Dalam ajaran Islam, prinsip utama dalam hubungan antarmanusia adalah keharmonisan (al-silmi). Prinsip ini menjadi dasar dari konsep tolong-menolong antarsesama manusia berdasarkan persaudaraan dan menghindari konfrontasi. Namun, penting untuk dicatat bahwa prinsip ini bersifat umum, sehingga mencakup berbagai aspek dari hubungan tersebut.
Setiap perintah umum dalam Islam selalu memerlukan penjelasan lebih lanjut, terutama ketika ada batasan-batasan tertentu. Oleh karena itu, hubungan antarmanusia dalam Islam diuraikan menjadi beberapa hukum yang mengatur relasi tersebut.
Ada relasi yang diperbolehkan dalam syariat, seperti tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Namun, ada juga relasi yang tidak diperbolehkan, seperti tolong-menolong dalam perbuatan dosa atau permusuhan.
Setiap perintah yang memperbolehkan sesuatu dapat diuraikan menjadi wajib, sunnah, atau mubah. Sementara perintah larangan menunjukkan keharaman jika dilanggar. Terdapat pula wilayah samar yang disebut sebagai khilaful-ula atau kemakruhan.
Pendapat ulama tentang hukum kerja sama antara Muslim dan non-Muslim terkait pembangunan rumah ibadah beragam. Namun, dalam konteks syirkah ta’awuniyah, tema terdekatnya adalah wasiat. Konsep tabarru’ dalam wasiat menunjukkan pemberian harta secara cuma-cuma semata karena Allah.
Beberapa ulama memandang haram untuk bekerja atau berwasiat terkait dengan pembangunan gereja. Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa membantu pembangunan tempat ibadah non-Muslim dapat dianggap sebagai i’anah ‘ala al-ma’shiyah (membantu perbuatan maksiat).
Kesimpulannya, larangan terhadap syirkah ta’awuniyah dengan objek utama tempat ibadah dijelaskan secara seragam oleh para ulama dari berbagai mazhab. Mereka menegaskan larangan membantu perbuatan kemaksiatan dalam konteks apapun, termasuk dalam kerja sama yang melibatkan objek yang dilarang oleh syariat.
Pandangan ulama tentang hukum kerja sama semacam ini bersifat konsisten dengan prinsip larangan membantu perbuatan maksiat dalam ajaran Islam.