Tawaf merupakan salah satu ritual ibadah yang sangat penting dalam ibadah haji. Dalam melaksanakan tawaf, masalah kesucian dari hadats dan najis menjadi perhatian utama bagi jamaah haji.
Ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai kesucian dari hadats dan najis saat melakukan tawaf. Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa ulama empat mazhab memiliki pandangan yang beragam tentang hal ini.
Beberapa ulama berpendapat bahwa kesucian dari hadats kecil atau besar merupakan syarat wajib dalam tawaf haji. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kesucian bukanlah syarat sah tawaf.
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menyoroti perbedaan pendapat ini dan menjelaskan bahwa pemahaman ulama terkait hadits tentang larangan perempuan haidh untuk tawaf menimbulkan keraguan apakah hadats dapat merusak tawaf.
Selain itu, beberapa ulama seperti Imam Abu Hanifah berpegang pada pendapat bahwa kesucian tidak menjadi syarat sah tawaf. Mereka memandang bahwa tawaf dapat dilakukan meskipun tidak dalam keadaan suci dari hadats.
Namun, bagi sebagian ulama, kesucian saat tawaf merupakan hal yang wajib dan dapat diganti dengan pembayaran dam jika dilanggar. Perbedaan pandangan ini terutama muncul dari interpretasi terhadap ayat Al-Hajj ayat 29.
Dalam konteks ini, penting bagi jamaah haji untuk memahami perspektif fiqih terkait kesucian saat tawaf agar dapat melaksanakan ibadah dengan benar sesuai dengan keyakinan masing-masing mazhab. Semoga pemahaman ini dapat memberikan pandangan yang lebih luas dalam menjalankan ibadah haji dengan penuh kekhusyukan dan kepatuhan.