Dalam setiap pemilihan umum, fenomena politik uang seringkali menjadi sorotan karena praktik ini menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Politik uang merujuk pada praktik pemberian uang atau barang dengan tujuan mempengaruhi hasil pemilihan, baik agar seseorang memilih sesuai keinginan pemberi atau agar seseorang tidak menggunakan hak pilihnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang pemilihan presiden, politik uang termasuk dalam pelanggaran kampanye. Praktik politik uang umumnya dilakukan oleh simpatisan, kader, atau pengurus partai politik menjelang hari pemilihan umum. Bentuknya bisa beragam, mulai dari pemberian uang tunai hingga sembako seperti beras, minyak, dan gula kepada masyarakat.

Penting untuk dicatat bahwa politik uang sebenarnya termasuk dalam kategori risywah atau suap menurut beberapa kajian. Hal ini berarti bahwa praktik politik uang tidak hanya terjadi dalam konteks putusan hukum, tetapi juga dalam konteks pemilihan umum.

Risywah tidak hanya terbatas pada konteks putusan hukum, namun juga meluas ke dalam berbagai konteks lainnya. Dengan demikian, money politic dapat dianggap sebagai bentuk risywah yang dilarang secara hukum. Praktik ini dapat merugikan proses demokrasi karena menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan dalam proses pemilihan umum.

Meskipun motif pemberian politik uang dapat bervariasi, seperti untuk mengambil hak atau merasa berhak atas suatu jabatan, namun hal ini tetap tidak dapat dibenarkan. Dalam konteks pemilihan pemimpin, setiap kandidat seharusnya diperlakukan sama dan tidak ada yang memiliki hak istimewa untuk mendapatkan dukungan melalui praktik politik uang.

Pemberian suap atau politik uang seharusnya tidak dianggap sebagai upaya untuk memperjuangkan kebenaran, karena hal ini justru bertentangan dengan prinsip keadilan dan objektivitas. Oleh karena itu, praktik politik uang harus dihindari agar proses pemilihan umum dapat berlangsung secara adil dan transparan sesuai dengan aturan yang berlaku.