Dalam ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, disarankan untuk menyebutkan kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh orang yang telah meninggal, sambil menjauhi penyebutan keburukan mereka. Tradisi ini melekat kuat di kalangan mayoritas Muslim di Indonesia, di mana setelah shalat janazah, tokoh masyarakat sering meminta kesaksian para hadirin dengan pertanyaan apakah mayit tersebut adalah orang baik. Para hadirin pun kerap mengamini pertanyaan tersebut.
Namun, penting untuk dipahami bahwa tidak sembarang mayit layak mendapat kesaksian baik. Dalam salah satu hadits, disebutkan bahwa tiga tetangga yang menyaksikan kebaikan seseorang yang meninggal akan mendapat ampunan dari Allah. Namun, jika mayit tersebut dikenal dengan perbuatan maksiatnya, atau meninggal dalam keadaan masih berdosa tanpa tobat yang jelas, tidak patut untuk memberikan kesaksian baik.
Dalam kasus di mana menyebutkan keburukan mayit dapat memberikan manfaat, seperti untuk mencegah orang lain meniru perbuatan buruknya, maka diperbolehkan untuk menyebutkan keburukan tersebut. Larangan menyebutkan keburukan pada orang yang telah meninggal hanya berlaku pada orang non-Muslim, munafik, atau yang terang-terangan berperilaku buruk.
Jadi, dalam memberikan persaksian kepada mayit, perlu dilakukan secara selektif. Kesaksian baik sebaiknya diberikan hanya kepada mayit yang terkenal dengan kebaikan dan ketaatannya. Sementara kepada mayit yang dikenal dengan perbuatan maksiatnya tanpa tobat atau yang meninggal dalam dosa, lebih baik untuk tidak memberikan kesaksian baik. Namun, jika menyebutkan keburukan mayit dianggap dapat memberikan manfaat, hal itu tidak melanggar ajaran agama.
Dalam situasi di mana tidak diketahui apakah mayit memiliki rekam jejak buruk atau baik, sebaiknya tetap memberikan kesaksian baik dengan prinsip berprasangka baik. Dengan demikian, kita dapat menjalankan ajaran agama dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan.