Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, tidak hanya memberikan pendidikan agama yang mendalam, tetapi juga menekankan pembentukan karakter dan moralitas pada santrinya. Salah satu nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam pesantren adalah adab terhadap guru atau kyai sebagai teladan dalam berperilaku dan berakhlak mulia.
Mencium tangan guru atau ulama merupakan salah satu momen khusus yang mencerminkan budaya hormat dan sopan santun di pesantren. Tindakan sederhana ini tidak hanya sebagai bentuk penghormatan kepada pendidik, tetapi juga sebagai penanaman nilai-nilai etika dan tradisi yang turun-temurun di lingkungan pesantren.
Dalam perspektif empat madzhab, terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum mencium tangan ulama. Ketiga madzhab (Hanafi, Syafi’i, Hanbali) berpendapat bahwa mencium tangan ulama adalah boleh bahkan sunah, jika tujuannya adalah untuk menghormati keilmuan, sifat zuhud, dan hal-hal yang berkaitan dengan akhirat. Namun, jika tujuannya adalah untuk menghormati pangkat atau urusan dunia, maka hukumnya sangat makruh.
Sementara itu, madzhab Maliki berpendapat bahwa mencium tangan ulama baik untuk urusan akhirat maupun dunia adalah makruh, karena dapat menimbulkan rasa sombong bagi orang yang dicium tangannya.
Dengan demikian, budaya mencium tangan ulama di pesantren memiliki nilai-nilai yang dalam dan sarat akan makna penghormatan serta tanggung jawab terhadap pendidik dan ilmu yang diberikan. Hal ini mencerminkan hubungan yang erat antara santri dan guru dalam lingkungan pesantren yang penuh kasih sayang dan peduli terhadap perkembangan spiritual santri.