Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan syariat meskipun bukan merupakan syariat itu sendiri. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila memiliki kesesuaian dengan syariat. Hal ini menjadikan Pancasila sebagai nota kesepahaman yang Islami.
Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi landasan teologis bagi negara Indonesia. Sila ini mempengaruhi keempat sila lainnya dan mencerminkan konsepsi tauhid sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas. Nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila dianggap mampu merangkul semua etnis, suku, dan golongan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Secara tidak langsung, nilai-nilai dalam Pancasila juga mencerminkan pemahaman para pendiri bangsa Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, terhadap keragaman di Indonesia. Mereka memasukkan kaidah universal ajaran Islam ke dalam sila-sila Pancasila sebagai solusi tengah (wasathan) dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan.
Dalam hukum Islam, terdapat dua istilah hukum, yaitu hukum wadl’i dan hukum taklifi. Hukum wadl’i bersifat situasional sementara hukum taklifi berkaitan dengan beban individu secara personal kepada Sang Khaliq. Hukum wadl’i dalam konteks kenegaraan sering disebut sebagai hukum positif, seperti KUHP, Undang-Undang, dan peraturan turunannya. Hal ini juga berlaku untuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur hukum pernikahan dan pembagian waris.
Perdebatan sering muncul mengenai apakah hukum wadl’i dapat mempengaruhi hukum taklifi. Ada pandangan yang menolak dan ada yang menerima kemungkinan tersebut. Bagi sebagian ulama, menyandarkan hukum positif kepada pendapat fiqih yang disepakati dapat dilakukan melalui mekanisme taqnin, seperti penerapan Perda Syariat.
Pendapat dari Dr. Thariq al-Busyra menyoroti kemungkinan produk hukum fiqih diintegrasikan ke dalam hukum positif negara melalui mekanisme taqnin. Pengubahan dalam Sila Pertama Pancasila juga menunjukkan adaptasi terhadap nilai-nilai universal tanpa mengubah substansi tauhid yang bersifat universal.
Indonesia tidak dapat disebut sebagai Negara Islam, namun nilai-nilai Pancasila yang Islami mencerminkan substansi dan hakikat pengamalan agama yang lebih penting daripada sekadar platform semata. Mekanisme permusyawaratan dalam Pancasila tidak bertentangan dengan syariat karena banyak prinsip syariah yang mendukung pengambilan keputusan berdasarkan mayoritas.
Pancasila bukan syariat, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat Islami. Mekanisme turun dari idealisme menuju realitas bumi yang lebih dekat menjadi relevan dalam konteks ini. Mekanisme musyawarah/perwakilan dalam UUD 1945 juga sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang mengutamakan pendapat mayoritas.
Dengan demikian, Pancasila tetap bukan syariat namun memiliki nilai-nilai yang Islami dan relevan dengan konteks negara Indonesia saat ini.