Dalam samudra perenungan spiritual, manusia kerap dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang hakikat dirinya dan tujuannya di alam semesta. Tradisi tasawuf, sebagai dimensi esoteris Islam, menawarkan peta jalan menuju pengenalan diri (ma’rifat an-nafs) yang berujung pada pengenalan Tuhan (ma’rifatullah). Sebuah video singkat di platform YouTube yang menyajikan sebuah analogi yang kuat dan menggelitik: fitrah manusia sebagai titik nol kilometer per jam, sementara ruang dan waktu adalah kendaraan yang melesat dengan kecepatan tak terhingga, membawa kita di dalamnya. Bagaimana kita, yang terperangkap dalam laju ini, dapat kembali ke titik hening primordial? Esai ini akan menjelajahi analogi tersebut, memperkayanya dengan khazanah Sufistik, dan mengilustrasikannya secara matematis konseptual untuk memahami dinamika perjalanan kembali menuju kesejatian.
Fitrah: Titik Nol Absolut Ketenangan (VFitrah = 0 km/jam)
Konsep fitrah adalah batu penjuru dalam pemahaman Islam tentang manusia. Ia adalah kondisi primordial, cetak biru ilahi di mana setiap jiwa diciptakan: suci, murni, dan dengan potensi inheren untuk mengakui Sang Pencipta (QS. Ar-Rum: 30). Para sufi melihat fitrah sebagai “titik nol” spiritual – sebuah keadaan keseimbangan sempurna, ketenangan absolut (sakinah), dan kepasrahan murni (taslim) kepada Kehendak Ilahi. Dalam analogi kecepatan kita, fitrah adalah VFitrah = 0 km/jam
. Ini bukan berarti ketiadaan gerak yang pasif dan mati, melainkan sebuah kediaman dinamis dalam kesadaran akan Sumber segala gerak, sebuah “diam” yang sarat dengan potensi tak terbatas, serupa titik pusat roda yang tetap tenang meski roda berputar kencang. Ia adalah cermin jernih yang belum ternoda oleh debu-debu duniawi, yang mampu memantulkan Cahaya Ilahi tanpa distorsi.
Ruang dan Waktu: Kendaraan Supercepat Menuju Entah (VRuangWaktu → ∞ km/jam)
Manusia lahir ke dalam dunia yang dibingkai oleh ruang (makan) dan waktu (zaman). Keduanya, dalam perspektif metafisik, adalah ciptaan, bukan atribut Ilahi. Allah Maha Suci dari batasan ruang dan waktu. Namun, bagi manusia, ruang dan waktu adalah panggung eksistensinya, sekaligus bisa menjadi belenggu yang menyeretnya. Diskursus Pencerah menganalogikan ruang dan waktu sebagai sebuah “kendaraan” yang bergerak dengan kecepatan tak terhingga (VRuangWaktu → ∞ km/jam
).
Analogi ini sangat mengena. Betapa derasnya arus kehidupan duniawi! Perubahan, gejolak, kesibukan, aneka godaan dan distraksi silih berganti menghampiri, seolah menarik kesadaran kita menjauh dari pusat ketenangan fitrah. Kecepatan “tak terhingga” ini melambangkan daya tarik yang luar biasa kuat dari ilusi dunia material (dunya), hawa nafsu (nafs al-ammarah), dan keterikatan pada selain Allah. Semakin kita terhanyut dalam pusaran ini tanpa kesadaran, semakin “cepat” dan semakin “jauh” kita terbawa dari titik nol primordial kita. Manusia, sebagai penumpang di dalam “kendaraan ruang-waktu” ini, secara otomatis akan ikut bergerak dengan kecepatan tersebut jika ia tidak melakukan upaya sadar untuk melawannya.
Ilustrasi Matematis Konseptual Perjalanan Manusia
Mari kita coba formalisasikan analogi ini secara matematis sederhana untuk memperjelas dinamikanya. Perlu ditekankan bahwa ini adalah ilustrasi konseptual, bukan penerapan hukum fisika secara harfiah, karena “kecepatan tak terhingga” dalam konteks spiritual lebih bersifat kualitatif (intensitas) daripada kuantitatif murni.
- Kecepatan Fitrah (VF):
VF = 0 km/jam
Ini adalah titik acuan absolut kita, keadaan yang dituju.
- Kecepatan Kendaraan Ruang-Waktu (VRW) relatif terhadap Fitrah:
VRW → ∞ km/jam
(atau setidaknya, sebuah kecepatan yang sangat besar dan konstan menjauh dari VF). - Kecepatan Awal Manusia (VM/F, awal) relatif terhadap Fitrah:
Jika manusia (M) hanya pasif di dalam kendaraan Ruang-Waktu (RW), maka kecepatannya relatif terhadap Fitrah (F) akan sama dengan kecepatan kendaraan itu sendiri:
VM/F, awal = VRW
Sehingga,
VM/F, awal → ∞ km/jam
. Manusia secara alami bergerak menjauh dari fitrahnya. - Tujuan: Kembali ke Kecepatan Fitrah (VM/F, akhir = 0 km/jam):
Tujuan perjalanan spiritual adalah agar kecepatan manusia relatif terhadap fitrah menjadi nol.
VM/F, akhir = 0 km/jam
- Aksi yang Diperlukan: “Melompat” dari Kendaraan Ruang-Waktu:
Untuk mencapai
VM/F, akhir = 0
, manusia harus menghasilkan sebuah “kecepatan” relatif terhadap kendaraan Ruang-Waktu (VM/RW
) yang berlawanan arah dan sama besarnya dengan kecepatan kendaraan Ruang-Waktu tersebut.
Menggunakan prinsip penjumlahan kecepatan sederhana (sebagai analogi):VM/F, akhir = VRW + VM/RW
Kita ingin
VM/F, akhir = 0
, maka:0 = VRW + VM/RW
Sehingga, kecepatan yang harus dihasilkan manusia relatif terhadap kendaraan Ruang-Waktu adalah:
VM/RW = -VRW
Karena
VRW → ∞ km/jam
, makaVM/RW → -∞ km/jam
.
Tanda negatif menunjukkan arah yang berlawanan. Artinya, untuk “mendarat” kembali pada titik nol fitrah, manusia harus “melemparkan dirinya” dari belenggu ruang-waktu dengan “upaya spiritual” yang intensitasnya setara dengan daya tarik ruang-waktu itu sendiri, namun menuju arah yang berlawanan – menuju ke dalam diri, menuju Sang Sumber.
Makna Sufistik dari “Lompatan dengan Kecepatan Tak Terhingga”
“Melemparkan diri dengan kecepatan tak terhingga” bukanlah tindakan fisik, melainkan sebuah metafora yang kaya akan makna Sufistik:
- Mujahadah an-Nafs (Perjuangan Melawan Hawa Nafsu): Ini adalah perjuangan spiritual yang total dan tanpa kompromi. “Kecepatan tak terhingga” menggambarkan kesungguhan (sidq), kegigihan (istiqamah), dan intensitas upaya untuk membersihkan jiwa dari segala penyakit hati dan keterikatan duniawi. Ini bukan sekadar perubahan perilaku kosmetik, melainkan transformasi batin yang radikal.
- Fana’ (Peluruhan Diri): Ini adalah konsep sentral dalam tasawuf, yang berarti peluruhan atau “kematian” ego (diri rendah) dan kesadaran akan eksistensi diri yang terpisah dari Tuhan. “Kecepatan tak terhingga” menyiratkan sebuah peluruhan yang total, di mana tidak ada lagi sisa-sisa keakuan. Ini adalah sebuah “lompatan kuantum” dalam kesadaran, bukan evolusi gradual semata. Seperti yang dikatakan para sufi, “Mutu qabla an tamutu” (Matilah sebelum engkau mati).
- Zuhud (Pengabaian Dunia) dan Tawakkul (Kepasrahan Total): Untuk “melompat” dari kendaraan ruang-waktu, seseorang harus melepaskan genggamannya pada dunia dan segala isinya, tidak hanya secara fisik tetapi terutama secara mental dan spiritual. Ini adalah zuhud sejati. Kemudian, ia memasrahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah (tawakkul), percaya bahwa hanya dengan pertolongan-Nya lompatan ini bisa berhasil.
- Jadzbah (Tarikan Ilahi): Meskipun upaya manusia (mujahadah) itu penting, para sufi juga menekankan peran jadzbah, atau tarikan Ilahi. “Kecepatan tak terhingga” yang dibutuhkan manusia juga bisa diartikan bahwa pada titik tertentu, upaya manusia mencapai batasnya, dan rahmat serta tarikan Ilahi-lah yang “mengangkat” atau “menarik” hamba melampaui belenggu ruang-waktu. Lompatan ini pada akhirnya adalah anugerah.
Allah: Sang Maha Suci dari Ruang dan Waktu
Puncak dari perenungan ini, sebagaimana disinggung dalam Diskursus Pencerah, adalah kesadaran bahwa hanya Allah SWT yang Maha Suci (Al-Quddus) dari segala batasan ruang dan waktu. Dia adalah Al-Awwal (Yang Awal, sebelum ada waktu) dan Al-Akhir (Yang Akhir, setelah waktu berakhir), Az-Zahir (Yang Nyata, melingkupi segala ruang) dan Al-Batin (Yang Tersembunyi, melampaui segala persepsi ruang).
“Mendarat” pada titik nol fitrah sejatinya adalah mendarat dalam kesadaran akan Allah sebagai satu-satunya Realitas Absolut (Al-Haqq). Fitrah yang telah kembali jernih adalah cermin yang memantulkan Kehadiran-Nya. Upaya “melompat” dari ruang-waktu adalah upaya untuk menembus hijab-hijab ciptaan menuju Sang Pencipta. Ini bukan berarti penyatuan fisik (ittihad) atau penjelmaan (hulul) yang keliru, melainkan pencapaian ma’rifah (pengenalan mendalam), musyahadah (penyaksian spiritual), dan qurb (kedekatan) dengan Allah sejauh yang dimungkinkan bagi seorang hamba.
Inspirasi dari Diskursus Kontemporer dan Batasan Analogi
Diskursus Pencerah dalam video singkat tersebut, meskipun sederhana, berhasil memantik sebuah perenungan yang dalam dengan analogi kecepatan ini. Ia menunjukkan bagaimana kearifan kuno dapat disajikan dalam bahasa yang relevan dengan pemahaman kontemporer, menggunakan metafora yang diambil dari pengalaman sehari-hari (seperti kendaraan dan kecepatan) untuk menjelaskan konsep-konsep metafisik yang abstrak.
Tentu saja, setiap analogi memiliki batasannya. Penggunaan istilah “kecepatan tak terhingga” dan penjumlahan kecepatan sederhana adalah penyederhanaan. Dalam fisika modern, kecepatan cahaya adalah batas, dan penjumlahan kecepatan mengikuti rumus relativistik yang lebih kompleks. Namun, tujuan di sini bukanlah akurasi fisika, melainkan daya evokatif metafora untuk menyampaikan intensitas dan radikalitas transformasi spiritual yang diperlukan. “Tak terhingga” di sini lebih kepada kualitas totalitas dan transendensi daripada kuantitas matematis yang harfiah.