Kewajiban haji merupakan salah satu kewajiban yang diperuntukkan bagi individu yang mampu secara fisik dan finansial. Namun, terdapat situasi di mana seseorang mungkin mampu secara finansial namun tidak dapat melaksanakan haji atau umrah karena keterbatasan fisiknya. Dalam hal ini, terdapat kemungkinan untuk melakukan badal haji, yaitu menggantikan kewajiban haji seseorang oleh orang lain.
Dalam mazhab Syafi’i, badal haji dapat dilakukan dalam dua situasi. Pertama, jika seseorang mengalami uzur (keterbatasan), seperti usia lanjut, lumpuh, sakit yang tidak sembuh, atau pikun sehingga tidak mampu menaiki kendaraan untuk menunaikan haji. Jika sebelum mengalami uzur, orang tersebut dianggap mampu dan memungkinkan untuk menunaikan haji namun tidak melakukannya, maka wajib bagi orang tersebut untuk segera melakukan badal haji. Seseorang dianggap wajib melakukan badal haji jika memiliki kelebihan dari kebutuhan pokoknya dan menemukan orang yang bersedia menggantikannya dengan upah yang wajar.
Kedua, jika seseorang meninggal sebelum sempat melaksanakan haji, maka ahli warisnya wajib untuk melaksanakan haji atas namanya. Biaya haji tersebut diambil dari harta warisan, sebagaimana halnya hutang yang dibayarkan dari harta peninggalan. Jika almarhum tidak memiliki harta warisan, maka tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk melaksanakan haji atas namanya. Namun, jika ahli waris atau orang lain ingin melaksanakan haji atas namanya baik dengan wasiat maupun tanpa wasiat, hal tersebut diperbolehkan.
Dengan demikian, orang yang dapat melakukan badal haji adalah mereka yang mampu secara finansial namun tidak mampu secara fisik karena uzur, serta orang yang meninggal dalam keadaan sudah wajib haji namun belum melaksanakannya. Mengenai apakah laki-laki dapat melakukan badal haji untuk perempuan atau sebaliknya, dalam mazhab Syafi’i hal tersebut diperbolehkan. Meskipun demikian, Imam Syafi’i lebih menyukai jika yang melakukan badal haji adalah laki-laki.
Dalam kesimpulan, gender tidak menjadi syarat dalam melakukan badal haji. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan dapat menggantikan kewajiban haji orang lain. Namun demikian, Imam Syafi’i lebih cenderung agar laki-laki yang menjadi pelaksana badal haji. Semoga informasi ini bermanfaat untuk memahami lebih lanjut mengenai proses badal haji dalam Islam.