kelezatan bermunajat kepada-Ku.”

Sangat penting bagi murid:

Imam al-Qusyairy berkata: Siapa saja yg menjadi murid salah satu guru sufi/tarekat, lalu menentang gurunya dengan hati, berarti dia sudah merusak perjanjiannya menjadi murid, dan murid tersebut harus bertobat.

Apabila ada seorang salik yg bermaksud wushul, tapi tidak bisa wushul itu disebabkan menentang pada gurunya, karena guru sufi/tarekat (yg sudah menetapi syarat) itu menjadi penunjuk jalan bagi para murid.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Bersikap tidak sopan bisa terjadi terhadap Allah, guru, manusia, bisa pula terhadap diri sendiri. Di antara contoh bersikap tidak sopan terhadap Allah adalah melanggar perintah-Nya, mentaati aturan selain aturan-Nya, mengeluhkan hukum²Nya yg dianggap memberatkan, dan mengadukan penderitaannya kepada makhluk. 

Di antara contoh bersikap tidak sopan terhadap guru adalah membangkang dan tidak mau menerima nasehat dan saran mereka. 

Sebagian orang berkata, ”Membangkang kepada guru tidak ada tobatnya.” 

Bahkan, ada yg mengatakan, ”Siapa yg berkata ‘mengapa’ kepada gurunya maka ia tidak akan pernah beruntung.”

Imam al-Qusyairy berkata, ”Siapa yg menemani seorang guru, namun kemudian membangkang dalam hatinya, berarti ia telah melanggar akad persahabatan itu dan harus segera bertobat.” 

Jika seorang salik mendapati dirinya belum juga sampai ke tujuannya, hendaknya ia sadar bahwa hal itu mungkin disebabkan oleh pembangkangannya secara diam² terhadap guru²nya. Karena guru ibarat duta bagi para murid di hadapan Tuhan.  

Di antara contoh bersikap tidak sopan terhadap diri sendiri adalah mengedepankan pemenuhan “syahwat yg di halalkan” daripada pemenuhan kewajiban yg sudah ditetapkan Allah. 

Orang yg bersikap tidak sopan bisa saja tidak segera dihukum. Misalnya, tidak langsung diberi penyakit atau petaka, baik yg menimpa tubuhnya maupun batinnya. Namun, Allah akan menghentikan bantuan kepadanya dan menjauhinya. Itulah awal mula terhijabnya ia dari Allah. 

Saat seorang murid tidak lagi mendapat pertolongan dan rahmat Allah ia akan jatuh di hadapan Allah dan terjuntailah tirai hijab di hatinya. Kerinduannya kepada Allah akan berganti menjadi keterasingan. Demikian pula saat seorang murid dijauhi-Nya, akan terurailah hijab yg menutupi dan menghalangi hatinya untuk masuk ke hadirat-Nya. Wallaahu a’lam

78. Dua Macam Hamba Allah: Muqarrabin dan Abrar

Hikmah 78 dlm Al-Hikam:

“Dua Macam Hamba Allah: Muqarrabin dan Abrar”

اِذاَ رَأيْتَ عَبْداً أقاَمهُ اللهُ تعالى بِوُجُودِ الاَورَدِ وَاَدَمَهُ عليهاَ مَعَ طُولَ الامساَدَ فَلاَ تـَسْتحْقِرَنَّ ماَمنَحَهُ مَولاهُ لاَنَّكَ لم تَرَعليهِ سِيماَ العاَرِفِينَ ولاَ بَهْجَةَ المُحِبِّينَ فَلولاَ واَرِدٌ ماكاَنَ وِرْدٌ

Jangan kau pandang sebelah mata seorang hamba yg telah ditetapkan, dilanggengkan, dan ditolong Allah dalam melaksanakan berbagai wirid, hanya karena kau tidak melihat dalam dirinya tanda orang² ‘arif atau keelokan kaum pecinta Tuhan. Sebab, kalau tidak ada limpahan karunia dari Allah, tentu wirid dari orang itu tidak akan pernah ada.

Wirid ialah macam²nya ibadah yg dikerjakan oleh hamba, seperti shalat, puasa, dzikir dan lainnya.

Jadi apabila kau merendahkan pemberian Allah pada sebagian hamba yg berupa wirid itu berarti kau kurang tata krama pada hamba tersebut.

Hamba Allah yg mendapat keistimewaan dari Allah ada dua macam:

1. Muqarrabin, yaitu mereka yg telah dibebaskan dari kepentingan nafsunya, dan ia hanya sibuk menunaikan ibadah dan taat kepada Tuhan, karena merasa sebagai hamba yg mengharapkan keridhaan Allah semata-mata, dan mereka yg disebut ‘arifin, muhibbin.

2. Abrar, yaitu mereka yg masih merasa banyak kepentingan dunia/nafsu keinginannya, dan mereka juga mengerjakan ibadah kepada Allah, mereka masih menginginkan masuk surga dan selamat dari neraka. Dan mereka yg dinamakan zahid ‘abid.

Dan masing² mendapat karunia sendiri² di dalam tingkat derajatnya yg langsung dari Allah Ta’ala.

Sebenarnya seseorang yg mendapat taufik dan hidayah dari Allah, sehingga dia istiqamah dalam menjalankan suatu wirid (taat ibadah), berarti telah mendapat karunia dan rahmat yg besar sekali, sebab ia telah diberi kunci oleh Allah untuk membuka dan menghasilkan karunia yg lain dari kebesaran Allah.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

“Ditolong” ialah dipalingkan dari kesibukan² yg membuat hamba tersebut lupa melakukan wirid. Adapun makna ”dilanggengkan” di sini adalah dibuat terus melaksanakan wirid itu sepanjang zaman. Ini adalah sifat para zahid dan ‘abid. 

“Tanda orang² ‘arif“ ialah karakter orang² ‘arif yg meninggalkan ikhtiar dan tidak memperdulikan nasib dan keinginan dari mereka, serta selalu hadir di hadapan Allah. Adapun maksud “keelokan para pencinta Tuhan” ialah bukti² dan pengaruh cinta yg tampak pada diri orang² yg mencintai Allah (muhibbin). Jika sudah tertanam dalam hati, pengaruh cinta kepada Allah akan tampak pada seluruh anggota tubuh. Misalnya adalah dengan sering berdzikir mengingat-Nya, segera melaksanakan perintah-Nya, dan mengabaikan selain-Nya. Ia selalu berusaha untuk melayani-Nya, menikmati munajat kepada-Nya, dan lebih mengutamakan-Nya daripada selain-Nya. 

Syaikh Ibnu Atha‘illah melarang untuk meremehkan orang semacam itu (yakni yg istiqamah melakukan wirid, namun tidak terlihat pada dirinya tanda² kaum ’arif dan pencinta Tuhan). Alasannya, kalau tidak ada limpahan karunia dari Allah, tentu orang itu tidak akan melakukan wirid dan istiqamah dalam berwirid. 

“Wirid” bermakna segala amal ibadah yg dihasilkan dari upaya mujahadah seorang hamba, baik itu berupa shalat, puasa, dzikir, maupun ibadah lainnya. Dengan demikian, jika kau meremehkan orang seperti itu, itu artinya, kau sudah berlaku tidak sopan terhadapnya. 

Kesimpulannya, hamba² Allah yg khusus (khawwash) terbagi menjadi dua golongan: muqarrabiin dan abrar. Muqarrabin adalah orang² yg tidak memperdulikan nasib dan keinginan diri mereka, serta lebih mengedepankan pelaksanaan hak² Allah sebagai bentuk penghambaan (‘ubudiyah) kepada-Nya dalam rangka mencari ridha-Nya. Mereka adalah kaum ’arif sekaligus muhibbin (pencinta Allah). Sementara itu, abrar ialah orang² yg dalam ibadah mereka masih memperdulikan nasib dan keinginan diri. Mereka melaksanakan ibadah kepada Allah karena ingin mendapat surga dan selamat dari neraka. Sekalipun demikian, Allah tetap memberikan pertolongan-Nya kepada kedua golongan ini sesuai maqam mereka masing². Wallaahu a’lam

79. Orang-orang yang Melayani-Nya dan yang Mencintai-Nya

Hikmah 79 dlm Al-Hikam:

قومٌ اَقاَمهُمُ الحَق ُّ لِخِدمتِهِ وقومٌ اِخـْتصَّهُمْ بِمَحَبَّتِهِ ،كُلا ًّنُمِدُّ هٰـءوُلاَءِ وهٰـءُولاَءِ من عطاَءِ رَبِّكَ وماكانَ عَطاءُ رَبِّكَ كانَ مَحْظُوراً

Ada orang² yg Allah tetapkan untuk melayani-Nya. Ada pula orang² yg Allah pilih untuk mencintai-Nya. “Kepada tiap² golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidaklah terbatas.” (QS. Al-lsra’ (17): 20)

Allah sendiri yg memilih hamba-Nya, maka ada yg dipilih untuk melaksanakan ibadah yg lahir, ialah mereka para ‘abid dan zahid, dan ada pula yg dipilih oleh Allah untuk Kesayangan (Kekasih) Allah dan mereka ini orang² ‘arif dan muhibbin yg tidak ada tempat dalam hati mereka kecuali dzikrullah semata-mata.

Menganggap dunia ini kosong tidak ada apa² kecuali Allah yg menciptakan dan melaksanakan segala sesuatunya.

