- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Nikmat Terbaik: Memandang Wajah Allah

4 months ago

4 min read

Dalam perjalanan fisikal dan spiritual seorang Muslim, terdapat tiga tingkatan utama: Islam, Iman, dan Ihsan. Ketiganya membentuk fondasi agama, namun Ihsan menempati posisi tertinggi. Ihsan adalah puncak dari perjalanan spiritual, yang hanya bisa dicapai setelah seseorang menjalani Islam dan keimanannya. Semakin baik iman dan Islamnya, maka semakin baik pula ihsannya. Definisi ‘ihsan’, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi, adalah:

“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”

Ini menggambarkan kedekatan dan kesadaran spiritual yang mendalam, membawa kita pada pengertian bahwa puncak kenikmatan adalah “melihat” Allah, baik secara metaforis di dunia melalui ketajaman iman, maupun secara literal di akhirat.

Mengapa hadits di atas mengatakan: “…jika engkau tidak melihat-Nya…”? Karena “melihat” Allah bukanlah dalam konteks melihat makhluk, sebagaimana kita secara umum memahami penglihatan di dunia ini menggunakan mata kita sendiri. Allah berfirman:

“Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat menjangkau segala penglihatan itu. Dialah Yang Mahahalus lagi Mahateliti.” (QS. Al-An’aam 6:103).

Bukankah ini bertolak belakang? Tidak, karena telah maklum bahwa ‘melihat’ merupakan pertalian khusus antara yang melihat dan yang dilihat. Berdasarkan akal, bila salah satu di antara yang melihat dan yang dilihat itu ada di arah tertentu, maka yang satunya lagi juga demikian. Demikian pula bila salah satunya jelas tidak berada di arah tertentu (sebagaimana Allah tidak berada di arah tertentu), maka yang satunya lagi juga tidak di arah tertentu. Dapat dikatakan bahwa kita melihat-Nya bukan dengan mata kita, tapi dengan mata-Nya. Maka dari itu, dalam Hadits Qudsi Allah berfirman:

“… Jika Aku telah mencintainya, maka (Aku) menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya, (Aku) menjadi penglihatannya yang dia melihat dengannya…” (Hadits Qudsi).

Baca: Kitab Tanwirul Qulub

Di akhirat, Allah Ta’ala akan memuliakan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan memberi mereka kesempatan untuk melihat wajah mulia-Nya dengan mata kepala, setelah mereka masuk surga dan sebelumnya. Tetapi, mereka melihat wajah-Nya tanpa bagaimana dan seperti apa. Alqur’an dan hadis telah menegaskan kenyataan ini. Allah Ta’ala berfirman:

“Wajah-Wajah (orang-orang beriman) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah 75:22-23).

Ayat ini menegaskan bahwa kenikmatan tertinggi yang akan diberikan kepada orang-orang beriman adalah kesempatan untuk memandang Wajah Allah di akhirat. Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian seperti kalian melihat bulan di malam purnama.”

Hadits ini bukan menyamakan Allah dengan bulan, melainkan menekankan kejelasan dan keindahan saat melihat-Nya, bebas dari keraguan dan kebingungan.

Melihat Wajah Allah di akhirat adalah sebuah pemuliaan yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang beriman. Orang-orang kafir akan terhalang dari melihat Allah, sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an:

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (QS. Al-Mutaffifin 83:15).

Hal ini mempertegas bahwa hanya mereka yang beriman yang akan diberi anugerah kenikmatan ini. Namun, tidak semua orang beriman diperkenankan melihat Wajah Allah, namun hanya mereka yang berihsan yang akan mendapatkan tambahan, yakni melihat Wajah Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Bagi orang-orang yang (اَحْسَنُو) berbuat ihsan (ada balasan) yang terbaik dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Wajah-wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula diliputi) kehinaan. Mereka itulah para penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus 10:26).

Ihsan, bukan hanya “berbuat baik”, namun dalam konteks agama, harus dikembalikan sesuai dengan apa yang telah Rasulullah SAW jelaskan dalam paragraf pertama di atas. Dikatakan dalam kitab Syarah Al-Hikam bahwa kerinduan yang berupa ingin melihat Allah itu, termasuk karunia yang agung dari Allah, dan ini termasuk maqam ihsan.

