Zat-zat yang memabukkan sering disebut sebagai khamar, dan mayoritas ulama sepakat atas haramnya. Namun, muncul pertanyaan mengenai jenis khamar yang diharamkan. Bagaimana hukumnya jika zat memabukkan tersebut dikonsumsi dalam jumlah sedikit tanpa menyebabkan mabuk?
Diskusi mengenai kadar dan kriteria khamar ini cukup kompleks. Para ahli fiqih tidak dapat mengabaikan minuman nabidz dalam pembahasan khamar. Nabidz, yang artinya “zat yang didiamkan” atau difermentasikan, menghasilkan minuman yang mengalami perubahan cita rasa.
Banyak kitab fiqih klasik membahas khamar dan nabidz terutama dari perasan anggur, kismis, dan kurma. Ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa minuman yang berpotensi memabukkan tetap diharamkan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak.
Pendapat jumhur ulama, seperti Malikiyah, Syafiiyah, dan pengikut mazhab Ahmad bin Hanbal, tegas bahwa minuman berpotensi memabukkan tetap diharamkan tanpa terkecuali. Di sisi lain, ulama dari Irak, seperti Ibrahim an-Nakhai, Sufyan Ats-Tsauri, dan Imam Abu Hanifah, berpendapat bahwa keharaman khamar tergantung pada jumlah kadar yang diminum, bukan pada substansi zat minuman.
Dalam pandangan Hanafiyah, minuman memabukkan terdiri dari empat jenis: khamar dari anggur, thila’ (air anggur pekat), sakar (air kurma berbau menusuk), serta air rendaman kismis Arab. Namun, ketiga jenis terakhir tidak secara eksplisit dinyatakan haram.
Perbedaan pandangan antara ulama Irak dan Hijaz disebabkan oleh perbedaan tafsir ayat dan hadits yang digunakan sebagai landasan argumen. Di Indonesia, minuman tradisional non-anggur seperti tuak, ciu, dan air tape juga menjadi perhatian. Meskipun tidak ada standarisasi kadar alkohol untuk minuman tersebut, kebijakan tidak mengonsumsi minuman memabukkan menjadi pilihan terbaik.
Mengetahui tinjauan fatwa ulama tentang minuman memabukkan dapat membantu kita dalam mengambil keputusan bijak dalam mengonsumsi minuman, mendiskusikan isu sosial kemasyarakatan, serta menjaga tradisi tanpa melanggar aturan agama.