Jadi ketika hamba melihat pada pilihan Allah atas hamba-Nya dan mengkhususkan kedudukan pada hamba tersebut, bisa menjadikan si hamba tidak memandang rendah pada kedudukan yg telah Allah berikan kepada sebagian hamba. Syeikh Abu Yazid al-Busthami qs. berkata, “Allah Ta’ala melihat hati para hamba (kekasih-Nya), lalu sebagian ada yg tidak pantas/kuat memikul beratnya nur makrifat, lalu Allah menyibukkan hamba tersebut dengan ibadah.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Yg dimaksud dengan “orang² yg melayani-Nya” adalah orang² yg mentaati Allah secara lahir. Mereka adalah para zahid dan ‘abid yg layak menempati surga-Nya. Sementara itu, yg dimaksud dengan “orang² yg mencintai-Nya” adalah para muhibbin dan ‘arif yg didekati-Nya dan masuk ke hadirat-Nya. Kedua kelompok ini sama² ingin melayani dan mendekatkan diri kepada Allah. Bedanya, kelompok pertama lebih banyak dengan anggota tubuh, sedangkan kelompok kedua lebih banyak dengan hati. 

Pengelompokan ini merupakan kehendak Allah. Oleh karena itu, terlarang bagi hamba yg memahami hal ini untuk meremehkan atau memandang rendah salah satu kelompok tersebut. Wallaahu a’lam

80. Warid Terjadi Secara Tiba-Tiba

Hikmah 80 dlm Al-Hikam:

قَـلَّما تَكونُ الواَرِداَتُ الاِلٰهِيَّة ُ اِلاَّ بَغْتَة ً لـءَـلاَّ يَدَّعِيَهاَ العِبَادُ بِوجوُدِ الاِسْتِعدادِ

Jarang sekali terjadi karunia besar dari Allah (warid) itu kecuali datang secara mendadak (tiba²), supaya tidak ada orang yg mengaku bahwa ia dapat karena telah mengadakan persiapan untuk menerima karunia itu.

Yg dimaksud warid disini adalah ilmu² Wahbiyyah dan ilmu yg halus yg berhubungan dengan kemakrifatan, yg oleh Allah diberikan pada hamba²Nya.

Dan pemberian itu biasanya dalam kondisi mendadak tanpa persiapan seperti shalat, puasa dll. Supaya hamba tidak mengku-aku bahwa dia ahli warid/kehebatan.

Singkatnya: Warid itu hadiah dan anugrah dari Allah, jadi bukan hasil setelah mengerjakan macam²nya ibadah.

Allah mewahyukan kepada Nabi Musa as.: “Tahukah engkau mengapakah Aku mengangkat engkau sebagai Nabi yg langsung mendengar kalam-Ku?”

Jawab Nabi Musa as.: “Engkau yg lebih mengetahui.”

Allah berfirman: “Ketika Aku larikan semua kambing Nabi Syu’aib yg dipelihara itu, sehingga dengan susah payah engkau mengejar kambing² itu, sehingga dengan susah payah engkau mengejar kambing² itu untuk mengembalikannya, tetapi kemudian setelah kembali semuanya engkau tidak merasa jengkel/marah, maka itulah sebabnya.”

Dalam hadits, seorang pelacur yg memberi minum seekor anjing, tiba² Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni semua dosanya. Demikianlah kehormatan dan karunia besar dari Allah itu, tidak dapat diraba oleh manusia, dan selalu diberikan oleh Allah secara tiba², supaya tidak ada orang yg berbangga dengan amal perbuatannya. Wallaahu a’lam

81. Menjawab Semua yang Ditanyakan adalah Tanda Kebodohan

Hikmah 81 dlm Al-Hikam:

“Menjawab Semua yang Ditanyakan adalah Tanda Kebodohan”

مَنْ رَاَيْتـَهُ مُجِيْباً عنْ كُلِّ ماَ سُـءِـلَ وَمُعَبَِّراً عَنْ كُلِّ مَا شـَهِدَ وَذاكِراً كُلَّ ماَ علمَ فاَسْتَدِلَّ بذَٰ لكَ عن وجُودُ جَهلِهِ

Barangsiapa yg selalu menjawab segala pertanyaan, dan menceritakan segala sesuatu yg telah dilihat (mata hatinya), dan menyebut segala apa yg ia ingat (ketahui), maka ketahuilah bahwa yg demikian itu adalah tanda kebodohan orang itu.’

Menjawab segala pertanyaan yg berhubungan dengan ilmu batin yg dituangkan oleh Allah ke dalam hati orang² ‘Arifin, menunjukkan adanya kebodohan, demikian pula jika menceritakan segala yg dilihat, sebab semua itu berupa rahasia Allah yg diberikan kepada seorang hamba-Nya, maka jika diterangkan kepada bukan ahlinya, hanya akan menjadikan bahan ejekan dan pendustaan belaka. Karena itu yg menerangkan/menceritakan termasuk orang yg bodoh.

Para ulama’ sufi/tarekat mengatakan: Hati orang merdeka itu kuburan dari Sirr (rahasia Ketuhanan). Dan Sirr itu amanah dari Allah kepada hamba tersebut, barang siapa menerangkan Sirr itu berarti dia khianat. Jadi semua yg diketahui tidak boleh diterangkan kecuali dengan isyarat.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Sebagian dari ilmu itu ada yg sifatnya seperti barang simpanan, tidak ada yg tahu kecuali ulama’ billah, dan apabila dia menerangkan (menjelaskan ilmu Sirr) orang² akan ingkar”.

Sayyid Ali bin Husain bin Ali ra. berkata: “Hai Saudaraku, banyak ilmu yg seperti mutiara, berlian, yg seumpama aku terangkan, maka aku akan dituduh sebagai seorang musyrik, dan orang Islam menganggap halal darahku, mereka (muslimin) menganggap perkara jelek yg di kerjakan itu sebagai kebaikan, sungguh! Mutiaranya ilmu itu tetap aku simpan supaya orang² bodoh tidak tahu, dan menjadikan fitnah.”

Abu Hurairah ra  berkata: “Aku hafal ilmu dari Rasulullah Saw. dua karung, yg satu karung aku sebarkan ke masyarakat (umat), yg sekarung seumpama aku terangkan, kamu semua pasti akan memenggal leherku.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Seorang murid atau seorang ‘arif dianggap bodoh jika ia selalu menjawab, dengan mengungkapkan semua yg dilihat dan dirasakan batinnya, saat ditanya tentang ilmu yg diberikan Allah kepadanya. Mengapa disebut bodoh? Karena seharusnya ia mengerti bahwa untuk menjawab pertanyaan² semacam itu dibutuhkan penguasaan yg baik atas ilmu yg bersangkutan. Dan itu amat mustahil.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَآ أُوتِيتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

”Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’ (17): 85) 

Semestinya, ia juga memperhatikan kondisi penanya karena tidak semua orang layak bertanya seperti itu atau cukup mengerti ketika mendengar jawaban atas pertanyaan seperti itu. Menjawab pertanyaan orang semacam ini adalah sebuah kebodohan. 

Mengungkapkan semua yg disaksikan sama dengan menyebarkan rahasia yg semestinya disimpan. Orang² bijak berkata, “Hati orang² merdeka merupakan kuburan rahasia. Rahasia adalah amanah Allah pada seorang hamba.” 

Menyebarkan rahasia ke semua orang adalah tindakan khianat atau tidak amanah. Menjawab pertanyaan yg berkaitan dengan pengalaman atas perkara² ghaib cukup dengan menggunakan isyarat atau anggukan. Bila dijawab dengan kata², itu sama saja dengan mengumumkan dan menyebarkan rahasia ke khalayak ramai. Lagi pula, menjelaskan perkara² ghaib dengan kata² justru hanya akan membuatnya semakin tidak jelas dan tertutup karena perkara² yang didasarkan pada dzauq (pengalaman ruhani) sulit diungkapkan dengan kata².

Selain itu, mengungkapkan semua yg diketahui merupakan bukti tidak adanya kemampuan dalam memilah-milah ilmu pengetahuan. Bisa jadi, di antara ilmu yg diketahuinya itu ada yg tak layak untuk diberitahukan kepada orang lain karena bisa membahayakan, mendatangkan kerusakan, atau penolakan manusia. 

Rasulullah Saw. bersabda, ”Di antara ilmu ada yg bagaikan mutiara berlumuran tanah yg tidak diketahui (bahwa itu mutiara), kecuali oleh ulama yg mengenal Allah. Jika ilmu itu diperlihatkan kepada manusia, niscaya orang² yg lalai kepada Allah akan menolaknya.”

Sayyid Ali ibn Husain ibn Ali ra. berkata, ”Banyak inti ilmu yg jika aku kemukakan semuanya, orang² akan menganggapku termasuk penyembah berhala, dan pasti banyak pula orang² muslim yg menghalalkan darahku. Oleh karena itu, aku selalu menyembunyikan inti ilmuku agar orang1 bodoh tidak guncang ketika menyaksikan Yang Maha Haqq.” 

Dan sebab mengucapkan/menerangkan bagian ilmu Sirr, Syaikh Husain bin Mansyur Al-Hallaj, dibunuh pemerintah pada masanya, sebab Al-Hallaj mengatakan: “Maafil jubbati illallah.” (dijubah ini tidak ada lain kecuali Allah). Itu semua karena mereka melihat Allah pada semua yg wujud, yakni mereka melihat Allah-lah yg mewujudkan, mengatur dan menguasai semua yg wujud itu. Ini diungkapkannya karena setiap orang yg dekat kepada Allah pasti merasa bahwa yg ada hanyalah Allah atau bahwa Allah itu menampakkan Diri-Nya dalam segala sesuatu. Keterangan seperti ini adalah puncak dari yg bisa diterangkan. Sedang hakikatnya tidak bisa dijelaskan dengan kata², kecuali hanya bisa dirasakan. Itulah puncak dari kemampuan mereka dalam mengungkapkan pengalaman mereka. Sebetulnya ini adalah perkara yg tidak bisa diketahui, kecuali lewat dzauq.

