Dalam ajaran Islam, salah satu larangan yang diatur adalah larangan mencampuri istri yang sedang haid. Masa haid, yang sering disebut menstruasi atau datang bulan, memiliki batasan waktu menurut mazhab Syafi’i, yaitu minimal satu hari satu malam atau maksimal 15 hari. Di luar periode haid, disebut sebagai istihadhah.
Al-Quran menyebutkan haid sebagai “kotoran” dan menginstruksikan untuk menjauhi wanita yang sedang haid hingga mereka suci kembali. Larangan ini memiliki hikmah tertentu, baik dari segi agama maupun ilmiah.
Dari perspektif ilmiah, haid adalah proses di mana darah meluap dan mengalir keluar dari rahim. Sifat darah yang keluar saat haid membuat organ reproduksi wanita rentan terhadap infeksi karena vagina terbuka pada saat tersebut. Berhubungan intim dengan wanita yang sedang haid dapat menyebabkan peradangan pada indung telur dan infeksi pada organ reproduksi laki-laki.
Dari sisi agama, larangan mencampuri wanita haid juga dijelaskan dalam Al-Quran sebagai upaya menjaga kesehatan dan keselamatan manusia. Siklus haid dapat menyebabkan rasa sakit, menurunnya hasrat seksual, serta ketidaknyamanan fisik dan emosional pada wanita. Hubungan intim saat haid juga dapat membahayakan kesehatan reproduksi baik bagi wanita maupun laki-laki.
Dengan mematuhi larangan mencampuri wanita yang sedang haid, tidak hanya menjunjung nilai agama tetapi juga melindungi kesehatan dan keselamatan diri serta pasangan. Kehat-hatiannya terbukti dalam penjelasan ilmiah yang mengungkap potensi bahaya infeksi dan komplikasi kesehatan akibat melanggar larangan tersebut.
Dengan demikian, larangan mencampuri wanita yang sedang haid memiliki hikmah yang mendalam, baik dalam perspektif ilmiah maupun agama. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kesehatan fisik dan spiritual dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Menjalani aturan ini juga sebagai bentuk penghargaan terhadap perintah agama demi kebaikan diri sendiri dan pasangan.