Akad musaqah, juga dikenal sebagai akad bagi hasil pengelolaan kebun atau tanaman tertentu, merupakan perjanjian antara pemilik kebun (rabbul mal) dan petani penggarap (‘amil). Dalam konteks Indonesia, penggunaan akad musaqah yang mengadopsi pandangan Mazhab Hanafi penting untuk memperbolehkan obyek tanaman selain anggur karam dan kurma.
Setelah akad terjadi, terdapat konsekuensi hukum yang mengikat kedua belah pihak. Pada dasarnya, pemilik lahan bertanggung jawab atas nafaqah tanaman seperti pemupukan dan pengendalian hama, sementara petani penggarap wajib melaksanakan tugas-tugas seperti penyiraman dan perawatan tanaman sesuai dengan kesepakatan.
Dalam kasus kebun yang merupakan tanah waqaf yang dikelola oleh pihak pengelola wakaf sendiri, pihak pengelola wakaf bertindak sebagaimana pemilik kebun. Namun, biaya upah pekerja untuk pengelolaan tanaman harus dikeluarkan dari sumber pribadi bukan dari harta wakaf.
Apabila terjadi kelalaian dalam perawatan tanaman yang mengakibatkan kerugian, pekerja dapat dikenai ganti rugi. Penambahan atau pengurangan tugas tambahan bagi petani penggarap juga dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan yang jelas agar tidak mengganggu produksi tanaman.
Dengan memahami konsekuensi akad musaqah ini, pemilik lahan dan petani penggarap di Indonesia dapat menjalankan kerjasama dengan lebih jelas dan teratur dalam mengelola kebun atau tanaman secara bersama-sama.