“Ridha ialah hati seseorang memperhatikan (merasa tenang) dengan apa pun yang telah diputuskan Allah terhadap dirinya karena sesungguhnya Allah telah menetapkan sesuatu yang paling utama bagi hamba-Nya”
— Sayyidi Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari qs.
: : : : : : : : :
“Dan tiap-tiap manusia itu, telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya, dan Kami keluarkan baginya di hari Kiamat satu kitab yang dijumpainya dengan terbuka. Bacalah kitabmu: cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS Al-Isra’ [17]: 13-14)
: : : : : : : : :
Sungguh pengetahuan tentang sekat-sekat takdir yang membatasi kehidupan kita masing-masing adalah sesuatu yang sangat besar, dan untuk memahaminya diperlukan banyak bekal pengetahuan serta kebijaksanaan.
Kita terlahir ke muka bumi ini dengan tidak diberikan pilihan: mau dilahirkan dari orang tua seperti apa, keluarga yang bagaimana, bentuk fisik yang mana, dan lain sebagainya. Sama halnya sebagaimana seseorang tidak dapat menegosiasikan berapa lama dia akan hidup.
Kesadaran akan garis-garis kehidupan yang telah ditorehkan di Lauh Mahfuz — yang sekuat apa pun keinginan manusia, tetap tidak akan mampu mengubahnya — itulah yang membuat manusia menjadi lebih bisa berkompromi dengan kehidupan alih-alih memaksakan kehendaknya sendiri sampai babak belur.
Banyak ketetapan hidup yang memang sudah Allah gariskan, dan tidak bisa diubah. Akan tetapi ada wilayah yang sepenuhnya menjadi “free will”, atau kehendak bebas manusia, yaitu hatinya sendiri.
Itulah semesta luas yang tak terbatas. Adalah hati yang bisa liar ke mana-mana. Bisa naik ke surga yang paling tinggi atau terjun bebas ke neraka yang paling bawah. Inilah pilihan yang di dalam dinyatakan Al-Quran sebagai, “Datanglah kepada-Ku dalam keadaan suka cita atau terpaksa.”
Kesukacitaan dan keterpaksaan itu letaknya di dalam hati. Kitalah yang menentukan apakah semesta hati kita mau tunduk dan berserah diri dengan keadaan yang ada, ataukah menjalaninya dengan berkeluh kesah, ngedumel, ngomel-ngomel, dan mengumbar amarah.
Ibaratnya setiap manusia itu telah diberikan buku mewarnai masing-masing, namun dengan desain dan pola yang berbeda-beda. Gambarnya sudah tersedia, tak bisa diubah, dan tugas kita hanya mewarnai dengan sebaik mungkin. Ada yang berusaha mengubah gambar yang ada, ada yang iri dengan gambar milik orang lain, ada yang mewarnai dengan serampangan, dan yang terbaik, tentu saja, yang mewarnai dengan sapuan warna serapih dan sebaik mungkin sehingga menyenangkan hati Yang Memberikan buku.
Suatu saat nanti, masing-masing kita akan menerima buku kehidupannya sendiri. Warna-warni hati yang kita torehkan saat ini akan dilihat hasilnya di suatu masa yang akan datang nanti. Semoga kita nanti mendapati buku kita dalam keadaan yang indah. Amin Ya Rabb Al-Alamin.
( Z A J T )