Dalam agama Islam, sering muncul pertanyaan seputar apakah seseorang harus mandi wajib setelah melakukan jimak (hubungan suami-istri) jika tidak sampai mengeluarkan mani. Beberapa pendapat dan penafsiran dari ulama telah mengurai masalah ini dengan jelas.
Menurut penjelasan Syekh Nawawi dalam Kitab Kasyifatus Saja, jimak tetap mewajibkan mandi besar, baik sperma keluar atau tidak. Hal ini juga berlaku karena keluarnya mani, entah karena jimak atau sebab lain seperti mimpi, onani, atau masturbasi.
Dalam hadis yang menyebutkan bahwa jika khitan (kemaluan laki-laki) menyentuh khitan (kemaluan perempuan), maka mandi wajib dilakukan, tidak disebutkan apakah sperma keluar atau tidak. Sehingga, mandi wajib tetap diperlukan setelah jimak tanpa syarat keluarnya mani terlebih dahulu.
Para ulama Syafi’i menjelaskan bahwa kondisi junub disebabkan oleh dua hal, yaitu jimak dan keluarnya mani. Aktivitas jimak juga tidak hanya terjadi antara suami-istri, tetapi juga termasuk masuk ke dalam kemaluan hewan atau kemaluan sendiri.
Jimak diartikan sebagai memasukkan ukuran kepala kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan apapun, baik manusia maupun hewan, dewasa maupun anak-anak, hidup maupun mati. Begitu pula kemaluan yang dimasuki, termasuk anus baik dari orang lain maupun diri sendiri.
Jadi, secara umum, kondisi junub setelah jimak tetap memerlukan mandi besar tanpa harus menunggu keluarnya mani. Hal ini berlaku untuk semua sebab jimak, baik dengan suami-istri, hewan, atau diri sendiri. Semoga penjelasan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas terkait mandi wajib setelah jimak dalam pandangan agama Islam.