- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Robot dan Peran Substitusi dalam Perspektif Fiqih

Google Search Widget

Pada kajian terdahulu, kita telah menyimpulkan bahwa ada hubungan antara otomatis, lazim, dan adat. Namun, dalam ranah fiqih, selain adat, ada sesuatu yang menyerupai adat dan juga berlaku sebagai pertimbangan hukum, yaitu ‘urf. Lantas, apa perbedaan antara keduanya?

Secara definisi, adat adalah sesuatu yang berlangsung terus menerus (berulang) pada diri manusia dan rasional serta mereka terbiasa untuk mengulanginya dari waktu ke waktu. Sementara ‘urf adalah suatu norma yang sudah tertanam dalam diri manusia sebab bukti rasionalitasnya, dan sejalan dengan akal sehat sehingga dijadikan hujjah/landasan hidup mereka, bahkan lebih cepat diterima oleh pemahaman tanpa perlu berpikir lagi. Menurut beberapa ulama, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat.

Namun bagi ulama yang menganggap adanya perbedaan antara ‘urf dan adat, perbedaan itu menyangkut hal-hal sebagai berikut:

  1. Adat merupakan sebuah hukum yang menyimpan sanksi hukum bagi pelanggarnya. Adat ini kiranya sama dengan diksi “nilai” yang berlaku sebagai landasan hukum positif dan peraturan masyarakat.
  2. ‘Urf merupakan sebuah “norma” yang tidak tertulis dan bisa berbeda di setiap daerah. Pelanggaran terhadap norma umumnya tidak berimbas kepada sanksi hukum, melainkan status pelanggar dipandang menyimpang oleh masyarakat.

Kaidah yang menjembatani keduanya adalah: “Sesungguhnya adat itu bisa dijadikan pijakan hukum bila hal itu berlaku umum. Akan tetapi, bila tidak berlaku umum, maka adat tidak bisa dijadikan patokan hukum.”

Adat adalah pekerjaan manusia yang berulang dan bisa diterima oleh akal sehingga memenuhi hukum sebab-akibat. Dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, setiap pekerjaan yang berulang memiliki pola dan karakteristik tertentu sehingga bisa ditarik sebuah formula/rumusan. Rumusan ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa pemrograman komputer sehingga bisa melaksanakan pekerjaan sebagaimana yang digantikan.

Teknologi ini dikenal dengan istilah teknologi robot atau teknologi otopilot. Melalui penerapan teknologi ini, ruang aktualisasi manusia menjadi tergantikan oleh substitusi teknologi robot atau otopilot tersebut. Pertanyaannya adalah apakah tasaruf yang dilakukan oleh robot bisa menempati derajat pengganti tasarufnya manusia? Sehingga, suatu ketika bila ada orang masuk ke restoran, dan ditemui robot, dilayani robot, pembayarannya diterima oleh robot, apakah transaksinya ini dipandang sah secara syara’?

Robot diciptakan untuk menggantikan tugas dan peran manusia yang berulang dan bersifat bisa diterima dengan rasio dan akal sehat. Ketiadaan peran pengganti yang bisa diterima akal sehat menandakan bahwa robot itu bukan lagi bisa disebut sebagai peran substitusi, melainkan mainan (al-lu’bah).

Tugas-tugas yang digantikan oleh robot mencakup perilaku manusia yang senantiasa dikerjakan secara berulang (takrar) dan masuk akal serta bisa dipahami. Karena perilaku itu harus dikerjakan berulang, maka diciptakan teknologi yang dapat mempersingkat kerja manusia dan mampu menggantikan kedudukan manusia tersebut dalam melakukannya. Teknologi diciptakan untuk menggantikan peran manusia yang bersifat aqly, sehingga tidak bisa menggantikan adat yang bersifat ibadah (ta’abbudy). Dari pokok-pokok pikiran ini lahir teknologi otomatisasi.

Robot otopilot adalah sebuah kebutuhan karena penggantian peran melaksanakan beberapa adat kebiasaan yang cenderung berulang memiliki keuntungan dan kemaslahatan. Keuntungan dari perakitan otomatisasi mencakup efisiensi waktu kerja, penghematan biaya, serta kemampuan mesin untuk menggantikan peran manusia dalam memproses suatu bagian sesuai dengan yang diprogramkan.

Karena kerja dan peran manusia berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya, orientasi dari otomatisasi teknologi dibedakan menjadi tiga jenis: fixed automatization, programmed automatization, dan flexible automatization. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.

Fixed automatization ditandai oleh ketepatan konfigurasi alat dengan biaya perakitan besar namun produktivitas tinggi. Programmed automatization lebih fleksibel dengan investasi besar yang bergantung pada ketepatan input data dan sistem pemrograman. Flexible automatization dirancang untuk menjawab tantangan kebutuhan masyarakat dengan kemampuan mengidentifikasi variasi produk sekaligus.

Adanya otomatisasi diperlukan karena berbagai alasan seperti peningkatan produktivitas, biaya tenaga kerja tinggi, kekurangan tenaga kerja, tren tenaga kerja sektor jasa yang tinggi, serta kebutuhan kualitas produk yang seragam dan terstandarisasi. Namun, otopilotisasi sistem juga memiliki risiko seperti perlunya tenaga berkompeten dalam melakukan control kualitas meliputi sequence control, safety monitoring, dan quality monitoring.

Karena kemampuan alat bisa dibatasi oleh faktor usia dan penggunaan, diperlukan sistem manajemen kontrol untuk menyikapi penurunan kualitas produk sistem otopilot seperti instantable control dan memory control.

Seiring kemajuan teknologi, semua perbuatan berulang manusia dengan karakteristik tertentu ternyata bisa digantikan robot otopilot dengan kecerdasan buatan. Transaksi berbasis robot seperti mesin ATM dan vending machine dapat dilakukan tanpa lawan berakad di tempat tersebut.

Kedudukan robot dalam fiqih digugat apakah transaksi berbasis robot ini sah? Jika sah, apakah robot dianggap sebagai salah satu pihak yang berakad atau tetap sebagai instrumen? Secara adat, robot memang bisa ditempatkan sebagai pengganti manusia. Namun secara normatif (‘urf), robot masih sulit diterima sebagai pelaku transaksi karena ketiadaan akal manusiawinya. Alhasil, secara normatif, robot adalah instrumen, bukan ‘aqid. Wallahu a’lam bish-shawab.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?