Masalah bidah seringkali menjadi topik perdebatan di kalangan umat Islam, baik dalam konteks ibadah maupun di luar ibadah. Tuduhan bidah yang disematkan kepada kelompok tertentu menarik perhatian Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dalam karyanya, Mafahim Yajibu an Tushahhah.
Dalam buku tersebut, Sayyid Muhammad mencoba menjelaskan dan meluruskan pemahaman tentang bidah yang sering memicu diskusi tak berujung di tengah umat Islam. Ia membedakan antara bidah syar’iyyah (bidah dalam masalah agama) dan bidah lughawiyyah (bidah secara bahasa). Pembedaan ini diharapkan dapat menghindarkan diskusi berlarut-larut.
Sayyid Muhammad mengangkat kritik terhadap pembagian bidah menjadi hasanah (baik) dan sayyiah (buruk). Sebagian orang menolak pembagian tersebut bahkan menuduh sesat dan fasik orang yang membaginya, karena dianggap bertentangan dengan hadits Rasulullah:
وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Setiap hal baru adalah bidah. Setiap bidah adalah kesesatan.”
Menurut Sayyid Muhammad, kedua kelompok sebenarnya memiliki pemahaman yang tidak jauh berbeda. Pembagian bidah menjadi hasanah dan sayyiah secara bahasa bermakna tindakan atau sesuatu yang diada-adakan. Namun, kita semua sepakat bahwa bidah dalam urusan syariat merupakan kesesatan, fitnah yang tercela, ditolak, dan dimurka.
Sebagai pijakan penting, Sayyid Muhammad merujuk pada hadits lain yang menyebutkan bidah dalam urusan agama:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Siapa saja yang mengada-adakan pada urusan kami ini yang bukan bagian darinya maka ia tertolak.”
Jika kelompok yang selama ini mengingkari pembagian bidah memahami duduk perkara ini, mereka akan menyadari bahwa kedua kelompok lebih memiliki titik temu dan jauh dari pertentangan.
Untuk menyudahi tuduhan bidah yang terus berkepanjangan, perlu ada pemahaman yang jelas tentang bidah. Memang penyebutan “bidah diniyah” dan “bidah dunyawiyyah” tidak ada di zaman Rasulullah SAW. Namun, hadits Rasulullah yang dikutip sebelumnya menyebutkan bidah madzmumah berupa ziyadah fid din atau ziyadah fis syariah.
Dengan demikian, bidah yang disepakati kesesatannya adalah bidah dalam urusan agama atau syariah. Adapun bidah dalam urusan duniawi patut dipertimbangkan karena inovasi dalam urusan duniawi bisa mengandung kebaikan atau keburukan.
ولا بد حينئذ من تفصيل واجب ضروري للقضية، هو أن يقولوا إن هذه البدعة الدنيوية منها ما هو خير ومنها ما هو شر كما هو الواقع المشاهد الذي لا ينكره إلا أعمى جاهل وهذه الزيادة لا بد منها
“Tidak ada jalan lain selain membuat rincian wajib untuk masalah ini, yaitu mereka harus mengatakan, ‘Bidah duniawi ada yang mengandung kebaikan dan ada yang mengandung keburukan sebagaimana realitas yang dapat disaksikan. Tidak ada yang mengingkarinya selain orang buta yang bodoh. Tambahan keterangan ini harus dilakukan.'”
Penjelasan Sayyid Muhammad ini bertujuan meluruskan pandangan tentang bidah dan mendorong kedua kelompok untuk memahami di mana seharusnya penolakan terhadap bidah dilakukan, bukan melontarkan tuduhan bidah secara membabi buta atau menerima bidah duniawi tanpa mempertimbangkan mafsadat dan maslahatnya. Wallahu a’lam.