Kebenaran yg dilihat dan diketahui oleh setiap hamba adalah sama. Akan tetapi, itu akan berbeda manakala diungkapkan melalui kata². Wallaahu a’lam

82. Akhirat Adalah Tempat Pembalasan

Hikmah 82 dlm Al-Hikam:

“Akhirat Adalah Tempat Pembalasan”

اِنّماَ جَعلَ الدَّرالاَخِرَة َ محلا ًّ لِجَزَاءِ عِباَدِهِ المُوءْمنينَ لاَِنَّ هٰذ هِ الدَّرَ لاَ تَسَعُ ماَ يُرِيدُ انْ يُعْطيَهُم وَلاَنَّهُ اَجلَّ اَقداَرَهُمْ عنْ اَنْ يُجاَزيَهُِم في داَرِِ لاَبَقاَءَ لهاَ

Sesungguhnya Allah menjadikan akhirat untuk tempat pembalasan bagi hamba yg mukmin, sebab dunia ini tidak cukup untuk tempat apa yg akan diberikan kepada mereka, juga karena Allah sayang akan memberikan balasan pahala mereka di tempat yg tidak kekal.

Allah Ta’ala berfirman:
“Aku telah menyediakan untuk hamba-Ku yg shaleh, apa² yg belum pernah dilihat oleh mata, atau didengar oleh telinga atau tergerak dalam hati manusia.”

Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya tempat pecut kuda di dalam surga lebih berharga (baik) dari pada dunia dan semua isinya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Dunia tidak bisa menampung segala kenikmatan indrawi maupun maknawi. Pertama, karena dunia ini sempit. Seperti disebut dalam khabar, di akhirat Allah memberikan kepada setiap mukmin sebuah kerajaan yg luasnya sepanjang perjalanan selama tujuh ratus tahun. Bagaimana halnya dengan orang² mukmin yg khusus (khawwash)? Tentu jarak dan luas dunia ini tidak akan cukup menampung seluruh pahala mereka.

Kedua, karena dunia penuh dengan kekurangan, rendah, dan hina. Sementara itu, segala kenikmatan di surga sangat mulia, tinggi, dan berharga. Sebagaimana disebut dalam khabar, tempat satu depa di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya. Cahaya gelang para bidadari di sana mengalahkan silaunya cahaya matahari.

Allah ingin memuliakan para hamba-Nya dengan tidak memberikan balasan di dunia, negeri yg tidak kekal ini. Segala hal yg fana, walaupun masanya panjang, akan sirna. Allah akan memberi mereka keabadian dalam nikmat dan kerajaan surga-Nya. Wallaahu a’lam

83. Tanda Diterima Amal

Hikmah 83 dlm Al-Hikam:

مَنْ وجَدَ ثمَرَة َعملِهِ عاَجِلا ً فَهُو دَليلٌ علٰى وُجودِ القبولِ اٰجِلا ً

Barangsiapa yg dapat merasakan buah dari amal ibadahnya di dunia ini, maka itu dapat dijadikan tanda diterimanya amal itu oleh Allah di akhirat.

Manis dan lezatnya amal itu sebagai tanda diterimanya amal tersebut oleh Allah yg di wujudkan di dunia. Itu sebagai bukti adanya pembalasan di akhirat. Apabila hamba sudah merasakan manisnya amal, maka jangan sampai berhenti atau condong dengan amal tersebut. Dan juga jangan sampai beramal demi mendapatkan manis dan lezatnya amal karena itu kepentingan nafsu. Dan karena maksud yg seperti itu bisa merusak keikhlasan ibadah. Jadi rasa manis dan enaknya ibadah itu hanya menjadi ukuran untuk membenarkan amal dan membenarkan tingkahnya hati.

Syaikh Atabah al-Ghulam berkata:
”Aku melatih diri shalat malam dua puluh tahun, setelah itu baru aku merasakan nikmat bangun malam.”

Syaikh Tsabit al-Bunani ra. berkata: ”Aku melatih membaca Al-Qur’an selama dua puluh tahun setelah itu baru aku merasakan nikmat membaca Al-Qur’an.”

Syaikh Abu Thurab berkata:
”Jika seseorang bersungguh-sungguh dalam niatnya beramal, maka dapat merasakan nikmat amal itu sebelum mengerjakannya, dan apabila ikhlas dalam melakukannya, maka dia akan merasakan manisnya, itulah amal yg diterima dengan karunia Allah.”

Al-Hasan berkata:
”Carilah manisnya amal itu pada tiga hal:

  1. Bila kamu telah mendapatkannya, bergembiralah dan teruskan mencapai tujuanmu.
  2. Apabila kamu belum mendapatkannya, ketahuilah bahwa pintu masih tertutup.
  3. Ketika membaca Qur’an, berdzikir dan ketika bersujud.”

Ada pula yg mengatakan:
”Dan ketika bersedekah dan ketika bangun malam.”

Sejak kapankah engkau merasakan telah mengenal Allah? Yaitu ketika aku setiap akan berbuat pelanggaran terhadap syariat-Nya dan aku merasa malu kepada-Nya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Yg dimaksud dengan ”buah amal di dunia” adalah kenikmatan dalam beramal. Bila seseorang sudah merasakan nikmatnya beramal, itu berarti bahwa amal tersebut telah diterima Allah selagi masih di dunia.

Amal yg memiliki sifat² seperti ini akan diterima Allah. Bila Allah telah menerima amal seorang hamba di dunia, itu adalah tanda bahwa kelak di akhirat, Dia akan memberinya pahala, sebagaimana yg akan dijelaskan.

Sekalipun telah merasakan manisnya beramal, seorang hamba tidak layak untuk terlena dan merasa bahagia terlebih dahulu. Ia juga tidak layak berharap agar amal tersebut terus berlangsung lantaran ia merasa nikmat dan mujur di dalamnya. Hal itu bisa merusak keikhlasannya dalam beribadah dan ketulusan niatnya. Wallaahu a’lam

84. Kedudukan Hamba Di Sisi Allah

Hikmah 84 dlm Al-Hikam:

“Kedudukan Hamba Di Sisi Allah”

اِذاَ اَردتَ اَنْ تَعْرِفَ قدرَكَ عِندهُ فاَنْظُرْ ماَذاَ يُقِيمكَ فيهِ

Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, maka perhatikankah dimana Dia menempatkanmu.

Hikmah ini bisa diartikan dua kedudukan.

  1. Awam (umum), yaitu: apabila engkau termasuk golongan orang yg beruntung dan diterima, Allah akan menjalankanmu pada apa² yg selalu menjadikan Allah ridha, seperti selalu taat dan ibadah. Dan apabila kamu termasuk ahli celaka, maka Allah akan menjalankanmu pada perkara yg menjadikan murkanya Allah.
  2. Khash, yaitu: jika kamu ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, maka lihatlah kedudukan Allah di hatimu.

Rasulullah Saw. bersabda:

”Barangsiapa yg ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaknya memperhatikan bagaimana kedudukan Allah dalam hatinya. Maka sesungguhnya Allah mendudukkan hamba-Nya, sebagaimana hamba itu mendudukkan Allah dalam hatinya.”

Syaikh Fudhail bin Iyadh ra. berkata:

”Sesungguhnya seorang hamba dapat melakukan taat ibadah kepada Tuhan itu menurut kedudukannya di sisi Tuhan, atau perasaan imannya terhadap Tuhan, atau kedudukan Tuhan di dalam hatinya.”

Wahb bin Munabbih berkata:

”Aku telah membaca dalam kitab² Allah yg dahulu Allah berfirman:

”Wahai anak Adam, taatilah perintah-Ku dan jangan engkau beritahukan kepada-Ku apa kebutuhan yg baik bagimu. [Yakni engkau jangan mengajari kepada-Ku apa yg baik bagimu].” Sesungguhnya Aku [Allah] telah mengetahui kepentingan hamba-Ku, Aku memuliakan siapa yg taat pada perintah-Ku, dan menghina siapa yg meninggalkan perintah-Ku, Aku tidak menghiraukan kepentingan hamba-Ku, sehingga hamba-Ku memperhatikan hak-Ku [yakni kewajibannya terhadap Aku].”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Apakah kau termasuk orang² yg maqbul (diterima amalnya) dan bahagia ataukah termasuk orang² yg mardud (ditolak amalnya) dan menderita? Jika kau ingin tahu dirimu, perhatikan di mana Allah menempatkanmu, apakah di dalam ketaatan atau sebaliknya?

Siapa yg termasuk orang² yg maqbul dan bahagia maka Allah akan mempekerjakannya dalam amal yg diridhai-Nya, berupa bermacam ketaatan. Siapa yg termasuk orang yg mardud dan menderita maka Allah akan mempekerjakannya dalam hal yg dibenci-Nya, berupa ragam pelanggaran. Ini berlaku bagi orang² awam. Adapun bagi orang² khusus (khawwash) maka kalimatnya adalah, ”Jika kau ingin tahu kedudukanmu di sisi-Nya, apakah kau termasuk muqarrabin atau tidak, lihatlah di mana Allah menempatkanmu dan pengetahuan apa yg diberikan-Nya ke dalam hatimu?”

Wallaahu a’lam

85. Nikmat Lahir Dan Batin

Hikmah 85 dlm Al-Hikam:

“Nikmat Lahir Dan Batin”

متىٰ رَزَقكَ الطَّاعةَ والغِنىٰ بهِ عَنها فاَعْلم اَنَّهُ قد اَسْبَغ َ عليكَ نِعمَهُ ظاَهِرة ًوباطِنَة ً

Ketika Allah memberi rezeki kepadamu berupa perasaan puas melakukan taat [ibadah] pada lahirmu, dan merasa cukup dengan Allah dalam hatimu, sehingga benar² tidak ada sandaran bagimu kecuali Allah. Maka ketahuilah bahwa Allah telah melimpahkan kepadamu nikmat lahir bathin.

Dua macam rezeki yg dinyatakan disini adalah Islam dan Iman. Hamba Allah yg memperoleh kedua rezeki tersebut menjadi insan yg beriman dan beramal shalih. Tidak ada amal shalih tanpa iman dan tidak ada kenyataan iman tanpa amal shalih. Ayat² al-Qur’an sering menggabungkan iman dan amal shalih menjadi satu, tidak dipisahkan.

