- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Pemimpin Ideal dalam Islam: Antara Konsep dan Realitas di Indonesia

Google Search Widget

Dalam ajaran Islam, konsep kepemimpinan (imamah) ditekankan dengan standar yang tinggi. Sebagai contoh pada shalat berjamaah, syarat menjadi seorang imam shalat memiliki kriteria yang spesifik seperti menjadi seorang laki-laki, baligh, qari’ (ahli baca Al-Qur’an), hafalan Al-Qur’an yang banyak, fasih, bersuara merdu, wira’i, zuhud, dan menjadi yang paling awal masuk Islam.

Syarat-syarat ini merupakan hasil pengembangan dari syarat dasar menjadi imam shalat yang melibatkan aspek seperti baligh, qari’, hafalan Al-Qur’an, fasih dalam membaca Al-Qur’an, dan tentu saja beragama Islam. Pengembangan kriteria imam shalat ini menunjukkan bahwa dalam ajaran Islam, aturan syariat harus mempertimbangkan konteks zaman di mana aturan tersebut diterapkan.

Dalam syariat Islam juga terdapat rukhshah atau keringanan dalam praktik ibadah bagi individu yang memiliki keterbatasan fisik. Misalnya, bagi orang yang tidak mampu shalat sambil berdiri disyariatkan untuk shalat sambil duduk, dan seterusnya. Praktik ibadah yang variatif ini mencerminkan prinsip bahwa agama Islam datang untuk memudahkan umatnya.

Pemahaman terhadap ayat suci juga memunculkan berbagai hasil ijtihad mengenai hukum yang disesuaikan dengan konteks dan situasi zaman, dikenal dengan istilah hukum wadl’i. Salah satu contohnya adalah dalam hal seseorang yang tidak mampu shalat sambil berdiri secara sempurna. Dalam hal ini, berpegang pada tiang saat shalat dianggap lebih baik daripada langsung duduk. Namun demikian, pandangan ini dapat berbeda tergantung pada konteks dan situasi individu yang bersangkutan.

Penerapan kriteria pemimpin ideal dalam konteks Indonesia, yang memiliki keragaman masyarakat yang kompleks, menjadi tantangan tersendiri. Beberapa kriteria pemimpin yang ideal dalam kitab fiqih mu’tabar mungkin sulit dipenuhi dan bahkan dapat membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Oleh karena itu, prinsip mencari jalan tengah diutamakan dalam menentukan pemimpin.

Kaidah “Tidak boleh membuat kerugian terhadap diri sendiri dan orang lain” menjadi pedoman penting dalam memilih pemimpin. Begitu pula dengan prinsip “Perkara yang tidak bisa dikuasai seluruhnya, maka jangan ditinggal seluruhnya” yang relevan dalam konteks pemimpinan. Upaya untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan negara juga tercermin dalam kaidah-kaidah lain seperti “Di antara dua keburukan yang mungkin terjadi, maka dipilih keburukan yang paling ringan.”

Dengan demikian, pemimpin ideal adalah mereka yang mampu diterima oleh semua pihak tanpa melampaui batas kewenangan syariat dan nilai-nilai universal maqashid al-syariah. Pemimpin semacam ini diharapkan dapat menjaga kerukunan dan keutuhan bangsa Indonesia yang majemuk dalam beragama, bersuku, dan berbangsa.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 5

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?