Pemberian dalam bentuk suap, hadiah, dan sedekah memiliki kesamaan dalam mengandung unsur kerelaan dari pemberi, namun memiliki perbedaan dalam motif serta status hukumnya. Suap, yang didefinisikan sebagai pemberian dengan tujuan agar penerima suap melakukan hal-hal yang menyimpang, secara tegas dilaknat oleh Nabi Muhammad SAW. Perbedaan status hukum suap juga dijelaskan oleh berbagai ulama seperti Syekh Nawawi Al-Bantani dan Ibnu Katsir.
Dalam perspektif Imam Al-Ghazali, motif pemberian menjadi pembeda antara suap, hadiah, dan sedekah. Sedangkan menurut ilmu hukum positif, perbedaan utama suap dengan bentuk pemberian lainnya terletak pada adanya “meeting of minds” antara pemberi dan penerima suap yang menunjukkan adanya kesepakatan atau konsensus.
Pasal 2 dan 3 UU No. II tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap juga mengatur tegas mengenai hukuman bagi pelaku suap baik yang memberi maupun yang menerima. Terdapat penjelasan bahwa tindakan suap dilakukan ketika ada upaya membujuk seseorang untuk melanggar kewenangan atau kewajibannya yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa suap merupakan bentuk pemberian dengan motif tertentu untuk mencapai tujuan tertentu melalui perantara penerima suap, sementara hadiah atau sedekah merupakan bentuk pemberian atas dasar sukarela dengan motif yang berbeda. Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk memahami perbedaan tersebut agar dapat menghindari praktik suap yang merugikan secara moral dan hukum.