Orang yg mengaku beriman tetapi tidak beramal menurut apa yg di imaninya adalah dianggap sebagai orang yg berbohong, sementara orang yg melakukan amal shalih sedangkan hatinya tidak beriman adalah munafik. Kesempurnaan seorang insan terletak pada gabungan kedua-duanya, yaitu iman dan amal shalih.

Seorang hamba dituntut dua macam, yaitu menurut perintah Allah dan meninggalkan larangan pada lahirnya, dan hanya bersandar serta berharap kepada Allah pada bathinnya. Karena itu siapa yg di beri rezeki oleh Allah demikian, berarti telah menerima karunia nikmat Allah yg sempurna lahir dan bathin, dan menyampaikan pada cita²nya di dunia dan di akhirat.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

”Ketaatan” ialah melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan secara lahir. Adapun makna ”merasa cukup dengan-Nya” adalah kau tidak terlalu bergantung pada ketaatan itu dalam mendapatkan keinginanmu, tetapi hanya bergantung kepada Tuhanmu dan menyisihkan segala hal selain-Nya.

Jika demikian, ketahuilah bahwa Allah telah menganugrahkan segala karunia-Nya, baik yg lahir, seperti ketaatan, maupun yg batin, seperti makrifat yg mewajibkanmu untuk mengabaikan dan tidak melihat selain-Nya. Wallaahu a’lam

Komentar:

Yaqin dlm ilmu/pemahaman, disebut juga iman, yakin dlm penyaksian/musyahadah, disebut juga ihsan.

Seringkali… Setelah yaqin dlm ilmu, haliyah kita dinaikkan kepada yakin dlm penyaksian.

Contoh:
Bukan karena ikhtiar kita (jualan, marketing, narik taksi online, kontraktoran, ngajar jadi guru, dll), lantas Allah memberi rejeki. Apalagi sampai ta’alluq, menganggap ikhtiar kita itu sebagai sababiyah diberinya rejeki.

86. Sebaik-Baik Permintaan

Hikmah 86 dlm Al-Hikam:

“Sebaik-Baik Permintaan”

خيرُماَ تطلُبُهُ منهُ ماهُوَ طالبُهُ منكَ

Sebaik-baik yg harus engkau minta dari Allah, ialah bisa mengerjakan apa² yg Allah perintahkan kepadamu.

Ingatlah! Pada setiap waktu dan setiap keadaan pasti disitu ada tuntutan/kewajiban dari Allah, maka sebaik-baik yg harus engkau minta kepada Allah supaya tetap iman, patuh, taat pada semua perintah dan larangan, istiqamah dalam pengabdian diri kehadirat Allah. Itulah sebaik-baik yg harus engkau minta, baik untuk dunia maupun untuk akhirat, sebab hanya itulah bahagia yg tiada bandingnya.

Karena itu sebaik-baik doa ialah:

“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu, ridha-Mu, dan surga, dan aku berlindung kepada-Mu dari murka-Mu dan api neraka.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Sebaik-baik perkara yg kau minta dari Allah adalah yg Allah minta darimu, berupa sikap istiqamah di jalan ‘ubudiyah. Ini lebih baik bagimu daripada permintaanmu berupa nasib baik dan keinginan dunia atau akhiratmu karena itu hanyalah keuntungan bagi dirimu sendiri. Wallaahu a’lam

87. Tanda Orang Yang Tertipu

Hikmah 87 dlm Al-Hikam:

“Tanda Orang Yang Tertipu”

الحزنُ علٰى فِقداَنِ الطَّاعةِ مع عدمِ النُّهوْضِ اليها من علامات الاِغتِرارِ

Merasa susah karena tidak dapat melakukan suatu amal ibadah yg disertai oleh rasa malas untuk melakukannya, itu suatu tanda bahwa ia terperdaya [tertipu] oleh syaitan.

Jika ketinggalan suatu amal kebaikan merasa sedih, tetapi bila mendapat kesempatan tidak segera melakukannya, maka itu suatu tanda telah dipermainkan oleh nafsu dan syaitan. Susah yg seperti ini adalah susah yg bohong, dan menangis yg seperti ini juga menangis yg bohong. Sebagai mana dikatakan sebagian ulama’: “Banyak mata yg menangis akan tetapi hatinya masih keras, karena orang tersebut tidak aman dari tipuan Allah yg samar. Allah tidak memberikan pada orang tersebut apa yg manfaat pada dirinya tapi malah memberi sesuatu yg membohongi dirinya, yaitu susah dan menangis yg bohong. Adapun susah yg sesungguhnya yaitu, susah yg mendorong dirinya untuk melakukan taat yg disertai menangis yg benar. Dan itu termasuk dari maqomnya salik.

Bersabda Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya Allah menyukai pada tiap hati yg selalu berduka cita.”

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. berkata:

“Seseorang yg menyesal dapat menempuh jalan menuju kepada Allah dalam waktu satu bulan, apa yg tidak dapat ditempuh oleh orang yang tidak menyesal dalam beberapa tahun. Karena itu termasuk dalam sifat utama bagi Rasulullah Saw. Mutawashilul-ahzan, daa’imul fikir. Rasulullah Saw. selalu merasa berduka cita dan selalu berfikir [merenung]”.

Sayyidah Rabi’ah al-Adawiyah mendengar seseorang berkata:

”Alangkah sedihnya”. Maka Rabi’ah berkata:

”Katakanlah, alangkah sedikitnya rasa sedihku, sebab bila engkau benar² merasa sedih, tidak berkesempatan lagi untuk bersuka cita.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Kesedihan seperti ini biasanya merupakan akibat ketergantungan atas sesuatu yg tidak ada wujudnya. Inilah kesedihan semu yg biasanya disertai dengan tangisan yg juga semu. Dalam pepatah disebutkan, “Berapa banyak mata yg meneteskan air mata, tetapi hatinya tetap keras.”

Orang yg bersedih semu itu akan merasa aman dari makar Allah yg tersamar. Allah akan menahan apa yg berguna baginya dan memberi apa yg membuatnya sedih dan menangis. Dmgan begitu, ia menganggap baik ahwal-nya dan menganggap dirinya berguna. Adapun kesedihan yg tulus dan sungguh² adalah yg mendorong kepada ketaatan dan diiringi dengan tangisan yg benar. Ini adalah maqom para salik.

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. yg selalu bersedih menuturkan bahwa ia meniti jalan Allah dalam sebulan seperti orang yg belum pernah menempuh jalan Allah selama bertahun-tahun. Wallaahu a’lam

88. Tanda-Tanda Orang ‘Arif

Hikmah 88 dlm Al-Hikam:

“Tanda-Tanda Orang ‘Arif”

ماَالعاَرِفُ مَن اذاَ اَشارَ وجدَ الحَق َّ اقرَبَ اليهِ مِنْ اِشارَتِهِ ، بلِ العارفُ مَن لاَ اِشارَة َ لهُ لِفَناءـهِ في وُجُوده وانطِواَءـهِ في شهوُدهِ

Tidak disebut orang ‘arif itu, orang yg bila ia memberi isyarah sesuatu ia merasa bahwa Allah lebih dekat dari isyarahnya, tetapi orang ‘arif itu ialah yg merasa tidak mempunyai isyarah, karena merasa lenyap/sirna diri dalam wujud Allah, dan diliputi oleh pandangan [syuhud] kepada Allah.

Hikmah yg lalu menerangkan keadaan orang awam yg dihijab oleh cahaya dunia dan syaitan sehingga mereka tidak jadi untuk berbuat taat kepada Allah. Hikmah 88 ini pula menerangkan keadaan orang yg berjalan pada jalan Allah dan sudah mengalami hakikat², tetapi cahaya hakikat masih menjadi hijab antara dirinya dengan Allah. Pengalaman tentang hakikat menurut istilah tasawuf disebut isyarah tauhid. Isyarah² tersebut apabila diterima oleh hati maka hati akan mendapat pengertian tentang Allah. Isyarah² demikian membuatnya merasa dekat dengan Allah. Orang yg merasa dekat dengan Allah, tetapi masih melihat kepada isyarah² tersebut masih belum mencapai maqom ‘arif billah. Orang ‘arif billah sudah melepas isyarah² dan sampai kepada Allah yg tidak boleh di isyarahkan lagi. Maqom ini dinamakan fana’ fillah atau lebur kewujudan diri dalam Wujud Mutlak dan penglihatan mata hati tertumpu kepada Allah semata-mata, yaitu dalam keadaan:

Tiada sesuatu sebanding dengan-Nya.

Tidak ada nama yg mampu menceritakan tentang Dzat-Nya. Tidak ada sifat yg mampu menggambarkan tentang Dzat-Nya. Tidak ada isyarah yg mampu memperkenalkan Dzat-Nya. Itulah Allah yg tidak ada sesuatu apa pun menyerupai-Nya. Maha Suci Allah dari apa yg disifatkan.

Yakni, siapa yg masih mempunyai pandangan kepada sesuatu selain Allah, maka belum sempurna sebagai seorang [yg mengenal kepada Allah]. Tetapi seorang ‘arif yg sesungguhnya, ialah yg merasakan kepalsuan sesuatu selain Allah, sehingga pandangannya tiada lain kecuali kepada Allah.

Seorang ‘arif ditanya tentang apakah fana’ itu? Dia menjawab:
“Fana’ ialah muncul/terlihatnya sifat keagungan dan kemegahan Allah pada hamba-Nya, sehingga hamba tersebut jadi lupa akan dunia, lupa akhirat, lupa derajat, lupa maqom, hal, dzikir, lupa akalnya, lupa dirinya sendiri, lupa fana’nya sebab tenggelam dalam ta’dhim kepada Allah Ta’ala.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

”Memberi isyarat” ialah menunjukkan sebagian rahasia Allah dengan isyarat. ”Merasa Allah lebih dekat” berarti ia merasa bahwa Allah selalu hadir bersama-Nya dan tak pernah ghaib, bahkan serasa Allah memperhatikan-Nya saat ia menunjukkan sebagian rahasia Ilahi itu.

