Dalam agama Islam, menjaga kebersihan tubuh dan batin merupakan hal penting. Salah satu kewajiban adalah menjaga kesucian air yang digunakan untuk bersuci. Namun, terkadang terjadi situasi di mana air suci tercampur dengan air musta’mal, seperti ketika ada percikan air bekas mandi besar yang masuk ke dalam ember yang digunakan untuk penampungan air bersuci.
Menurut kitab Taqrirat as-Sadidah, air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci wajib. Terdapat empat syarat untuk air musta’mal, di antaranya adalah kuantitas air yang sedikit, sudah digunakan untuk sesuatu yang wajib, telah terpisah dari tubuh, dan tidak ada niat igtirof (menciduk) pada air tersebut.
Dalam fiqih, ketika air musta’mal mencampuri air mutlak, maka disebut sebagai air mutaghayyir taqdiri. Hal ini mengindikasikan perubahan sifat air karena pencampuran dengan cairan yang memiliki kesamaan sifat. Namun, perubahan ini tidak selalu dapat terdeteksi oleh indera manusia.
Untuk mengidentifikasi apakah air bersuci telah berubah akibat pencampuran dengan air musta’mal, dapat dilakukan dengan menguji rasa, warna, dan bau air tersebut. Jika perubahan terjadi, maka air tersebut dikategorikan sebagai air mutaghayyir taqdiri yang suci namun tidak dapat digunakan untuk bersuci.
Namun, dalam madzhab Syafi’i, jika cairan yang mencampuri air bersuci memiliki volume lebih sedikit daripada air mutlak, maka status air tetap suci dan dapat digunakan untuk bersuci. Namun, jika volume cairan yang mencampuri lebih banyak atau sama dengan air mutlak, maka statusnya berubah menjadi air mutaghayyir taqdiri.
Penting untuk dicatat bahwa menguji perubahan air bersuci akibat pencampuran dengan air musta’mal hukumnya sunah, bukan wajib. Bagi orang awam, dapat menggunakan pendekatan yang lebih mudah dengan melihat perbandingan volume cairan yang mencampuri.
Dengan pemahaman ini, diharapkan umat Islam dapat menjaga kesucian air bersuci dengan baik sesuai ajaran agama. Semoga informasi ini bermanfaat dalam menjalankan ibadah sehari-hari.