Ibadah haji merupakan salah satu kewajiban umat Islam yang memiliki ketentuan yang harus dipenuhi, seperti syarat wajib, rukun, sunnah, dan larangan haji. Saat seseorang melaksanakan ibadah haji, sah atau tidaknya tergantung pada sejauh mana jamaah tersebut memenuhi ketentuan tersebut, terutama syarat dan rukun haji serta menjauhi larangan haji.
Salah satu syarat utama dalam ibadah haji adalah memiliki kemampuan (istitha’ah) dalam berbagai aspek, mulai dari kemampuan materi untuk biaya haji dan keluarga yang ditinggalkan, kemampuan fisik dengan kesehatan yang baik, hingga kemampuan untuk merasa aman selama berada di Tanah Suci.
Dalam sebuah pertemuan Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta, dibahas mengenai hukum berhaji dengan visa non-haji. Meskipun secara syariat ibadah haji dengan visa non-haji dianggap sah, namun tetap dianggap cacat dan berdosa. Hal ini disebabkan karena larangan haji yang berwujud dalam larangan pemerintah Arab Saudi bersifat eksternal.
Ibadah haji yang dilakukan tanpa prosedur dianggap cacat dan berdosa karena melanggar aturan syari’at yang mewajibkan ketaatan terhadap perintah ulil amri dan pemenuhan perjanjian. Jamaah yang melaksanakan haji tanpa visa haji juga dianggap melanggar aturan syariat yang mewajibkan mentaati perintah ulil amri serta mematuhi perjanjian.
Praktik haji dengan visa non-haji dianggap bertentangan dengan syariat Islam karena berpotensi membahayakan diri sendiri dan jamaah haji lainnya. Selain itu, praktik ini juga mengandung mudharat dan mafsadat karena kapasitas tempat pelaksanaan ibadah haji yang terlalu sempit dibandingkan dengan jumlah umat Islam yang ingin melaksanakan ibadah haji.
Dalam pandangan PBNU, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan haji non-prosedural dan cara-cara ilegal. Sosialisasi ini dapat dilihat sebagai bentuk amar ma’ruf yang dianjurkan oleh Islam.
Semoga dengan pemahaman ini, umat Islam dapat melaksanakan ibadah haji dengan benar sesuai dengan tuntunan syariat Islam.