Tentu, orang seperti ini bukanlah seorang ‘arif yg sesungguhnya karena ia selalu merasa dirinya ada dan kekal. Pola pikirnya masih seperti orang yg mahjub, karena mengandaikan adanya wujud sebanyak “yg menunjukkan”, wujud objek “yg ditunjukkan”, dan wujud media “yg digunakan untuk menunjukkan”. Selama ia sadar dengan akalnya bahwa ia sedang menunjukkan sesuatu, yaitu Allah, yg ditunjukkannya melalui media ucapan, maka artinya selama itu pula ia tidak merasa dirinya sirna dan fana’ karena ia belum keluar dari ranah indranya.

Isyarat lebih halus bentuknya daripada ungkapan karena ia sekadar pertanda, bukan pernyataan. Isyarat kerap digunakan oleh ahli tarekat di antara mereka saat mereka berdzikir. Mereka telah dibukakan oleh Allah rahasia² tauhid, ilmu laduni, dan pengalaman² yg didapat melalui perasaan.

Orang yg mengisyaratkan sesuatu, namun selalu memperhatikan isyaratnya walaupun ia sadar bahwa Allah lebih dekat kepadanya dan tidak ghaib darinya saat ia memberi isyarat maka orang ini tidak ‘arif. Ia tidak lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya, Orang ‘arif sesungguhnya ialah orang yg tampak tidak memiliki isyarat sama sekali walaupun isyarat itu terjadi darinya karena ia telah melebur dan fana’ dalam wujud Allah. Ia lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.

Maknanya, seorang ‘arif sejati adalah orang yg sirna dari isyarat, yg di isyaratkan, dan alat isyaratnya. Jika terjadi isyarat darinya, ia tidak menyatakannya dan tidak merasakannya karena yg mengisyaratkan dan yg di isyaratkan saat itu hanya Allah Ta’ala. Di sini ia sedang melebur dengan penyaksian terhadap-Nya, bukan malah memisahkan diri dari sana. Maka dari itu, siapa yg melakukan hal ini, berarti ia tidak lagi akan melihat dirinya sendiri.

Syaikh Yusuf Al-‘Ajami berkata, ”Siapa yg berbicara di maqam peleburan, berarti ia seakan tidak berbicara. Yg berbicara adalah Yang Maha Haq melalui lisan hamba-Nya.”

Ini sesuai dengan firman Allah dalam sebuah hadits qudsi,

“Dengan-Ku, dia (hamba) mendengar, dengan-Ku pula dia melihat, dan dengan-Ku dia berbicara.”

Seseorang dari mereka ditanya tentang kefana’an diri (peleburan diri). Ia menjawab, ”Keagungan dan kemuliaan Allah tampak pada diri seorang hamba sehingga membuatnya lupa dunia dan akhirat, derajat dan ahwal, maqam dan dzikir, dan ia merasa fana’ dari segala sesuatu; akalnya, dirinya, bahkan fana’ dari kefana’an itu sendiri sampai ia merasa tenggelam dalam keagungan Ilahi.” Wallaahu a’lam

89. Roja’ (Harapan) Dan Tamanni (Khayalan)

Hikmah 89 dlm Al-Hikam:

“Roja’ (Harapan) Dan Tamanni (Khayalan)”

الرَّجاءُ ماَ قاَرَنهُ عملٌ وِالاَّ فهُوَ اُمْنِيَّةٌ

Pengharapan (Roja’) yg sesungguhnya ialah yg disertai amal perbuatan kalau tidak demikian, maka itu hanya angan² [khayalan] belaka.

Yg dinamakan roja’ yaitu pengharapan yg dibarengi dengan amal. Apabila tidak dibarengi amal tapi malah malas beramal dan masih berani melakukan maksiat dan dosa, pengharapan itu disebut umniyyah atau lamunan. Dan dia tertipu dengan belas kasih Allah.

Rasulullah Saw. bersabda:

“Seorang yg sempurna akal ialah yg mengoreksi dirinya dan bersiap-siap untuk memghadapi maut, sedang orang bodoh ialah yg selalu menurutkan hawa nafsu dan mengharap berbagai macam harapan.”

Syaikh Ma’ruf al-Karkhi berkata:

“Mengharap surga tanpa amal perbuatan itu dosa, dan mengharap syafa’at tanpa sebab berarti tertipu, dan mengharap rahmat dari siapa yg tidak engkau taati perintahnya berarti bodoh.”

Al-Hasan ra. berkata:

“Sesungguhnya ada beberapa orang oleh angan² keinginan pengampunan, sehingga mereka keluar dari dunia [mati], sedang belum ada bagi mereka kebaikan sama sekali. Sebab mereka berkata: Kami baik sangka terhadap Allah. Padahal berdusta dalam pengakuan itu, sebab andaikan mereka baik sangka terhadap Allah, tentu baik pula perbuatannya. Al-Hasan lalu membacakan ayat Qur’an:

وَذٰ لِكمُ ْ ظَنُّكمُ ُالَّذىِ ظَنـَنـْتُمْ بِرَبِّكُم اَرْداكمُ ْ فَاَصبَحْتـُمْ من الخاَسِرِينَ

“Itulah persangkaanmu terhadap Tuhan telah membinasakan kamu, maka kamu termasuk orang² yg rugi.”

Al-Hasan berkata: Wahai hamba Allah, berhati-hatilah kamu dari angan² [khayalan] yg palsu, sebab itu sebagai jurang kebinasaan, kamu akan lalai karenanya. Demi Allah, tidak pernah Allah memberi pada seorang hamba kebaikan semata-mata karena angan² belaka, baik untuk dunia maupun untuk akhirat.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Harapan yg sesungguhnya ialah harapan yg memotivasi seseorang untuk bersungguh-sungguh dalam bekerja dan beramal. Biasanya, orang yg berharap sesuatu, dia akan mencarinya. Orang yg takut terhadap sesuatu, dia akan menghindarinya.

Jika harapan tidak dibarengi amal, bahkan pelakunya malas dan enggan bekerja, serta justru mendorong kepada maksiat dan dosa, menurut para ulama, itu hanyalah angan², bukan harapan sesungguhnya. Ia bukanlah harapan, melainkan ketertipuan.

Allah Ta’ala berfirman:

فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتٰبَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هٰذَا الْأَدْنٰى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا

“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yg jahat) yg mewarisi Taurat, yg mengambil harta benda dunia yg rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun.” (QS. Al-A’raf [7]: 169)

Rasulullah Saw. bersabda, ”Orang yg baik ialah orang yg menghinakan dirinya sendiri dan beramal untuk masa setelah kematian, sedangkan orang yg buruk ialah orang yg mengikuti hawa nafsunya dan berharap dari Allah dengan harapan² palsu.” Wallaahu a’lam

90. Permintaan Orang ‘Arif Billah

Hikmah 90 dlm Al-Hikam:

“Permintaan Orang ‘Arif Billah”

مَطْلَبُ العارفينَ مِنَ اللهِ تعالى الصِدق ُ في العُبُوديةِ والقِيامُ بحُقوُقِ الرُّبُوبيَّةِ

Permintaan orang yg sudah makrifat kepada Allah, hanya semoga dapat bersungguh-sungguh dalam menghamba dan tetap dalam menunaikan hak² kewajiban terhadap Allah.

Yg dinamakan Sidqul ‘Ubudiyyah yaitu: menetapi tatakramanya menghamba pada Allah (ubudiyyah), seperti mencukupi hak²nya Allah dalam beribadah, mensyukuri pemberian Allah, sabar menghadapi bala’, menyerahkan semua urusannya pada Allah, selalu Muraqabah (meniti taqdir Allah, yg terjadi atas dirinya dan lainnya), memperlihatkan fakirnya kepada Allah dan selalu mengharap rahmatnya Allah dan lain².

Hikmah 90 ini menjelaskan seorang ‘arif itu tidak mempunyai permintaan kepada Allah, kecuali dua perkara:

1. SHIDQUL ‘UBUDIYYAH,
2. AL-QIYAMU BIHUQUQIR-RUBUBIYYAH.

Tanpa melihat kepentingan dirinya dan nafsunya.

Berbeda dengan orang yg belum ‘Arif billah, yg belum bisa meninggalkan kepentingan diri dan nafsunya.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Yg diminta oleh orang ’arif ini lebih tinggi daripada yg di minta oleh orang selainnya, baik itu oleh ahli ibadah, zahid, maupun ‘alim. Hal itu dikarenakan, yg diminta oleh orang ‘arif hanyalah bagaimana bisa tulus dalam beribadah dan menghambakan diri, yakni dengan memperhatikan etika penghambaan, berakhlak dengan akhlak hamba, dan melaksanakan hak² Allah.

Hak² Allah itu adalah bersyukur atas karunia-Nya, bersabar atas musibah-Nya, memusuhi orang yg memusuhi-Nya, menjadikan penolong orang yg menolong-Nya, bertawakkal kepada-Nya, merasa diawasi-Nya (muraqabah), berdiri di hadapan pintu-Nya sambil mengenakan pakaian tawadhu’ dan kerendahan, mengulurkan tangan kepada yg butuh, memegang tali harapan kepada-Nya, mengenakan serban ketakutan di hadapan-Nya, serta sifat² dan akhlak ‘ubudiyah lainnya.

Siapa yg tulus dalam mengerjakan itu semua berarti ia telah menunaikan segala kewajiban yg dibebankan Allah kepadanya. Contoh memenuhi hak² Tuhan secara lahir adalah dengan taat secara lahir, muraqabah secara batin, dan selalu merasakan kehadiran-Nya dalam dirinya.

