Tahlilan merupakan praktik membaca ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah sebagai doa untuk orang yang telah meninggal. Praktik ini dilakukan pada hari-hari tertentu, seperti tujuh hari, ke-40, ke-100, atau ke-1000 setelah kematian seseorang, serta sering dilakukan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam lainnya. Setelah tahlilan, biasanya disertai dengan penyajian makanan untuk peserta.
Pendapat para ulama mengenai tahlilan terbagi. Mayoritas ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa memberikan pahala bacaan Al-Qur’an dan doa kepada mayit adalah diperbolehkan. Mereka juga setuju bahwa mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an dan doa adalah sah.
Namun, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama Maliki mengenai apakah pahala bacaan tersebut benar-benar sampai kepada mayit. Sebagian ulama Maliki memandang bahwa pahala tidak sampai kepada mayit, sehingga praktik tahlilan tidak diperbolehkan menurut pandangan mereka.
Selain itu, semua ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit adalah sah dan pahalanya akan sampai kepada mereka. Hal ini diperkuat dengan hadis yang menyatakan bahwa bersedekah untuk orang yang telah meninggal dapat memberikan manfaat bagi mereka.
Secara keseluruhan, praktik tahlilan dalam Islam memperoleh pandangan yang beragam dari para ulama. Meskipun terdapat perbedaan pendapat, mayoritas ulama mendukung praktik tahlilan dengan memberikan pahala bacaan Al-Qur’an dan doa kepada mayit, mengkhususkan waktu tertentu untuk ibadah tersebut, serta bersedekah untuk mayit.