Dalam ajaran Islam, kejujuran dan kemaslahatan dianggap sebagai nilai yang tinggi. Oleh karena itu, praktik penipuan dan manipulasi dalam jual beli sangat dilarang karena dapat merugikan orang lain.
Salah satu contoh yang seringkali dibicarakan adalah jual beli oli palsu yang saat ini marak terjadi dan tersebar luas di masyarakat. Meskipun secara formal transaksi jual beli barang palsu dapat dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti adanya akad dan kepemilikan yang jelas, namun tetap saja perbuatan tersebut tidak dibenarkan dalam ajaran Islam karena mengandung unsur penipuan dan berpotensi merugikan pihak pembeli.
Rasulullah sendiri sudah memberikan respons terhadap larangan jual beli palsu ini sejak berabad-abad yang lalu. Dalam sebuah hadits, beliau menyatakan bahwa barangsiapa yang menipu tidak termasuk golongan umat Islam dan perbuatan makar serta manipulasi akan mendapat tempat di neraka.
Para ulama dari berbagai generasi sepakat bahwa jual beli barang palsu termasuk dalam kategori haram. Bahkan, beberapa ulama seperti Imam Abul Abbas bin Ali ibn Hajar al-Haitami mengategorikan pemalsuan dalam jual beli sebagai dosa besar.
Dalam Islam, jual beli yang dilarang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu jual beli yang terlarang karena faktor barangnya sendiri (internal) seperti jual beli khamar dan riba, serta jual beli yang terlarang karena faktor lain yang mempengaruhi transaksi (eksternal) seperti pemalsuan, penipuan, dan kerugian bagi salah satu pihak.
Mayoritas ulama sepakat bahwa larangan dalam jual beli yang disebabkan oleh faktor internal akan mengakibatkan kerusakan pada akad transaksi, sementara larangan yang disebabkan oleh faktor eksternal tidak akan merusak akad tersebut.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jual beli oli palsu yang kini marak di masyarakat tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam karena melibatkan unsur pemalsuan dan berpotensi merugikan pihak lain.