Hikmah di atas menjelaskan bahwa seorang ‘arif hanya meminta dua perkara, tanpa memperhatikan keuntungan diri. Artinya, orang² ‘arif memisahkan antara tujuan dan keuntungan diri dalam permintaan mereka. Sementara itu, yg lain tidak pernah memisahkan antara keuntungan dengan tujuan. Oleh sebab itu, permintaan seorang ‘arif lebih tinggi daripada permintaan selainnya.

Syaikh Abu Madyan berkata, ”Ada perbedaan antara orang yg tekadnya bidadari dan istana surga dengan orang yg keinginannya tersingkap hijab dan hadir bersama Allah.” Wallaahu a’lam

91. Al-Basthu Dan Al-Qobdhu (1)

Hikmah 91 dlm Al-Hikam:

“Al-Basthu Dan Al-Qobdhu”

بسطكَ كى لا يُبْقِيك مع القبضِ وقبضكَ كى لا يترُككَ معَ البسطِ واخْرَجكَ عَنْهماكى لاتكون لشىءٍدونهُ

Allah melapangkan bagimu, supaya kamu tidak selalu dalam kesempitan (qobdh). Dan Allah telah menjadikanmu sempit supaya kau tidak hanyut (terlena dalam kelapangan (basth). Dan Allah melepaskanmu dari keduanya, supaya kau tidak tergantung kepada sesuatu selain Allah.

Arti Hikmah ini, Allah selalu membuat macam² keadaan hatimu, supaya kau selalu sadar dan fana’, yakni, tidak melihat keadaanmu itu.

Jadi, Qobdhu (kesempitan itu untuk ahli Bidayah, seumpama tidak ada Qobdhu tentu tidak bisa melatih/mencegah dari kebiasaan dan kesenangan nafsu. Sedangkan maqom Basthu, bagi orang yg masuk permulaan futuh, supaya tidak kendor kekuatannya dan anggota badannya bisa digunakan untuk sesuatu yg disenangi, yaitu pemberian dari Allah dan dan tanda² ridho dari Alloh.

Sedangkan maqom I’TIDAL, itu bagi orang yg berada pada akhir suluknya, supaya keadaannya bisa tetap (tidak berubah) dan bersih amalnya, dan selalu di sisi Allah, tanpa ada ‘illat.

Allah merubah-rubah keadaan dari sedih ke gembira, dari sakit ke sehat, dari miskin ke kaya, dari gelap ke terang dan seterusnya, supaya mengerti bahwa kita tidak bisa lepas dari hukum dan ketentuan-Nya. Dan supaya kita selalu berdiri diatas landasan LAA HAULAA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAH.

Firman Allah Ta’ala:

لِكيْلا تأ ْسَوْاعلٰى ماَ فاَتَكُم ولا تَفرَحُوْا بِماَ اٰتَكمُ ْ

“Supaya kamu tidak sedih (menyesal) terhadap apa yg terlepas dari tanganmu, dan tidak gembira atas apa yg diberikan kepadamu.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Saat dalam kesempitan, kita merasa tertekan dan sakit. Saat lapang, kita akan merasa beruntung dan senang. Allah akan mengeluarkanmu dari kesempitan dan kelapangan dengan cara membuatmu merasa fana’ dan kau memilih abadi dengan-Nya.

Oleh karena itu, jangan terus-menerus berada dalam sifat dan keadaanmu yg menyakitkan atau menyenangkan agar itu tidak menjadi hijab antara dirimu dengan Tuhanmu dan agar kondisimu seimbang dan berada di tengah: tidak sempit, tidak pula lapang.

Maknanya, warnailah keadaan batinmu agar kau bisa menaklukkannya dan merasa fana darinya. Kesempitan diperuntukkan bagi orang² ‘Arif pemula. Sekiranya tanpa kesempitan, hakikat² mereka tidak akan terkumpul dan tidak terhenti dari keinginan dan syahwat.

Adapun kelapangan diperuntukkan bagi orang² yg mendapatkan cahaya awal kemenangan agar mereka mengerahkan segenap kekuatannya dan merasa nyaman dengan embusan napas Tuhan dan tanda² penyaksian terhadap keridhaan-Nya.

Sementara itu, keseimbangan diperuntukkan bagi ahli nihayah (orang yg mendapat tujuan akhir perjalanannya) agar ahwal mereka lurus, amal mereka bersih, dan mereka selalu berada di hadapan Tuhan tanpa cacat dan kekurangan.

Kesimpulannya, kesempitan dan kelapangan merupakan kondisi yg masih kurang karena masih membutuhkan eksistensi dan keberadaan seorang hamba di dunia. Namun, keduanya dapat membuat hamba itu menjadi tegar.

Itu merupakan salah satu tanda kelembutan Allah kepada hamba-Nya. Allah mewarnai hamba-Nya dengan dua kondisi itu, lalu mengeluarkannya dari sana dengan menjadikan hamba itu merasa fana dan berada bersama-Nya. Kesempitan dan kelapangan adalah kondisi kaum ‘Arif pemula. Pada masa² itu, mereka masih tercemari. Persis seperti murid pemula yg keadaannya diwarnai harap dan takut. Kendati demikian, keduanya tetap berbeda. Harap dan takut yg dirasakan murid berkaitan dengan perkara yg diperkirakan akan terjadi di masa mendatang, baik itu yg ditakuti maupun yg dicintai.

Adapun kesempitan dan kelapangan yg menimpa kaum ‘Arif berkaitan dengan perkara yg tidak diperkirakan kedatangannya. Jika perkara yg tiba² datang itu adalah perkara yg ditakuti, itu adalah kesempitan. Jika perkara yg tiba² datang itu adalah perkara yg dicintai, itu adalah kelapangan.

Sebab adanya kesempitan dan kelapangan itu adalah asupan² yg masuk ke dalam batin seorang ‘arif. Jika yg masuk ke dalam hati adalah asupan keagungan Ilahi, terjadilah kesempitan. Jika asupannya berupa keindahan Ilahi, terjadilah kelapangan. Wallaahu a’lam

92. Al-Basthu Dan Al-Qobdhu (2)

Hikmah 92 dlm Al-Hikam:

العَارِفوُنَ اِذاَ بُسِطوُ اَخـْوَفَ مِنْهُمْ اِذاَ قبَضَُوا وَلاَ يَقِفُ علىَحُدُودِ الاَدَبِ فى الْبَسْطِ الاَّ قلِيْلٌ

‘al-‘Arifun (orang yg ma’rifat billah) jika merasa lapang, itu lebih khawatir/takut kepada Allah, dari pada jika berada dalam kesempitan, dan tidak dapat berdiri tegak di batas² adab dalam keadaan lapang (basthu) kecuali hanya sedikit sekali.

Dalam kitab ‘Latha’iful Minan’, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata: “Keadaan basthu itu menggelincirkan kaki para lelakinya Allah (orang shalih). Jadi keadaan Basthu menjadikan sebab para ‘Arifin menambah kehati-hatiannya, dan kembali pada Allah. Sedangkan keadaan Qobdhu itu lebih dekat dengan keselamatan, karena itu sudah menjadi kedudukan hamba. Karena hamba selalu dalam genggaman dan kekuasaan Allah”.

Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq ra. berkata: “Kami diuji dengan kesukaran, maka kami kuat bertahan dan sabar, tetapi ketika kami diuji dengan kesenangan (kelapangan), hampir tidak tahan/sabar”.

Syaikh Yusuf bin Husain ar-Razy menulis surat kepada Imam Junaid al-Baghdadi ra.: “Semoga Allah tidak memberimu rasa kelezatan hawa nafsumu, jika engkau merasakan kelezatan, maka tidak akan merasakan kebaikan untuk selamanya”.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Mereka amat mengkhawatirkan diri mereka jika diberi Allah kelapangan. Bagi mereka, kelapangan lebih cocok dengan hawa nafsu. Saat itu, mereka takut terjerumus oleh dorongan hawa nafsu untuk selalu berbicara tentang ahwal, karamah, dan keistimewaan lain yg mereka miliki. Mungkin di situlah letak keterusiran dan keterasingan mereka. Terkadang pula, pada saat itu, dari diri mereka terucap ucapan yg tidak sesuai dengan keagungan Tuhan. Saat itulah mereka dituntut untuk selalu menjaga adab dan menahan diri. Itu amat sulit bagi mereka dalam kondisi ini.

Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Yg bisa menjaga adab pada saat berada dalam kelapangan hanyalah sedikit.”

Kelapangan dapat menggelincirkan kaki orang². Ia menuntut agar mereka lebih waspada dan berhati-hati. Kesempitan lebih dekat kepada keselamatan karena ia merupakan tempat hamba berada dalam genggaman Allah. Di sana pula kuasa Allah meliputinya. Dari manakah gerangan datangnya kelapangan? Dari Allah.

Kelapangan sama dengan keluar dari hukum waktu-Nya, sedangkan kesempitan adalah keadaan yg memang layak ada di dunia ini. Karena dunia adalah negeri yg penuh beban, misteri tentang masa depan, ketidaktahuan tentang masa lalu, dan tempat tuntutan pelaksanaan hak² Allah. Wallaahu a’lam

93. Al-Basthu Dan Al-Qobdhu (3)

Hikmah 93 dlm Al-Hikam:

البَسْطُ تاءْخُذُ النَّفْسُ مِنْهُ حَظَّهاَ بِوُجُودِ الفَرَحِ والقبضُ لاَ حَظَّ للنَّفْسِ فِيْهِ

Di dalam keadaan lapang (bashtu), hawa nafsu dapat mengambil bagiannya karena gembira, sedang dalam keadaan sempit (qobdhu) tidak ada bagian sama sekali untuk hawa nafsu.

Hikmah ini menjelaskan hikmah sebelumnya tentang sulitnya menjaga adab/tatakrama kepada Allah dikala keadaan Basthu, maka dari itu sedikit sekali orang yg bisa menepati adab kepada Allah dikala Basthu.

