Sepulang dari peristiwa Shiffin, Ali bin Abi Thalib ra bersama seluruh pasukannya kembali ke Kufah. Beberapa mil sebelum sampai Kufah, ada sekitar 14 ribu orang (menurut riwayat Abdurrazaq dalam “Mushannaf”) yang memisahkan diri dari jamaah dan mencari jalur yang berbeda. Mereka tidak terima dengan genjatan senjata antara Ali dengan Mu‘awiyah.
Peristiwa tahkim atau kesepakatan damai antara Ali dengan Mu‘awiyah, yang diwakilkan kepada dua sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy‘ari dan Amr bin Ash, menjadi pemicu sebagian masyarakat yang merasa benar untuk mengkafirkan Ali bin Abi Thalib ra. Karena peristiwa ini, pada saat Ali bin Abi Thalib ra berkhutbah, banyak orang meneriakkan:
“Tidak ada hukum kecuali hanya milik Allah.”
Mereka beranggapan Ali bin Abi Thalib ra telah menyerahkan hukum kepada manusia (Abu Musa Al-Asy‘ari)
Ali bin Abi Abi Thalib ra tetap melanjutkan perjalanan hingga sampai di Kufah. Ali bin Abi Thalib ra sangat berharap mereka mau kembali bergabung bersamanya. Untuk tujuan itu, beliau mengutus Ibn Abbas agar berdialog dengan mereka.
Ibn Abbas menceritakan, “Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”
Ibn Abbas berkata, “Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bagaikan lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”
“Selamat datang wahai Ibn Abbas, misi apa yang Anda bawa?”
“Aku datang dari sisi seorang sahabat Nabi saw, menantu beliau saw. Al-Quran turun kepada para sahabat, dan mereka lebih paham tentang tafsir Al-Quran daripada kalian. Sementara tidak ada satu pun sahabat di tengah kalian. Sampaikan kepadaku, apa yang menyebabkan kalian membenci para sahabat Rasulullah saw dan putra paman beliau saw (yaitu Ali bin Abi Thalib ra)?”
“Ada tiga hal,” jawab orang Khawarij tegas.
“Apa saja itu?” tanya Ibn Abbas.
“Pertama, dia menyerahkan urusan Allah kepada manusia, sehingga dia menjadi kafir. Karena Allah berfirman, ‘Tidak ada hukum kecuali hanya milik Allah.’ Apa urusan orang ini dengan hukum Allah?”
“Ini satu,” tukas Ibn Abbas
“Kedua, Ali memerangi Mu‘awiyah, namun tidak tuntas, tidak memperbudak mereka dan merampas harta mereka. Jika yang diperangi itu kafir, seharusnya dituntaskan dan diperbudak. Jika mereka mu‘min, tidak halal memerangi mereka.”
“Sudah dua. Lalu apa yang ketiga?” kata Ibn Abbas.
“Dia tidak mau disebut Amirul Mu‘minin, berarti dia Amirul Kafirin.”
“Ada lagi alasan kalian mengkafirkan Ali selain 3 hal ini?” tanya Ibn Abbas.
“Cukup 3 ini,” jawab mereka.
Mulailah Ibn Abbas menjelaskan salah paham mereka,
“Apa pendapat kalian, jika aku sampaikan kepada kalian firman Allah dan sunnah Nabi-Nya, yang membantah pendapat kalian. Apakah kalian bersedia menerimanya?”
“Ya, kami menerima,” jawab mereka.
“Alasan kalian bahwa Ali telah menunjuk seseorang untuk memutuskan hukum, akan kubacakan ayat dalam firman Allah, bahwa Allah menyerahkan hukum-Nya kepada manusia untuk menentukan harga ¼ dirham. Allah perintahkan agar seseorang memutuskan hal ini. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai sembelihan yang dibawa ke Ka‘bah. (QS Al-Maidah [5]: 95)
Aku sumpah kalian di hadapan Allah, apakah putusan seseorang dalam masalah kelinci atau hewan buruan lainnya, itu lebih mendesak dibandingkan keputusan seseorang untuk mendamaikan di antara mereka. Sementara kalian tahu, jika Allah berkehendak, tentu Dia yang memutuskan, dan tidak menyerahkannya kepada manusia?” jelas Ibn Abbas.
“Keputusan perdamaian lebih mendesak,” jawab mereka.
“Allah juga berfirman tentang seorang suami dengan istrinya: Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. (QS An-Nisa [4]: 35)
Aku sumpah kalian di hadapan Allah, bukankah keputusan seseorang untuk mendamaikan sengketa dan menghindari pertumpahan darah, lebih mendesak dibandingkan keputusan mereka terkait masalah keluarga?”
“Ya, itu lebih mendesak,” jawab Khawarij.
“Alasan kalian yang kedua bahwa Ali berperang namun tidak tuntas, tidak menjadikan lawan sebagai tawanan, dan tidak merampas harta mereka.
Apakah kalian akan menjadikan ibunda kalian sebagai budak, yaitu Ibunda Aisyah ra, kemudian kalian menganggap halal memperlakukannya sebagai budak, sebagaimana budak pada umumnya, padahal dia ibunda kalian? Jika kalian menjawab, ‘Kami menganggap halal memperlakukannya sebagai budak, sebagaimana lainnya.’ berarti dengan jawaban ini kalian telah kafir. Dan jika kalian mengatakan, ‘Dia bukan ibunda kami’ kalian juga kafir karena Allah telah menegaskan: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu‘min dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. (QS Al-Ahzab [33]: 6)
Dengan demikian berarti kalian berada di antara dua kesesatan.
Apakah kalian telah selesai dari masalah ini?” tanya Ibn Abbas
“Ya,” jawab mereka.
“Alasan kalian yang ketiga, Ali menghapus gelar Amirul Mu‘minin darinya. Aku akan sampaikan kepada kalian kisah dari orang yang kalian ridhai (yaitu Rasulullah Muhammad saw) dan aku kira kalian telah mendengarnya. Bahwa pada saat Hudaibiyah, beliau saw mengadakan perjanjian damai dengan orang musyrikin. Nabi saw memerintahkan kepada Ali, ‘Tulis: ini yang diputuskan oleh Muhammad Rasulullah (utusan Allah).’
Maka orang-orang musyrik mengatakan, ‘Tidak bisa. Demi Allah, kami tidak mengakui bahwa engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau Rasul Allah, kami akan mentaatimu. Tulis saja, ‘Muhammad bin Abdullah.’
‘Hapuslah wahai Ali, hapus tulisan ‘Utusan Allah.’ Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku utusan-Mu. Hapus wahai Ali, dan tulislah: ‘Ini perjanjian damai yang diputuskan Muhammad bin Abdullah,’ perintah Nabi saw kepada Ali.
Demi Allah, Rasulullah saw lebih baik daripada Ali. Namun beliau saw telah menghapus dari dirinya gelar rasul Allah. Dengan beliau saw menghapus hal itu, tidaklah menyebabkan beliau gugur menjadi seorang nabi. Apakah kalian telah selesai dari masalah yang ini?” jelas Ibnu Abbas
“Ya,” jawab Khawarij.
Sejak peristiwa ini, ada sekitar 2000 orang Khawarij yang bertaubat dan kembali bersama Ali bin Abi Thalib ra. Sisanya diperangi oleh Ali bin Abi Thalib ra bersama para sahabat Muhajirin dan Anshar.
(Diambil dari “Khashais Ali bin Abi Thalib”, An-Nasa‘i, hlm. 20.)