Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf, atau yang akrab disapa Gus Yahya, kembali menegaskan komitmennya untuk menjauhkan NU dari keterlibatan dalam politik praktis. Beliau juga bertekad untuk melakukan transformasi konstruksi organisasi NU.
Gus Yahya menyoroti dominasi konstruksi politik praktis dalam tubuh NU yang telah berlangsung sejak 1952 hingga pengunduran diri dari politik praktis pada 1984. Hal ini menjadi tantangan besar bagi NU untuk mengubah pola pikir yang telah terpatri selama 32 tahun tersebut.
Menurut Gus Yahya, hingga saat ini lembaga-lembaga, struktur organisasi, mekanisme, dan pola pikir anggota NU masih dipengaruhi oleh kecenderungan politik praktis. Oleh karena itu, Gus Yahya menganggap penting untuk mengatasi mindset politik praktis yang masih melekat, serta mendorong transformasi menuju sistem pemerintahan.
Beliau menekankan bahwa NU memiliki warga yang bukan anggota terdaftar, namun merasa sebagai bagian dari NU. Persentase yang mencapai lebih dari setengah populasi Indonesia menunjukkan betapa luasnya identitas NU di kalangan umat Islam Tanah Air. NU dilihat lebih sebagai fellowship daripada sekadar membership, di mana warga NU merasa terhubung secara sukarela tanpa harus terpaku pada kepengurusan.
Gus Yahya menegaskan bahwa peran utama struktur organisasi NU seharusnya mengarah kepada pemerintahan. Dalam konteks ini, NU tidak boleh mengatur atau mengendalikan warganya layaknya hubungan antara organisasi dengan anggotanya. Sebaliknya, NU sebaiknya fokus pada penyediaan layanan bagi warganya sebagai bentuk dukungan dan pelayanan yang konkret.
Transformasi konstruksi organisasi NU menuju sistem pemerintahan merupakan langkah penting yang diusung oleh Gus Yahya guna menjaga identitas dan peran NU di tengah masyarakat. Dengan demikian, diharapkan NU dapat terus berkembang dan memberikan manfaat yang lebih luas bagi umat dan bangsa.