Dalam dunia perkebunan, terdapat sebuah akad yang dikenal dengan sebutan akad musaqah. Akad ini merupakan perjanjian bagi hasil perawatan dan pengelolaan tanaman, khususnya tanaman anggur dan kurma. Hasil dari tanaman tersebut kemudian dibagi antara pengelola dan pemilik tanah atau kebun.
Dalam pandangan Mazhab Syafi’i, akad musaqah hanya berlaku untuk tanaman anggur dan kurma. Pendapat ini didasarkan pada keyakinan bahwa kedua jenis tanaman ini memiliki kekhususan tertentu yang membuat akad musaqah menjadi relevan.
Meskipun demikian, terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai berlakunya akad musaqah untuk jenis tanaman selain anggur dan kurma. Salah satu tokoh, Al-Mawardi, mengemukakan tesis menarik mengenai pohon buah-buahan. Menurutnya, konsep buah-buahan menjadi fokus utama dalam penafsiran Mazhab Syafi’i terhadap akad musaqah.
Al-Mawardi mengajukan tiga tesis terkait jenis pohon yang diambil buahnya. Pertama, Mazhab Syafi’i mengakui kebolehan akad musaqah untuk anggur dan kurma. Kedua, akad musaqah tidak berlaku untuk tanaman yang tidak bisa disirami dan hanya bisa dipetik sekali dalam penanamannya. Ketiga, terdapat perbedaan pendapat dalam Mazhab Syafi’i mengenai tanaman buah tingkat tinggi; ada yang memperbolehkan akad musaqah seperti pada anggur dan kurma, namun ada pula yang melarangnya.
Selain itu, terdapat pengecualian untuk kebun yang terdiri atas kurma dan tanaman buah lainnya. Dalam hal ini, akad musaqah dapat diterapkan dengan memperhitungkan persentase hasil masing-masing tanaman untuk keadilan bagi kedua belah pihak.
Secara keseluruhan, Mazhab Syafi’i menyimpulkan bahwa akad musaqah hanya berlaku untuk tanaman anggur dan kurma. Untuk tanaman produktif lainnya, berlakulah ketentuan yang sesuai dengan pendapat yang kuat dalam mazhab ini. Prinsipnya, akad musaqah hanya diterapkan pada tanaman pohon yang bersifat menahun, sementara untuk tanaman lainnya yang tidak memenuhi kriteria tersebut, akad musaqah tidak berlaku.