Karena itu manusia lebih aman dalam kesempitan, karena hawa nafsu tidak dapat berdaya dan tidak dapat bagiannya.

Syaikh Abul Hasan Ali as-Syadzili ra. berkata: Alqobdhu wal Basthu (susah/sedih dan senang dalam hati) itu selalu silih berganti dalam perasaan tiap hamba, bagaikan silih bergantinya siang dan malam. Dan sebabnya qobdhu (susahnya hati) itu salah satu dari tiga: karena dosa, atau kehilangan dunia, atau dihina orang, maka jika seseorang merasa berdosa maka segeralah bertaubat. Jika kehilangan dunia, maka harus rela dan menyerahkan kepada hukum Allah. Dan jika dihina orang harus sabar. Dan jagalah dirimu jangan sampai kamu merugikan orang lain.

Dan apabila terjadi qobdhu yg tidak di ketahui penyebabnya, maka harus tenang dan menyerah kepada Allah. Insya Allah tidak lama akan sirna masa gelap dan berganti dengan terang, adakalanya terangnya bintang, yaitu ilmu, atau sinar bulan yaitu tauhid, atau matahari yaitu ma’rifat. Tetapi jika tidak tenang di masa gelap (qobdhu), mungkin akan terjerumus ke dalam kebinasaan.

Adapun masalah basthu (riang/senangnya hati), maka sebabnya adalah satu dari tiga ini: karena bertambahnya kelakuan ibadah/taat dan bertambahnya ma’rifat atau bertambahnya kekayaan atau kehormatan, dan yg ketiga karena pujian dan sanjungan orang kepadanya.

Maka adab seorang hamba jika merasa bertambah kelakuan ibadahnya dan ilmu ma’rifatnya, harus merasa bahwa itu semata-mata karunia dari Allah, dan berhati-hati jangan sampai merasa bahwa itu dari hasil usahanya sendiri. Dan jika mendapat tambahnya harta dunia, maka ini pula sebagai karunia dari Allah juga, dan harus waspada jangan sampai terkena bahayanya. Adapun jika mendapat pujian dari orang lain kepadamu, maka kehambaanmu harus bersyukur kepada Allah yang telah menutupi kejelekanmu/aibmu, sehingga orang lain hanya melihat kebaikanmu.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Dalam hikmah ini terdapat penegasan tentang hikmah sebelumnya bahwa menjaga adab/etika saat lapang amat sulit. Sebab, tak ada yg bisa menjaga adab/etika dalam kondisi itu kecuali segelintir orang.

Seakan Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Memang demikian adanya karena hawa nafsu selalu memainkan perannya dalam kondisi kelapangan.”

Biasanya, saat lapang, hawa nafsu menjadi lalai, melupakan kewajiban, mengaku-aku memiliki ilmu, pemahaman, ahwal batin dan rahasia², selalu berbicara tentang kemampuan khusus, menikmati hal² luar biasa, menyinggung masalah karamah, dan bersuara tentang maqam masing². Semuanya itu tentu bertentangan dengan prinsip ‘ubudiyah.

Sebaliknya, di dalam kesempitan, nafsu tidak merasa beruntung dan memiliki peran apa². Nafsu tidak akan sombong dengan menampakkan sesuatu yg menjadi miliknya. Dengan begitu, kesempitan lebih aman dan lebih membentuk kemampuan untuk menunaikan etika² ‘ubudiyah. Oleh karena itu, orang² ‘arif lebih mengutamakan kesempitan daripada kelapangan. Wallaahu a’lam

94. Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah (1)

Hikmah 94 dlm Al-Hikam:

“Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah”

رُبَّماَ اَعْطاكَ فمَنَعكَ وَرُبَّماَ منَعَكَ فأَعْطاكَ

Terkadang Allah memberimu kekayaan/kesenangan dunia, tetapi Allah menahan tidak memberimu perkara yg hakikatnya baik padamu (taufiq dan hidayah-Nya). Dan terkadang Allah menahan (tidak memberi) kamu dari kesenangan dunia tetapi pada hakikatnya memberikan kepadamu taufiq dan hidayah-Nya.

Jadi apabila Allah tidak memberi apa yg menjadi syahwat keinginanmu dan apa yg enak menurut perasaan nafsumu, hakikatnya itu adalah pemberian yg agung dari Allah, dan kamu dilepaskan dari apa yg menjadi kepentingan nafsumu.

Sebaliknya walaupun kelihatannya itu sebagai pemberian dari Allah (dikabulkannya doamu) pada hakikatnya itu sebagai penolakan dari Allah.

Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata: “Jika ditahan (tidak diberi) permintaanmu maka hakikatnya engkau telah diberi, dan jika permintaanmu segera diberikan maka hakikatnya telah ditolak dari sesuatu yg lebih besar. Karena itu utamakan tidak dapat dari pada dapat, dan sebaiknya hamba tidak memilih sendiri, tapi menyerahkan sepenuhnya kepada Allah yg menjadikannya. Dan yg mencukupi segala kebutuhannya.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

“Taufik” ialah bimbingan untuk melakukan ketaatan serta mendekatkan diri kepada-Nya dan memahami-Nya.

Allah mungkin memberimu kesenangan dan kenikmatan dunia. Namun, Dia menghalangimu dari bimbingan-Nya untuk mentaati, mendekati, dan memahami-Nya. Mungkin juga Allah menghalangimu dari kesenangan dunia, namun dia memberimu bimbingan-Nya.

Halangan Allah kepadamu untuk menikmati syahwatmu dan menikmati kesenangan alam semesta, meski disertai buruknya kebiasaan ibadahmu, merupakan karunia yg besar dari-Nya. Allah telah menetapkannya untukmu dan memutusmu dari kepentingan dan tujuan²mu.

Sebaliknya, ketika Allah memberimu kesenangan dunia, walaupun secara lahir tampak seperti pemberian, jangan kau lihat lahirnya saja. Lihatlah hakikatnya. Saat itu, seorang hamba wajib menyerahkan putusan, pengaturan, dan pilihan kepada Tuhannya. Wallaahu a’lam

95. Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah (2)

Hikmah 95 dlm Al-Hikam:

مَتٰى فتَحَ لكَ باَبَ الفـَهْمِ فِى المَنْعِ عاَدَ المَنْعُ هُوَ عَيْنُ العطاَءِ

Apabila Allah telah membukakan pengertian (faham) tentang penolakan-Nya, maka berubahlah penolakan itu hakikatnya menjadi pemberian.

Sesuatu yg sangat menghalangi perjalanan keruhanian seorang murid adalah keinginan diri sendiri. Dia berkeinginan sesuatu yg menurutnya akan membawa kebaikan kepada dirinya. Keinginan atau hajat keperluannya itu mungkin tentang dunia, akhirat atau hubungan dengan Allah Ta’ala. Jika hajatnya tercapai dia merasa menerima karunia dari Allah. Jika hajatnya tidak dikabulkan dia akan merasa itu sebagai penolakan Allah, dan merasa jauh dari Allah. Orang yg berada pada peringkat ini selalu mengaitkan makbul permintaan atau doa, dengan kemuliaan di sisi Allah. Jika Allah mengabulkan permintaannya dia merasa itu adalah tanda dia dekat dengan-Nya. Jika permintaannya ditolak dia merasa itu tanda dia jauh. Anggapan begini sebenarnya tidak tepat. Tidak semua penerimaan doa itu menunjukkan dekat dan tidak semua penolakan itu menunjukkan jauh.

Apabila Allah telah memperlihatkan kepadamu hikmah kebijaksanaan-Nya dalam apa yg di jauhkan-Nya darimu, maka itu berarti suatu karunia Tuhan kepadamu. Sehingga terasa olehmu keselamatan dunia dan akhiratmu.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Ketika kau meminta namun tidak diberi, lalu kau paham bahwa tidak adanya pemberian itu merupakan salah satu bentuk rahmat-Nya untukmu (karena Dia Maha Tahu bahwa itulah yg terbaik untukmu), dan bahwa Tuhanmu sedang memperlihatkan kuasa-Nya di hadapanmu, maka pemahaman semacam itulah sejatinya pemberian untukmu dari-Nya. Wallaahu a’lam

96. Lahir Dan Batinnya Alam (Dunia)

Hikmah 96 dlm Al-Hikam:

“Lahir Dan Batinnya Alam (Dunia)”

اَلاَكـْواَنُ ظاَهِرُهاَ غِرَّ ةٌ وَباَطِنُهاَ عِبْرَةٌ فاَالنَّفْسُ تَنْظُرُ اِلىَ ظاَهِرِ غِرَّتِهاَ والقَلبُ يَنْظُرُ اِلٰى باَطِنِ عِبْرَتِهاَ

Alam semesta ini lahirnya berupa tipuan, dan batinnya sebagai peringatan, maka hawa nafsu melihat lahir tipuannya, sedangkan mata hati memperlihatkan peringatan/akibatnya.

Dunia ini bila dilihat dari lahirnya akan terlihat sangat indah, menyenangkan dan menggiurkan, sehingga banyak orang yg mencintai dunia, terbujuk oleh dunia sehingga melupakan Allah sang pencipta dan penguasa dunia.

Allah berfirman: “Maka janganlah kamu tertipu oleh kehidupan dunia.”

Firman Allah: WAMAL-HAYATAD-DUN-YA ILLAA MATAA-UL GHURUUR. (tiadalah kehidupan dunia ini melainkan kesenangan yg menipu)

Apabila dunia dilihat dari sisi batinnya (hakikatnya), akan menjadikan pelajaran bagi kita untuk mengenal Allah, dunia yg kita lihat akan membuat hati melihat manifestasi ketuhanan di dalamnya, dan dunia tempat berjalannya Qudrat dan Irodat Allah.