Perkataan para sahabat juga menambah pemahaman kita tentang nikmat memandang Allah. Sayyidina Ali ra. berkata:

ما رأيت شيئاً إلا رأيت الله قبله وفيه وبعده
“Aku tidak memandang sesuatu, melainkan aku memandang Allah sebelum itu, ketika itu, dan sesudah itu.”

Ini menunjukkan tingkat ma’rifat yang tinggi, di mana seseorang dapat merasakan kehadiran Allah dalam segala sesuatu. Lebih lanjut, beliau menegaskan, “Aku tidak menyembah tuhan yang tidak aku kenal,” menekankan pentingnya mengenal Allah sebelum benar-benar bisa menyembah-Nya dengan kesadaran penuh.

Di sisi lain, Sayyidina Abu Bakr ra. berkata:

“Tidak ada yang mengenal Allah selain Allah.”

Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa meskipun kita berusaha untuk mengenal Allah, hakikat dan esensi Allah tetap di luar jangkauan pemahaman manusia. Ini adalah pelajaran tentang keterbatasan akal kita dalam mencapai kesempurnaan ma’rifat.

Sayyidi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani qs. juga mengingatkan,

“Mayoritas kalian menginginkan dunia, sedikit yang menginginkan Akhirat, dan sangat jarang sekali di antara kalian yang menginginkan Wajah Tuhan Pemilik dunia dan Akhirat.”

Kalam ini menjadi refleksi bagi kita untuk mengevaluasi prioritas hidup kita: apakah kita mengutamakan kenikmatan dunia atau berjuang meraih ridha dan pertemuan dengan Allah di akhirat.

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 115).

Ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah Maha Hadir di mana pun kita berada. Meskipun di dunia kita tidak dapat melihat-Nya dengan mata fisik, sebagaimana memandang benda, namun dengan mata hati kita dapat menyaksikan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan.

Nikmat terbesar yang tak tertandingi oleh apapun, termasuk kenikmatan surga, adalah memandang Wajah Allah. Meskipun nikmat iman dan kesehatan sangat penting, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi SAW, “Mintalah kepada Allah badan yang sehat. Sungguh tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik, setelah nikmat iman, melebihi nikmat sehatnya badan.” Namun, nikmat iman dan kesehatan hanyalah jalan menuju kenikmatan tertinggi: memandang Allah. Sehingga, pernyataan bahwa “Sebaik-baik nikmat adalah nikmat iman”, walaupun ini bukan hadits, mungkin sesuai dengan pemahaman sebagian orang awam, namun puncaknya tetap terletak pada ihsan dan pertemuan dengan Allah.

Marilah kita berusaha menjadi hamba-hamba yang senantiasa mencari ridha Allah, mengenal-Nya dengan sebaik-baiknya, dan berharap agar diizinkan untuk memandang Wajah-Nya. Semoga Allah membimbing kita menuju ma’rifat yang sejati dan menganugerahkan kita nikmat memandang Wajah-Nya.

Bagikan postingan ini

Copy Title and Content
Content has been copied.

Baca lebih lanjut

Postingan Terkait

Temukan koleksi postingan blog yang penuh wawasan dan menarik.

Lihatlah Burung-Burung Itu!

78. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.”

Catatan

Perbedaan antara Ridha dan Ikhlas

Perbedaan antara ridha dan ikhlas terletak pada makna, fokus, dan konteks penggunaannya dalam kerangka ajaran Islam. Berikut penjelasannya: 1. Ridha Ridha (رِضَى) secara harfiah berarti

Catatan

Fenomena Dosa bagi Salik

Mengapa setelah kita (terutama para pemuda) masuk tarekat (terutama setelah mengikuti suluk), terasa sangat sulit untuk melakukan dosa, meskipun keinginan itu ada? Dan saat kita

Catatan

Mustahil Bersyukur

Mustahil bisa mensyukuri apabila belum pernah menikmati. Mustahil bisa menikmati apabila belum pernah menyadari. Mustahil bisa menyadari apabila belum terbuka mata hati. Bersyukurlah hari ini,

Catatan

February 5

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?