Berkurban merupakan salah satu syiar Islam yang dianjurkan bagi umat muslim yang mampu secara finansial. Namun, tidak semua orang yang mampu melaksanakan kurban. Pandangan fiqih Islam mengenai orang yang mampu namun tidak melaksanakan kurban memiliki perbedaan pendapat di antara ulama.
Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa hukum berkurban adalah sunah, yang berarti jika dilakukan akan mendapat pahala namun tidak berdosa jika ditinggalkan. Argumen utama yang digunakan adalah hadits yang menyebutkan tiga hal yang wajib bagi Nabi, di antaranya adalah berkurban.
Di sisi lain, mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa berkurban hukumnya wajib bagi setiap orang mukim yang mampu kecuali orang yang sedang melaksanakan haji di Mina. Mampu di sini diartikan sebagai memiliki harta melebihi nishab zakat mal dan melebihi kebutuhan pokok dirinya serta tanggungan nafkahnya.
Perbedaan pendapat ini juga terkait dengan hadits-hadits yang menjadi landasan hukum berkurban. Para ahli hadits menilai bahwa hadits-hadits yang digunakan oleh mazhab Hanafiyah lemah atau lebih mengarah pada pengukuhan anjuran berkurban.
Meskipun berkurban hukumnya sunah menurut mayoritas ulama, meninggalkannya bagi orang yang mampu dianggap makruh karena terjadi ikhtilaf dalam status wajibnya. Oleh karena itu, ulama menegaskan bahwa berkurban lebih utama daripada sedekah sunah biasa.
Dalam kesimpulannya, hukum meninggalkan kurban bagi orang yang mampu diperselisihkan oleh para ulama. Meskipun demikian, berkurban tetap menjadi amalan yang dianjurkan dalam agama Islam, terutama bagi mereka yang mampu melakukannya.