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Maksud “alam” di sini adalah segala kenikmatan dan pernak pernik duniawi yg di dalamnya nafsu meraih keuntungannya. Alam membuat jiwa tertipu karena keindahan dan kilauannya.

Namun hakikatnya, alam sesungguhnya adalah objek untuk diambil pelajarannya dan dijauhi karena keburukan, kehinaan, dan kefanaannya.

Secara lahir, alam ini indah dipandang, sedangkan secara batin, ia amat buruk. Siapa yg melihat kepada lahirnya, ia akan mendapatinya hijau, indah, dan menyilaukan. Pasti ia tertipu karenanya dan akan suka melihatnya. Namun, siapa yg melihat hakikat batinnya, ia akan mendapatinya kering, mati, dan kotor sehingga akan menjadikannya bahan pelajaran dan menjauhinya.

Nafsu selalu melihat kepada hiasan alam yg menyilaukan sehingga ia tertipu dan pemiliknya akan binasa. Namun, kalbu akan melihat pada batinnya atau keburukannya sehingga ia akan berkaca di sana dan terhindar dari keburukannya. Wallaahu a’lam

97. Carilah Kemuliaan Yang Abadi

Hikmah 97 dlm Al-Hikam:

“Carilah Kemuliaan Yang Abadi”

اذا اَرَدتَ اَنْ يَكُونَ لكَ عِزًّ لاَ يَفْنىَ فَلاَ تَسْتَعِزَّنَّ بِعِزٍّ يُفـْنىٰ

Jika engkau ingin mendapatkan kemuliaan yg tidak punah/rusak, maka jangan membanggakan kemuliaan yg bisa rusak.

Manusia mencari kemuliaan melalui berbagai macam cara. Mereka mencarinya melalui harta, pangkat dan kekuasaan. Ada yg mencarinya melalui ilmu dan amal. Semua kemuliaan yg diperoleh dengan cara demikian bersifat sementara. Semua kemuliaan tersebut adalah fatamorgana.

Kemuliaan yg abadi/tidak rusak hanya kemuliaan Allah, maka bergantunglah dengan Allah, sebab Allah kekal abadi dan tidak rusak. Adapun jika bergantung kepada kekayaan, kebangsaan, kedudukan, maka semua itu palsu dan akan rusak tidak kekal. Maka barang siapa bergantung pada suatu sebab yg tidak kekal, maka akan rusak bersama dengan rusaknya sebab/alat itu.

Allah berfirman: “Apakah mereka mengharapkan pada apa yg mereka sanjung itu suatu kemuliaan, ketahuilah sesungguhnya kemuliaan itu semuanya milik dan hak Allah Ta’ala.”

Ada hikayat: Seseorang datang kepada raja Harun al-Rasyid, untuk memberi nasihat, tiba² Harun al-Rasyid marah kepadanya, lalu memerintahkan kepada pengawalnya supaya mengikat orang itu bersama dengan keledainya yg nakal, supaya dia mati di tendang keledai. Setelah perintah dilaksanakan tiba² keledai itu jadi lunak kepada orang yg akan dihukum. Kemudian Harun memerintahkan supaya orang tersebut di masukkan kedalam rumah dan pintunya supaya ditutup dengan semen, supaya dia mati didalamnya, tiba² orang yg dihukum itu telah berada di luar (kebun) sedang pintu rumah masih tertutup dengan semen. Maka orang itu dipanggil oleh Harun al-Rasyid dan ditanya: “Siapa yg mengeluarkan kamu dari rumah (penjara)?” Jawabnya: “Yg memasukkan saya ke kebun.” Harun bertanya lagi: “Dan siapa yg memasukkan engkau ke dalam kebun?” Jawabnya: “Yg mengeluarkan aku dari rumah.”

Kemudian Harun al-Rasyid sadar dan memerintahkan pengawalnya untuk membawa orang itu diatas kendaraan dan keliling kota, sambil memberitahukan pada masyarakat: “Ketahuilah bahwa raja Harun al-Rasyid menghinakan orang yg telah di muliakan Allah, maka tidak bisa.”

Seseorang datang kepada seorang ‘Arif sambil menangis, maka ditanya oleh sang ‘Arif: “Mengapa engkau menangis?” Jawabnya: “Karena Guruku telah mati.” Orang ‘Arif itu berkata: “Mengapa engkau berguru pada orang yg bisa mati.”

Syaikh Abdullah as-Syarqawi mensyarah:

Jika kau menghendaki kemuliaan abadi, jauhilah segala sebab dan yakinlah dengan adanya sang Pencipta sebab. Pencipta sebab adalah Tuhan Yang Abadi sehingga ketergantunganmu kepada-Nya menjadi sumber kemuliaan yg abadi.

Jangan kau tertipu dengan kemuliaan yg fana, misalnya dengan menyandarkan diri pada sebab dan tidak menyadari siapa Penciptanya. Karena sebab itu fana, ketergantunganmu terhadap sebab menjadi sumber kemuliaan yg tidak abadi.

Apabila kau merasa mulia karena Allah, kemuliaanmu akan abadi dan tak seorang pun yg mampu menghinakanmu. Namun, jika kau mendapat kemuliaan dari selain-Nya, seperti dari harta, kehormatan, dan kedudukan, dan kau merasa puas serta menjadikannya sandaran, lalu kau lalai dari Tuhanmu, maka tak ada keabadian bagi kemuliaanmu itu. Tak ada kemuliaan pada sesuatu yg kau banggakan selain Tuhan. Wallaahu a’lam

98. At-Thoyyu: Melipat/Menyingkat Jarak/Waktu

Hikmah 98 dlm Al-Hikam:

“At-thoyyu” (Melipat/Menyingkat Jarak/Waktu)

اَلطَّيُّ الحقِقيُّ اَنْ تطوٰى مساَفة ُ الدُّنْياَ عَنْكَ حَتَّى ترَىالاٰخِرَةَ اَقْرَبَ اِليكَ منكَ

Menyingkat/melipat jarak yg hakiki ialah jika engkau bisa menyingkat jarak dunia ini, sehingga engkau dapat melihat akhirat itu lebih dekat kepadamu dari pada dirimu sendiri.

Hikmah ini menerangkan tentang at-thoyyu al-haqiqy, yg diberikan kepada para kekasih Allah, dengan thoyyu al-haqiqy, Allah memuliakan para wali²Nya. Bukan melipat jaraknya perjalanan di bumi (Indonesia- makkah bisa ditempuh hanya satu langkah atau kedipan mata).

Dan juga bukan menghabiskan masa siang malam dengan sholat dan puasa semata-mata. Karena itu semua bisa bercampur dengan sifat riya’, ujub, dll.

At-Thoyyul haqiqyy itu diberikan pada orang² yg telah bersinar Nurul yaqin dalam hatinya, sehingga dia melihat dunia akan hilang dari pandangannya, dan melhat akhirat ada dekat di depannya. Orang yg seperti ini tidak mungkin akan mencintai dunia, karena dia tahu rusaknya dunia.

Dalam keterangan lain, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata: Andaikata Nur keyakinan itu telah terbit terang di hatimu, pasti engkau dapat melihat akhirat lebih dekat kepadamu daripada engkau akan pergi kesana, dan pasti dapat melihat segala keindahan dunia ini diliputi suramnya kerusakan dan kehancuran yg akan menimpa kepadanya. Wallaahu a’lam

99. Hakikat Pemberian Dari Makhluk

Hikmah 99 dlm Al-Hikam:

“Hakikat Pemberian Dari Makhluk”

العَطَاء مِنَ الخَلقِ حِرْماَنٌ والمنْعُ من اللهِ اِحْسانٌ

Pemberian dari makhluk itu suatu kerugian (penghalang), dan penolakan dari Allah itu suatu pemberian kebaikan dan karunia.

Hikmah ini merupakan ucapan ahli tauhid yg sebenarnya. Orang yg benar² bertauhid menganggap bahwa sekiranya mereka menerima pemberian makhluk sedangkan hatinya tidak melihat bahwa pemberian itu sebenarnya dari Allah, maka dia menerima pemberian itu sebagai suatu kerugian.

Sedangkan penolakan Allah atas permintaanmu itu hakikatnya suatu pemberian dan anugerah dari Allah, karena Allah menempatkan kamu di pintu Rahmat-Nya dan menyelamatkan kamu dari terhalang dengan-Nya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata: Jangan merasa adanya yg memberi nikmat kepadamu selain Allah, dan anggaplah segala nikmat yg kamu terima dari selain Allah sebagai kerugian. (yakni: di antara engkau dengan Allah tidak ada perantara, maka semua nikmat yg kamu terima
semata-mata dari Allah, dan bila terjadi engkau merasa menerima nikmat dari sesama manusia, maka itu sebagai kerugian bagimu.)

Seorang Hakim berkata: Menanggung budi kebaikan dari manusia itu lebih berat daripada sabar karena kekurangan (ketiadaan). Pemberian dari makhluk itu, pada umumnya menyebabkan terhijab dari Allah, sehingga tidak ingat pada Allah, dan merasa berhutang budi kepada sesama manusia, dan inilah letak kerugian moril. Sebaliknya penolakan dari Allah yg menyebabkan kita ingat Allah itu, berarti suatu karunia nikmat yg besar dari Allah. Wallaahu a’lam

100. Amal Dan Balasan Dari Allah (1)

Hikmah 100 dlm Al-Hikam:

“Amal Dan Balasan Dari Allah”

جَلَّ رَبُّناَ اَنْ يُعاَملهُ العَبْدُ نَقْداً فَيُجاَزِيهُ نَسِيْـءَـةً

Maha Agung Tuhan, jika seorang hamba beramal kontan (segera) dan di balas kemudian hari.

Pembalasan amal itu tidak khusus di akhirat saja, tapi kadang sebagian ada yg di wujudkan di dunia, supaya mendorong semangatnya amal, dan sebagai tanda diterimanya amal. Wallaahu a’lam

November 21

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?