Pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam, sektor perpajakan tidak hanya berkaitan dengan masalah keuangan semata, tetapi juga mencakup sistem pemerintahan. Manajemen keuangan publik menjadi kunci dalam menjaga kelangsungan roda organisasi dan sistem pemerintahan. Dalam konteks manajemen keuangan publik, fokusnya terletak pada tiga fungsi dasar, yaitu alokasi pendapatan, distribusi pendapatan, dan pemeliharaan perbendaharaan negara untuk menciptakan stabilitas kas negara.
Dalam Islam, pembahasan mengenai keuangan publik dimulai dengan identifikasi sumber-sumber yang diperbolehkan menurut syariah untuk digunakan dalam penyelenggaraan negara. Al-Qur’an mengenal beberapa sumber keuangan publik, di antaranya zakat/shadaqah dari kaum Muslimin dan ghanîmah dari non-Muslimin yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam.
Abû Yûsuf mengidentifikasi lima sumber utama keuangan publik dalam Islam, yaitu al-fai’ (al-kharaj dan usyur), ghanimah, jizyah, ‘usyur, dan shadaqah. Ghanimah, sebagai harta rampasan perang, memiliki peran penting dalam ekspansi wilayah Islam. Selain itu, ada juga konsep al-kharaj dan al-usyur yang terkait dengan pemungutan pajak atas tanah dan perdagangan.
Dalam pengelolaan harta ghanimah, negara memiliki peran dalam menjaga optimalisasi pemanfaatannya untuk mencegah kerusakan yang berujung pada pemborosan. Pemikiran sumber keuangan publik menurut Abû Yûsuf menjadi landasan bagi pengelolaan keuangan negara yang efektif.
Dengan demikian, manajemen keuangan publik dalam perspektif Islam mengacu pada prinsip-prinsip syariah dalam pengelolaan keuangan negara untuk mencapai kesejahteraan umum dan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan.